DERITA PEMILIK DAN PENGHUNI APARTEMEN AKIBAT AKSI MAFIA

Dua pekan yang lalu di Cokro TV saya sudah memaparkan pengaduan masyarakat tentang kelicikan para developer apartemen jahat.

Ada yang mangkrak, ada yang lepas tanggungjawab, ada yang pailit sehingga para pembeli tidak memperoleh baik apartemen maupun UANG puluhan atau ratusan juta rupiah yang sudah dikeluarkannya.

Seusai video itu saya dikontak lagi oleh para pemilik apartemen yang bilang, persoalan apartemen itu tidak berhenti di situ.

Yang juga parah adalah adanya semacam mafia pengelolaan apartemen.

Dan selama mafia itu tidak dibasmi, para pemilik dan penghuni apartemen akan terus tereksploitasi.

Ini ada kaitannya dengan apa yang disebut sebagai Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun atau dfisingkat dengan (P3SRS).

P3SRS ini adalah organisasi yang seharusnya dibentuk untuk mengatur dan mengelola rumah susun atau apartemen.

Pembentukan P3SRS ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun.

Gampangnya, P3SRS ini adalah semacam RT RW lah.

P3SRS ini seharusnya menjadi organisasi yang mengelola, mengawasi, merawat apartemen ataupun segala macam hal yang merupakan milik bersama para pemilik dan penghuni apartemen.

Kalau isi masing-masing unit apartemen kan hak pribadi atau perorangan ya.

Nah yang di luar unit apartemen itu dianggap sebagai milik bersama.

Misalnya koridor, jalan, tangga, lampu, dinding yang bisa ditempeli banner iklan, tanah atau koridor yang bisa disewakan buat konter penjualan makanan, tempat parkir, kolam renang, atau bahkan rooftop sebagai tempat berdirinya BTS dan sebagainya.

P3SRS juga mengelola saluran air, gas, listrik, lift dan sebagainya

Mereka bertanggungjawab untuk mengorganisasikan kebersihan, keamanan, perawatan, atau juga mengorganisir pembayaran listrik dan air.

Jadi vendor cleaning service atau security sebuah kompleks apartemen misalnya, ditentukan oleh P3SRS ini.

Tapi di sisi lain, mereka juga memperoleh pemasukan luar biasa.

Merekalah yang menetapkan dan mengelola iuran bulanan, namanya Iuran Pemeliharaan Lingkungan atau IPL

Ini semacam iuran bulanan RT-RW, tapi dalam jumlah jauh lebih besar.

Selain itu ada pula Sinking fund, semacam dana cadangan yang tidak boleh diganggu dan baru akan digunakan untuk membiayai keperluan mendesak atas persetujuan pemilik

Besarnya 10% dari iuran IPL.

Nilai rupiah IPL ini cukup besar

Misalnya saja, kalau di sebuah tower ada seribu unit apartemen, dan setiap unit harus membayar iuran sebesar Rp 500 ribu per bulan, maka uang yang diperoleh dari IPL mencapai Rp 500 juta per bulan

Ditambah Sinking Fund, pemasukan dari biaya listrik, biaya air, uang parkir, dana sewa dinding apartemen untuk memasang banner iklan, sewa lokasi untuk ATM, sewa lokasi untuk buka konter penjualan makanan atau pakaian atau barang-barang konsumsi lainnya di ruang terbuka apartemen, dan juga sewa atap apartemen untuk pendirian BTS dari berbagai provider telekomunikasi seperti Telkomsel, Indosat, XL dan lain sebagainya, maka total aliran uang ke P3SRS ini sangat tidak main-main.

Dan P3SRS juga punya kewenangan untuk menaikkan tarif listrik, uang parkir dan sebagainya

Pendek kata, P3SRS mengelola uang miliaran rupiah per bulan.

Karena itu P3SRS menempati posisi penting dalam pengelolaan sebuah kompleks apartemen.

Siapa mereka sebenarnya ditentukan oleh UU No 20/2011 tentang Rumah Susun itu.

Pihak developer bukanlah pemilik dan pengelola apartemen.

Seharusnya sesudah developer membangun dan menjual apartamen, mereka angkat kaki.

Jadi otoritas developer dalam hal tanah bersama, bangunan bersama, benda bersama, diserahkan kepada P3SRS.

Yang membentuk P3SRS, sebagaimana namanya, seharusnya adalah para pemilik unit-unit apartemen.

Dikatakan bahwa satu tahun setelah dilakukan serah terima, pemilik unit secara kolektif akan membentuk P3SRS yang akan memilih atau menunjuk pengelola.

Pengelola ini harus bersifat nirlaba, tidak cari untung.

Untuk mengelola apartemen, P3SRS bisa memutuskan untuk melakukan sendiri atau mengontrak perusahaan tertentu yang ditunjuk melalui tender.

Dalam titik inilah, para pemilik dan penghuni apartemen kerap dikadalin.

Di sinilah apa yang saya sebut sebagai mafia pengelola apartemen bekerja.

Mafia ini bisa saja adalah melibatkan developer, tapi bisa juga semacam sindikat yang memiliki jaringan di apartemen-apartemen yang ada.

Mafia inilah yang cawe-cawe dalam pendirian dan menentukan susunan pengurus P3SRS.

Ini dengan mudah terjadi karena mafia menempatkan orang-orangnya sebagai penghuni di apartemen.

Merekalah yang secara aktif mendirikan P3SRS, dan kemudian menempatkan orang-orangnya di posisi-posisi kepengurusan, dan menunjuk vendor-vendor yang mengoperasikan bisnis di kompleks tersebut..

Mereka dengan mudah bermanuver karena umumnya para pemilik atau penghuni tak tertarik terlibat dalam masalah pengelolaan semacam itu.

Sebagian pemilik baru tergerak untuk bertindak kalau mulai merasa ada yang nggak beres, atau merasa mereka sebenarnya kehilangan hak yang sangat bernilai.

Sebagai contoh, di berbagai kompleks apartemen kita bisa melihat adanya fasilitas umum yang merupakan milik bersama disewakan.

Misalnya saja, roof top, atap apartemen yang disewakan bagi perusahaan-perusahaan telekomunikasi untuk menegakkan BTS.

Setiap bulan ada dana ratusan juta mengalir dari belasan perusahaan telekomunikasi.

Masalahnya, setelah masuk ke kantong pengelola, pertanggungjawabannya tidak jelas.

Ketika pemilik menyadari bahwa ada uang hak mereka yang tersumbat, barulah mereka bersuara.

Begitu juga soal pemasukan parkir, pemasukan dari koridor untuk bisnis kuliner, pemasukan dari penyewaan dinding-dinding untuk keperluan promosi dan lainnya seharusnya menjadi milik P3SRS untuk kepentingan bersama.

Kembali saya tekankan, ini menyangkut uang miliaran rupiah.

Agar bisa menjalankan aksi dengan mulus, P3SRS ini tidak akan transparan dalam mengelola apartemen.

Pemilik apartemen tidak pernah memperoleh pertanggungjawaban keuangan yang detail tentang keluar masuknya uang.

Celakanya lagi ketika pemilik memprotes dugaan kecurangan ini, pengelola bisa melakukan balasan yang mengerikan.

Para pemilik yang berani menolak keputusan-keputusan pengelola, bisa saja diputus aliran listrik dan airnya.

Saya bertemu dengan pemilik apartemen yang mengaku sudah lebih dari satu tahun hidup tanpa listrik dan air di apartemennya.

Dalam video terdahulu, saya juga sudah bercerita tentang seorang ibu bernama Kelly Tan yang harus kehilangan suami di apartemen Mediterania Marina Residence.

Menurut kisah yang diadukan pada saya, P3SRS memutus aliran air dan listrik saat berlangsung konflik antara penghuni dan pengelola apartemen.

Ketika itu suami ibu Kelly sedang sakit ginjal dan melakukan cuci darah dua kali seminggu.

Karena itu dia sangat membutuhkan oksigen, listrik, dan air di unit apartemennya.

Itu berlangsung selama tiga bulan.

Ibu Kelly berulangkali memohon agar pengelola apartemen mau berbaik hati menghidupkan kembali aliran listrik dan air ke unit apartemennya.

Permintaan itu diabaikan.

Akibatnya tragis.

Pada 6 Maret 2022, suami Ibu Kelly meninggal dunia.

Sampai hari ini ibu Kelly masih mengandalkan bantuan air dari tetangga.

Bisnis kulinernya yang ia andalkan untuk mencari nafkah, macet.

Ini benar-benar tragis.

Di sejumlah apartemen, karena adanya ketidakpercayaan berdiri dua P3SRS sekaligus.

Yang satu yang dibuat murni oleh pemilik apartemen, yang satu lagi dibentuk P3SRS.

Para pemilik apartemen mengaku sudah melapor ke Pemprov, polisi, ombudsman, DPRD, YLKI, tanpa hasil.

Jadi, siapa otoritas yang sebenarnya bertanggungjawab atas kekisruhan ini?

Kalau saya dengar penjelasan pemilik apartemen, yang seharusnya turun tangan adalah Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman, Pemprov.

Merekalah yang mengeluarkan SK P3SRS.

Dari yang saya dengar, memang tidak semua apartemen seburuk itu pengelolaannya.

Tapi yang saya ceritakan di atas bukanlah contoh sebagian kecil.

Yang busuk semacam itu banyak.

Padahal seharusnya itu tidak perlu terjadi kalau pemerintah bersedia melakukan kewajibannya.

Pengelolaan apartemen itu berada di bawah kendali Pemprov.

Jadi Pemprov bisa mengontrol pendirian P3SRS, agar tidak disusupi kepentingan-kepentingan developer atau mafia pengelola apartemen.

Pemilihan pengurus P3SRS seharusnya dilakukan secara terbuka di bawah pengawasan pemerintah.

Pemerintah berhak meninjau semua P3SRS yang ada untuk dinilai kelayakannya.

Pemprov juga bisa mewajibkan P3SRS setiap tahun diaudit penerimaan dan pengeluaran keuangannya.

Pemprov bisa mewajibkan laporan keuangan yang rinci, kalau perlu setiap bulan, diupload secara online agar bisa diakses semua pemilik apartemen.

Dan daripada menimbulkan fitnah dan praktek korupsi lagi, sebaiknya pengelolaan diserahkan kepada pihak ketiga, semacam property management , yang dibayar secara professional.

P3SRS tinggal memilih perusahaan property management mana yang bisa mengelola apartemen secara bertanggungjawab.

Apa yang terjadi ini sungguh memperihatinkan.

Dan ini semua sebenarnya bisa diselesaikan bila Pemprov bersedia menjalankan kewajibannya mengatur, mengawasi dan menjaga agar regulasi dilakukan secara benar.

Penderitaan para pemilik apartemen ini tidak bisa dibiarkan terus menerus.

Di satu sisi, rakyat perlu dijamin hak-haknya dan tidak dibiarkan dieksploitasi sekadar sebagai sapi perah developer yang jahat.

Di sisi lain, penertiban apartemen perlu dilakukan agar menjamin kesehatan bisnis properti di Indonesia.

Komentar