DI MANA ADA PKS, NASIONALIS DAN NAHDLIYIN DUKUNG LAWANNYA
Setelah Cak Imin merapat ke kubu Anies, nama NU diseret-seret dalam kampanye politik. Padahal, NU adalah organisasi keagamaan. Tak ada hubungannya dengan politik praktis.
Ketua Umum PBNU, Kyai Yahya Cholil Staquf menegaskan, bahwa tak ada satupun calon presiden, termasuk wakil presiden, yang didukung oleh NU. Karena sejak awal, nahdliyin dibebaskan untuk menentukan sikap politik.
Kebebasan untuk berpolitik itu terlihat dari representasi dukungan nahdliyin pada partai politik dalam hasil survei. Ternyata jamaah NU itu mayoritas memilih PDIP, kemudian disusul Gerindra dan Golkar. PKB, yang katanya partai yang berasal dari NU justru malah dalam urutan ke sekian.
Hal itu menunjukkan, klaim atas nama NU untuk politik praktis tidak dapat dibenarkan. Karena NU telah memutuskan untuk memisahkan diri dari politik praktis.
Di masa lalu, NU memang pernah jadi partai politik. Tapi itu semua dilakukan karena NU merasa tidak mendapat tempat dalam Partai Masyumi. NU waktu itu dianggap sebagai kelompok tradisional yang tak paham politik.
Saat itu NU telah mengultimatum Masyumi agar memberikan porsi yang sesuai untuk wakil NU, karena merupakan konstituen terbesar di Jawa. Tapi permintaan NU itu tak digubris.
Dalam pemilu 1955, NU membuktikan telah mampu menjadi partai politik dengan memperoleh dukungan terbesar ketiga, setelah PNI dan Masyumi.
Tapi kemudian NU kembali ke khitah. NU tidak ada lagi urusannya dengan politik praktis.
Oleh sebab itu, siapapun saat ini yang mengklaim mendapat dukungan dari NU, itu adalah pernyataan sepihak.
Nahdliyin pasti sudah paham. Justru kalangan di luar NU yang mungkin terkecoh dan percaya politisasi agama seperti itu. Faktanya, bahkan Cak Imin dan PKB bukan representasi NU.
Pilpres 2024 memang dipenuhi dengan dinamika dan manuver tajam. Perpindahan Cak Imin ke kubu Anies telah mendatangkan masalah baru. Sebab di kubu Anies ada PKS. Selama ini NU dan PKS itu seperti air dan minyak. Keduanya tak bisa bersatu.
Dengan masuknya PKB ke koalisi Anies, muncul ancaman baru bagi jamaah NU. Jangan sampai amaliyah atau kegiatan ibadah jamaah NU disusupi paham radikal dan takfiri.
Selama ini, kelompok PKS sering menuduh nahdliyin itu melakukan khurafat dan bidah. Tuduhan seperti itu tentu melukai hati nahdliyin. Karena amalan mereka telah sesuai tuntunan Nabi dan ulama penerusnya.
Tapi kelompok pemurnian agama seperti jamaah PKS tidak menerima semua bentuk kebaruan. Mereka bermaksud memurnikan agama dengan kembali langsung pada Alquran dan Hadits.
Semua orang tentu bebas memiliki keyakinannya. Yang penting jangan mengkafir-kafirkan kelompok lain. Jangan menyesat-nyesatkan kelompok lain. Selama kelompok itu masih mengikuti Alquran dan Hadits.
Dalam koalisi Anies memang sedang terjadi tarik-ulur. Apakah PKS tetap ada dalam koalisi, atau mereka terpaksa out karena risih dengan NU?
Sikap kelompok nasionalis, terutama yang berasal dari NU cukup jelas, di mana ada PKS, maka mereka akan berpihak pada kelompok lawannya. Karena pihak yang ada PKS-nya pasti jualan politisasi agama.