Akhirnya, dari sekian partai yang segan bicara kalau mereka menggunakan politik identitas dalam pemilu seperti PKS misalnya, partai Ummat malah dengan gagah berani mengungkapkan kalau mereka akan menggunakan politik identitas sebagai jati dirinya.

Dalam sisi marketing, apa yang dilakukan oleh partai Ummat ini disebut differensiasi. Partai ummat mengambil celah yang membedakan dia dengan banyak partai lainnya, sehingga mereka punya brand positioning sebagai “partai yang beda dengan yang lainnya.” Apakah yang dilakukan oleh partai ummat, partainya pak Amien Rais itu, cerdas? Ya, saya bisa dibilang cerdas. Partai ummat tahu, kalau mereka tidak bikin brand yang kuat dan berbeda, mereka ga akan dibicarakan oleh banyak orang.

Sebagai partai baru, yang benar-benar baru, sebuah partai harus punya pembeda dengan partai lain yang berfungsi sebagai kompetitor mereka. Dan langkah berani yang dilakukan partai Ummat dengan mengatakan bahwa mereka adalah pengusung politik identitas, bisa dibilang sebuah strategi marketing yang cerdik karena mereka akhirnya dibicarakan oleh publik. Pro dan kontra untuk sebuah partai baru adalah sebuah keharusan kalau mereka ingin dibicarakan orang. Partai ummat tidak mengandalkan Amien Rais saja, seperti partai yang juga baru bernama Gelora yang hanya mengandalkan Fahri Hamzah sebagai ikonnya.

Tapi antara dibicarakan sama dipilih itu beda banget. Segmen market yang dibidik oleh partai Ummat itu adalah segmen yang niche, istilah marketingnya adalah segmen yang sangat kecil. Memang umat Islam mayoritas di Indonesia, mencapai 90 persennya. Tapi pangsa terbesar umat Islam ada di NU dan Muhammadiyah, bukan kelompok radikal seperti FPI dan saudara-saudaranya. Mungkin kalau di Jakarta mereka besar, tapi kalau bicara Indonesia, persentase kelompok yang radikal yang ingin digaet oleh partai Ummat itu kecil sekali. Itu baru berebut dengan NU dan Muhammadiyah, yang jamaahnya bebas memilih partai apa saja. Belum lagi partai Ummat berebut atau bersaing memperebutkan suara umat Islam dengan partai berbasis agama lainnya seperti PKB, PAN, PKS dan PPP.

Tapi saya tertarik dengan langkah partai Ummat ini. Apalagi mereka kemudian mengusung Anies Baswedan sebagai calon Presiden mereka, dan Anies tampaknya senang senang saja. Partai Ummat, tanpa sengaja, sudah menguatkan brand Anies Baswedan sebagai “Bapak Politik Identitas Indonesia” sesudah dia memanfaatkan polarisasi yang kuat sekali di Pilgub DKI tahun 2017.

Timsesnya Anies Baswedan yang saya yakin mereka sekarang kelimpungan. Satu sisi, narasi Anies Baswedan sebagai Bapak Politik Identitas itu merugikan nama Anies secara keseluruhan. Timses Anies ingin mencuci bersih Anies dari narasi politik identitas dengan menyandingkan Anies dengan kelompok agama lainnya seperti Kristen atau Hindu.

Anies bahkan didandani habis-habisan sebagai Bapak Toleransi dengan hadir di acara-acara keagamaan non Islam, meski jujur aja, tetap jadi bahan ketawaan banyak orang karena terlihat canggung dan tidak natural. Tapi mereka butuh itu, supaya bisa meraih massa selain kelompok radikal yang konsisten memilih Anies Baswedan.

Anies Baswedan ketika diwawancara, terus menerus membangun kontra narasi bahwa dia bukan bapak politik identitas. “Waktu saya memimpin Jakarta, apakah ada jejak politik identitas?” Katanya. Ini pernyataan yang lucu dari seorang Anies, yang menunjukkan kedangkalan wawasannya tentang apa itu politik identitas.

Anies mengira politik identitas itu identik dengan chaos antar identitas saja. Pembiaran satu kelompok identitas untuk masuk ke dalam elemen-elemen pemerintahan itu adalah hasil dari politik identitas yang selalu dipakai saat Pemilu. Pejabat yang menang karena hasil politik identitas tentu akan berhutang budi pada penggerak politik identitas itu sendiri dan membuka ruang yang lebar untuk mereka.

Tapi Anies memang begitu. Antara ucapan dan perbuatan dia sering gak singkron. Dia menikmati sekali ketika datang ke Rakernas partai Ummat dan diteriaki sebagai Presiden. Kedatangan Anies ke partai Ummat ini, menurut saya, malah kembali mengotori baju politik identitas yang ingin dia cuci bersih. Jadi sia-sia kampanye dia kalau dia bukan bapak politik identitas, ketika datang ke partai Ummat yang menyatakan bahwa mereka adalah partai yang mengusung politik identitas.

Saya tuh kasian sama Anies sebenarnya, karena timsesnya bodoh-bodoh. Kalau saya jadi timsesnya Anies, tentu saya akan menghindari apapun yang berbau politik identitas supaya bajunya bersih dari stigma itu. Eh, ini udah dicuci malah dikotori lagi.

Atau mending dorong aja sekalian, biar punya brand positioning yang kuat. Anies Baswedan mending sekalian aja bicara, “Sayalah Bapak Politik Identitas Indonesia”. Nah, ini baru benar. Daripada di sana gak diterima, di sini ditolak, mending deklarasikan aja sekalian biar FPI, HTI, dan Ormas-ormas agama radikal lainnya langsung merapat.

Gimana, bapak politik identitas Anies Baswedan? Setuju gak dengan usul saya? Seruput dulu kopinya.