Teman-teman, beberapa hari terakhir, kita dihebohkan dengan adanya sosok Ganjar Pranowo dalam tayangan azan di sebuah stasiun TV swasta nasional. Tentu keberadaan pak Ganjar Pranowo dalam azan ini menuai pro dan kontra bahkan ada yang mengatakan bahwa adanya sosok Ganjar Pranowo dalam azan ini adalah politik identitas. Betulkah demikian? Sebagai orang yang sangat menolak keberadaan politik identitas, saya sangat tertarik untuk membahas ini.
Sebelum kita bahas, sebagai konteks, saya ingin temen-temen tahu bahwa pak Ganjar ditampilkan dalam sebuah tayangan azan yang sedang melakukan ibadah sholat dan mengambil air wudhu. Pak Ganjar tidak tampil penuh dalam tayangan azan tersebut.
Ok, yuk mari kita ulas. Teman-teman, pertama adalah soal apakah ini iklan apa bukan? Begini, apakah ini iklan apa bukan, itu soal niat dari yang menampilkan pak Ganjar dalam tayangan azan tersebut. Tapi saya adalah seorang demographer, saya membaca pola.
Teman-teman, kita sama-sama tahu bahwa RCTI, stasiun TV swasta yang menayangkan tayangan azan yang ada pak Ganjar itu adalah bagian dari MNC Group. Sementara, MNC Group saham mayoritasnya dimiliki oleh pak Hary Tanoe, Ketua Umum Partai Perindo. Dan kita sama-sama tahu bahwa Partai Perindo adalah pendukung pak Ganjar yang tergabung dalam koalisi pengusung pak Ganjar Pranowo.
Jadi kalau bagi saya, benang merahnya kelihatan, unsur mengiklankan pak Ganjar melalui tayangan azan ini memang cukup jelas kok. Jadi terkait apakah ini iklan apa bukan, buat saya gak terlalu menarik sebetulnya untuk diperdebatkan. Yang menarik adalah, kalau tayangan azan ini memang betul wujud mengiklankan pak Ganjar, apakah ini lantas disebut politisasi agama?
Teman-teman, sebenernya kalau kita buka literatur, politisasi agama itu adalah sebuah istilah yang multi-tafsir. Saiful Mujani, misalnya, mengatakan bahwa politisasi agama itu mencakup menggunakan simbol-simbol agama untuk keuntungan elektoral. Beliau, akan tetapi mengatakan bahwa praktik politisasi agama yang berada di level afirmasi identitas si calon itu tidak tergolong politisasi agama yang merusak tatanan masyarakat atau pun tumbuh kembang demokrasi. Misalnya menampilkan seorang politisi sedang beribadah, itu tidak merusak. Namun politisasi agama yang sudah membawa narasi peperangan, itu yang merusak.
Ada juga literatur yang mengatakan bahwa kita harus bisa membedakan politik identitas, atau politisasi agama dengan identitas politik. Saya pernah berdiskusi dengan seorang pengamat politik yang integritasnya tidak lagi kita ragukan, bang Ray Rangkuti, bahwa menampilkan identitas kandidat itu bukan politisasi agama. Di situ tidak ada ajakan untuk memilihnya karena identitasnya di situ tidak ada himbauan untuk tidak memilih kandidat lain karena identitasnya. Menampilkan sisi humanis si kandidat seperti keluarga si kandidat, hobi si kandidat, hingga seberapa relijius si kandidat adalah hal yang lumrah, bahkan publik berhak tahu hal-hal tadi.
Saya percaya apa yang terjadi, yaitu tayangan azan yang ada pak Ganjar di dalamnya itu bukan politik identitas. Bagi saya, politik identitas itu harus memenuhi dua unsur. Unsur pertama memposisikan agama sebagai komoditas politik partisan, sehingga terjadi pengkavlingan agama tertentu. Jadi seolah barisan kandidat A adalah barisan Tuhan. Maka rival politik si kandidat A adalah musuh Tuhan.
Lebih lanjut, saya tidak setuju bahwa menampilkan relijiusitas sang kandidat disebut politisasi agama. Seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, ada perbedaan mendasar antara politisasi agama (yang lekat dengan politik identitas) dan identitas politik. Terkait dengan identitas politik, identitas seorang kandidat memang harus dibuka seterbuka-terbukanya. Seorang calon pemimpin itu bukan sekadar pekerja kantoran biasa yang kehidupan pribadinya, sampai dengan level tertentu, bukan menjadi ranah publik. Publik berhak tahu sisi humanis si kandidat seperti yang saya katakan tadi.
Kedua, politisasi agama itu disertai ajakan untuk memilih karena agama. Konsekuensi dari memframing bahwa si kandidat itu adalah mewakili agama tertentu, maka otomatis ada semacam ajakan untuk memilihnya karena agamanya, dan ini berbeda dengan menampilkan relijiusitas si kandidat. Di level yang ekstrim, cara seperti ini menggunakan narasi peperangan. Ayat-ayat yang dimunculkan juga ayat-ayat tentang peperangan, walaupun Pemilu itu pesta bukan perang. Perbedaan warna dalam pemilu itu kekayaan untuk dirayakan, bukan untuk jadi sumber konflik antar pemeluk agama. Ini sangat jelas terjadi pada Pilkada DKI 2017, di mana ruang-ruang demokrasi diisi dengan sentiment agama, hingga di level penolakan pendukung kandidat tertentu di rumah ibadah, pelarangan ritual jenazah pendukung tertentu hingga anak-anak kecil di jalanan memekikkan “bunuh! Bunuh!” untuk kandidat tertentu.
Dan tayangan video pak Ganjar gak memenuhi ini semua.
Kesimpulan saya, secara obyektif, sulit untuk tidak melihat tayangan azan ini sebagai iklan, iklan yang menampilkan relijiusitas pak Ganjar. Salah atau tidaknya, karena saya gak paham aturan penyiaran, saya gak bisa berkomentar. Tapi yang pasti, mengatakan ini sebagai politisasi agama adalah sebuah penggiringan opini hiperbola yang kejam. Bahkan biasanya, mereka yang sangat bernafsu mengaburkan perbedaan identitas politik dan politik identitas adalah si pelaku politik identitas sendiri, pelaku politisasi agama sendiri, agar tercipta kesan kalau kamu aja boleh, kami kan juga boleh. Padahal apa yang dibolehkan itu berbeda. Memang membuat bingung publik itu adalah sebuah propaganda kok.
Seperti kata Harry S Truman, Presiden Amerika Serikat ke-33, “If you can’t convince them, confuse them”. “Kalau anda gak bisa yakinkan mereka, bikin mereka bingung”.