KAI TELAH DISUSUPI TERORIS, WASPADA JANGAN SAMPAI KECOLONGAN LAGI

Orang berinisial DE ditangkap oleh Densus 88 karena keterlibatannya dalam propaganda ISIS. Berita penangkapan ini sangat mengejutkan karena DE sendiri adalah seorang karyawan BUMN Kereta Api Indonesia (KAI), sebuah BUMN yang sangat besar.

Tertangkapnya DE ini mengungkap sebuah misteri mengapa di lembaga pemerintah atau perusahaan milik pemerintah atau negara masih saja ditemukan orang yang terlibat dalam gerakan terorisme. Apa yang terjadi di sana? Bukankah dalam rekrutmen pegawai atau karyawan selama ini ada tes ideologi? Lalu apa yang menyebabkan terjadi keluputan pada diri DE dan mungkin juga masih ada DE-DE yang lain, yang luput dari perhatian mereka.

Kita tunggu saja bagaimana hasil investigasi pada kasus DE dan sampai diputuskan di pengadilan.

Saya sepakat dengan banyak kalangan bahwa aksi terorisme di Indonesia telah menurun, namun itu bukan berarti bahwa segala hal yang berkaitan dengan terorisme itu berakhir.

Sebuah tindakan terorisme itu memiliki rangkaian yang panjang. Untuk menjadi teroris, seseorang harus benar-benar siap terutama siap dengan segala hal yang menjadi prasyarat bagi perseorangan, termasuk percaya pada ideologi mati yang ditanamkan di dalam diri mereka oleh mentor-mentor mereka.

Mereka harus memiliki keyakinan sepenuhnya jika apa yang mereka lakukan itu benar-benar dihitung sebagai jihad di jalan Allah. Jika mereka para teroris ini memiliki latarbelakang keagamaan yang kurang, maka mereka diajarkan lebih dahulu paham-paham keagamaan yang terkait dengan terorisme seperti jihadisme, kewajiban berperang dengan non-Muslim, termasuk juga melakukan perampokan dlsb, untuk keperluan jihad mereka.

Bahkan dalam tahap tertentu, mereka, kaum teroris, diajarkan bahwa mereka boleh tidak menjalankan perintah agama seperti salat dlsb, karena keadaan di tempat atau negara mereka berjuang belum menjadi negara Islam yang paripurna.

Sekali lagi, meskipun aksi terorisme itu menurun, namun kegiatan-kegiatan lain yang terkait dengan terorisme masih berjalan. Para recruiter masih bekerja untuk merekrut calon-calon teroris. Mereka bekerja mendekati orang-orang yang mungkin dan potensial untuk menjadi anggota mereka. Mereka melakukan pekerjaan ini dengan menggunakan berbagai cara. Tapi intinya mereka tidak diam saja namun terus bergerak ke mana-mana.

Setelah mereka merekrut dan memiliki anggota, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang menunjang aksi terorisme.

Mereka melakukan proses ideologisasi pada anggota-anggota yang baru mereka rekrut. Mereka mendidik agar anggota mereka mau bekerja nyata untuk terorisme misalnya mencari anggota baru, melakukan penggalangan dana, melakukan propaganda dan masih banyak hal lain yang membuat mereka tetap hidup dan ada.

Sebagaimana manusia, mereka kaum teroris memiliki cita-cita dan cita-cita ini yang membuat mereka terus hidup meskipun cita-cita mereka merugikan banyak kalangan.

Tidak hanya sebatas di situ saja, mereka juga harus melaksanakan persiapan-persiapan dan Latihan-latihan, dikenal dengan istilah i’dad, sebelum mereka melakukan tindakan (amaliyat). DE bahkan konon bisa melakukan i’dad dalam keadaan di mana dia berstatus sebagai pegawai Kereta Api Indonesia.

Terorisme itu bukan hanya aksi penyerangan namun juga propaganda dan promosi. Mereka melakukan propaganda melalui platform-platform media sosial yang tersedia.

Cara-cara yang mereka lakukan tidak sebatas memakai cara konvensional seperti pengajian-pengajian (taklim) terbatas, pengembangan sel-sel, namun juga sudah menggunakan media sosial bahkan mungkin Artificial Intellegence.

Sebuah laporan yang dikeluarkan oleh UNICRI dan UNCTT yang bertajuk “Algorithms and Terrorism: The Malicious Use of Artificial Intelligence for Terrorist Purposes” menyatakan jika AI, selain sangat berguna untuk dunia kedokteran, informasi dan teknologi komunikasi, juga bisa digunakan oleh kalangan teroris.

Menurut laporan, selama ini kalangan teroris masih menggunakan teknologi rendah atau disebut dengan istilah low tech terrorism seperti senjata tembak, penggunaan kendaraan, pisau, kendaraan, dlsb, namun ancaman terorisme itu bukan hal yang stagnan, atau bukan hal yang mandeg. Meskipun aksi terorisme itu stagnan atau mandeg, namun itu tidak berarti bahwa terorisme itu sudah mati.

Meskipun masih sederhana dalam menggunakan sosial media, namun teroris seperti DE mungkin bisa mengembangkan pada tahapan yang lebih canggih jika itu memungkinkan.

Mereka, kaum teroris, ternyata memiliki adaptability sendiri pada persoalan teknologi komunikasi. Misalnya, kini, sebuah kelompok teroris besar, bernama Hai’at Tahrir Syam (dulu terkenal dengan nama, al-Nusrah Front for the people of the Levant) mendorong agar anggota-anggota mereka tidak menggunakan Mesenger, tidak menggunakan Facebook, Telegram, dan Viber. Mereka beralih pada aplikasi Conversation, Riot, Signal dan Wire. Hal ini menunjukkan bahwa kaum teroris sangat memperhitungkan teknologi yang aman dan menguntungkan mereka.

Kita bisa bayangkan bagaimana kelompok teroris ini menggunakan ruang internet setelah ruang nyata mereka sangat terbatas. Hal ini bisa dilihat misalnya pada 2020, Europol dan tujuh belas negara melakukan menghapuskan sebanyak 1901 URLs yang terkait dengan konten teroris pada 180 platform dan webiste dalam waktu sehari. Pada mada kurang lebih 2 tahun, Facebook sendiri telah melakukan removal pada 26 juta konten yang terkait dengan Islamic state of Iraq and the Leviant (ISIL) dan al-Qaedah. Pada tiga bulan pertama di tahun 2020, ada sekitar 4.7 juta konten yang terkait dengan “organised hate” atau kebencian yang terorganisasi.

Apa yang saya kemukakan di atas adalah gambaran betapa terorisme menggunakan banyak cara untuk bertahan dan terus bertahan.

Namun itu bisa teratasi dari sejauh mana pihak yang berwenang mampu melakukan pencegahan dan deteksi dini.

Dalam konteks DE yang begitu lama tidak terdeteksi bahwa dia terkait dengan jaringan terorisme itu menunjukkan bahwa sistem evaluasi dan deteksi kantor-kantor pemerintah memang sulit menemukannya. Densus 88 dalam hal ini perlu mendapatkan apresiasi yang setinggi-tingginya karena kemampuan mereka yang bisa menelusuri jejak DE dan berhasil menangkapnya. Bayangkan jika tidak ada Densus 88, apa yang akan dilaksanakan oleh DE mengingat DE bekerja pada BUMN yang sangat strategis dan vital. Paling tidak dia pasti mengerti beberapa sistem yang dipunyai oleh KAI.

Sebagai catatan, meskipun aksi terorisme dalam pengertian penyerangan itu berkurang jumlahnya di negara kita, namun bukan berarti kegiatan lain yang menunjang tindakan terorisme mereka itu berhenti. Kaum teroris terus akan bekerja dan bertahan. Seraya bersiap-siap mereka akan melakukan tindakan terorisme sesuai dengan perhitungan mereka. Karena itu posisi kita harus tetap sama yakni mencurigai dan menolak segala hal yang terkait dengan terorisme.

Komentar