Teman-teman, kita boleh sama-sama terkejut dengan deklarasi Anies – Cak Imin yang terjadi Sabtu kemarin. Deklarasi yang dimotori oleh Partai PKB dan Partai Nasdem ini berlangsung sangat lancar. Pertanyaannya kemudian, kemanakah PKS? Apakah PKS akan tetap mendukung Anies?
Teman-teman, seperti yang kita sama-sama tahu, PKS urung hadir dalam acara deklarasi tersebut.
Dikutip dari laman resmi Partai PKS, ada statement PKS terkait deklarasi tersebut: Pertama, Partai yang dikomandoi oleh pak Ahmad Syaikhu tersebut mengaku tetap mendukung pak Anies. Kedua, mereka menghormati deklarasi yang dilakukan oleh Nasdem dan PKB. Tak hanya itu, ketiga, PKS juga berharap agar partai Demokrat untuk stay dalam koalisi Perubahan.
Terkait poin pertama, pak Syaikhu bilang “Sesuai Pasal 16 Anggaran Dasar PKS ayat (2) huruf (i) yang menyatakan bahwa kewenangan untuk menetapkan kebijakan Partai berkenaan dengan Pemilihan Presiden dan/atau Wakil Presiden RI adalah Majelis Syura sebagai majelis permusyawaratan tertinggi Partai yang keanggotaannya terdiri dari perwakilan anggota PKS seluruh Indonesia. Musyawarah Majelis Syura (MMS) ke-VIII telah menetapkan Bapak Anies Rasyid Baswedan sebagai Bacapres yang diusung oleh PKS,” kata pak Syaikhu.
Terkait poin kedua, pak Syaikhu bilang “Kami menghormati keputusan Partai Nasdem dan PKB yang telah mendeklarasikan pasangan Bapak Anies Rasyid Baswedan sebagai Bakal Calon Presiden RI dengan Bapak Abdul Muhaimin Iskandar sebagai Bakal Calon Wakil Presiden RI yang akan maju pada Pilpres tahun 2024,” kata pak Syaikhu lagi.
Lalu terkait poin ketiga, Presiden PKS ini bilang “Kami memahami dan menghormati keputusan Partai Demokrat yang keluar dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan dan mencabut dukungan terhadap pencalonan Bapak Anies Rasyid Baswedan,” tutup pak Syaikhu.
Namun demikian, PKS belum dapat memastikan duet Anies-Cak Imin. Bukan karena Anies-nya, tapi karena Cak Imin-nya. PKS mengaku akan mendikusikannya di tingkat Dewan Syuro.
Teman-teman, saya mencatat sebetulnya kalau kita melihat latar belakang historis antara NU, sebuah organisasi Islam kultural terbesar di Indonesia yang kadernya banyak mengisi PKB, dengan PKS, ada ketegangan yang terjadi di level akar rumput maupun elitnya.
Misalnya, pada 2018, ketika Sekjen PBNU, Kiai Yahya Cholil Staquf, memenuhi undangan untuk menjadi narasumber dalam forum yang diprakarsai American Jewish Committee (AJC) di Israel, Kader PKS Salman Alfarisi melontarkan sebuah pendapat yang sangat keras.
Dia bilang, “Tak puas jadi Wantimpres di Istana Negara.. Cecunguk itu Angkat Telor Cari Muka ke Israel… Mau Merangkap Jadi Wantimpres Israel?” kata Salman si kader PKS.
Dikutip dari kantor berita Media Indonesia, Kader PKS lainnya, Tifatul Sembiring pun ‘meramaikan’ polemik keberangkatan kiai Yahya ke Israel. Melalui akun Twitter-nya, ia mengajukan pertanyaan kepada kiai Yahya yang langsung mendapat respon dari para netizen. Bahkan, Mantan Menteri Kominfo itu sempat mencuit bahwa dirinya tidak mengetahui bila kiai Yahya adalah seorang Kiai.
Mari kita lihat lebih jauh, mengutip kantor berita Gatra.com, perbedaan antara NU dan PKS itu bukan hanya soal sikap harian para pengurusnya terhadap isu tertentu, melainkan sudah sejak tahap pemikiran dan gerakan.
Begini, salah seorang inisiator PKS adalah Hilmi Aminudin, alumni Fakultas Syariah Universitas Islam di Madinah, yang pada 2002 didapuk menjadi Ketua Dewan Syuro PKS. Yusuf Supendi, rekannya yang pernah kuliah di Riyadh, turut membidani PKS.
Gerakan Hilmi Aminudin dan rekan-rekannya bukan muncul tiba-tiba. Sejak tahun 1980-an ia rajin menggelar pengajian dengan ”brand” harakah tarbiyah melalui gerakan liqo (pertemuan terbatas) di masjid-masjid. Mafhum amaliyah (praktik keagamaan) pengurus inti PKS berbeda dengan umumnya nahdliyin. Pangkal perbedaan sikap NU terhadap PKS yang kerap melahirkan ketegangan bukan amaliyah, namun fikrah (pemikiran) dan harakah (gerakan).
Masih saya kutip dari materi mendalam Gatra.com, bagi para kyai “khos” NU, PKS bukan sekedar gerakan politik. Pasalnya, Hilmi Aminudin adalah aktivis Ikhwanul Muslimin (IM). Lebih dari itu, tokoh senior PKS ini adalah anak kandung dari Danu Muhammad Hasan, Panglima DI/TII Wilayah Pantura. Menurut (alm) Yusuf Supendi, di rumah Danu Muhammad Hasan lah Ali Murtopo mengumpulkan veteran NII di tahun 1971 untuk memenangkan Golkar. Biayanya, dari Presiden Soeharto melalui Ali Murtopo. Singkat kata, Hilmi Aminudin ditengarai menjadi simpul IM-PKS-NII, sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan NU.
Itu poin pertama saya, lalu apakah karena perbedaan corak pemikiran dan pergerakan ini, kemudian PKS dilangkahi oleh Nasdem yang secara mendadak memutuskan untuk menduetkan Anies dengan Cak Imin yang memiliki latar belakang NU yang cukup kuat?
Atau di sisi lain, langkah Cak Imin untuk menerima pinangan Nasdem yang secara de facto masih berkoalisi dengan PKS ini seperti menasbihkan, mengkonfirmasi apa yang beredar belakangan ini bahwa PKB tidak merepresentasikan NU? Kisruh ini bermula dari pernyataam Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, menegaskan bahwa NU bukan alat politik pihak manapun dan tidak boleh menjadi alat politik pihak manapun. Kata kiai Yahya, “Jadi NU itu seluruh bangsa dan ndak boleh digunakan sebagai senjata untuk kompetisi politik. Karena kalau kita biarkan terus-terus begini, ini tidak sehat,” katanya di Kantor PBNU, Jakarta, 2022 lalu.
Merespon pernyataan kiai Yahya, Cak Imin, mengatakan bahwa pernyataan kiai Yahya Cholil Staquf tak berpengaruh pada 13 juta pemilih loyal PKB.
Walaupun Kiai Yahya dan Cak Imin telah mencoba menetralisir keadaan dengan mengatakan tidak ada ketegangan antara NU dengan PKB, ketegangan masih begitu terasa di akar rumput. Tidak lain dan tidak bukan karena masih kerapnya muncul pernyataan sikap dari koalisi Anies-Cak Imin sendiri dan para pengamat yang kerap terkesan melabeli PKB representasi NU.
Itu tadi poin kedua saya, jangan-jangan memang betul hipotesis yang beredar selama ini, bahwa berkoalisinya PKB dengan PKS (walaupun belum final), membuktikan bahwa PKB bukan representasi NU.
Poin terakhir, Apakah ini bisa terjadi semata-mata karena koalisi Nasdem dan PKB sudah memenuhi electoral threshold untuk mengusung Paslon? Seperti diketahui, Nasdem di DPR, perolehan kursinya digabung dengan PKB adalah 117 kursi, melebihi ambang batas pengusungan Paslon, yaitu 115 kursi atau 20% kursi DPR RI sehingga, apabila PKS hengkang dari pengusungan Anies-Cak Imin sekalipun, Paslon ini tetap dapat melenggang ke kontestasi Pilpres tanpa PKS. Kalau iya begini, menurut saya, ini pragmatisme yang mengorbankan etika. Melupakan kawan lama ketika dapat kawan baru yang lebih besar.
Apapun, mari kita lihat sikap PKS setelah pengusungan Anies-Cak Imin ini dibahas di Dewan Syuro mereka. Apakah ikut mengusung Anies-Muhaimin, atau justru hengkang? Mengutip Mantan Presiden Amerika Serikat yang menurut saya cukup fenomenal, Barack Obama, “American politics is always somewhat fluid. In this age of social media, it means that voters can swing back and forth”. “Politik Amerika itu selalu lumayan cair. Di era media sosial seperti sekarang, pemilih bisa saja ngeswing bolak balik”. Apakah kamu setuju itu juga terjadi di Indonesia? Tulis jawaban kamu di kolom komentar.