HATI-HATI, BANYAK DEVELOPER JAHAT MENZALIMI PEMILIK APARTEMEN

Ketika Anda melihat berbagai tower apartemen di Jakarta atau di kota-kota besar lainnya, Anda perlu tahu ada banyak kisah sedih mengenai para penghuni atau pemilik apartemen itu.

Tentu saja selalu ada banyak developer apartemen yang baik, jujur, dan berintegritas.

Tapi tidak kurang-kurang pula contoh pengembang apartemen yang jahat dan mengkhianati kepercayaan para pembeli apartemen.

Saya belum lama ini bertemu dengan sejumlah pemilik atau pembeli apartemen yang menuturkan penderitaan mereka.

Terus terang saya tidak habis pikir membayangkan bagaimana kasus-kasus kejahatan pengembang apartemen bisa terjadi selama bertahun-tahun, dan ini terus dibiarkan terjadi.

Yang paling banyak dikeluhkan adalah ketiadaan tanggungjawab pengembang apartemen.

Ada banyak kasus di mana pemilik setelah bertahun-tahun membayar ternyata tidak memperoleh apartemen yang dijanjikan.

Bisa saja kemudian pengembang apartemen dinyatakan pailit, dan pembeli tidak memperoleh apartemen yang dijanjikan dan juga tidak memperoleh uang yang sudah dibayarkan kembali.

Ada pula kasus pemilik setelah lunas membayar, tetap tidak memperoleh sertifikat hak milik apartemen, sehingga legalitas apartemen yang mereka miliki tidak terjamin.

Ada pula soal biaya listrik, air dan pemeliharaan fasilitas publik lainnya yang kadang dengan semena-mena dinaikkan oleh pengelola apartemen.

Dan yang paling celaka, ketika para pemilik apartemen ini melawan, pengelola apartemen bisa saja melakukan aksi sepihak yang sebenarnya melawan peraturan perundangan, antara lain dengan memutus aliran air dan listrik apartemen.

Di media saya membaca kasus apartemen Graha Cempaka Mas, di mana sejak Desember 2022, para penghuni di sana tidak memperoleh aliran air dan listrik yang diputus oleh pengelola.

Saya bahkan mendapat cerita tentang seorang ibu bernama Kelly Tan yang harus kehilangan suami di apartemen Mediterania Marina Residence.

Pada Desember 2021, pengelola apartemen memutus aliran air dan listrik saat berlangsung konflik antara penghuni dan pengelola apartemen.

Ketika itu suami ibu Kelly sedang sakit ginjal dan melakukan cuci darah dua kali seminggu.

Karena itu dia sangat membutuhkan oksigen, listrik, dan air di unit apartemennya.

Itu berlangsung selama tiga bulan.

Ibu Kelly berulangkali memohon agar pengelola apartemen mau berbaik hati menghidupkan kembali aliran listrik dan air ke unit apartemennya.

Permintaan itu diabaikan.

Akibatnya tragis.

Pada 6 Maret 2022, suami Ibu Kelly meninggal dunia.

Seperti saya katakan, saya tidak habis pikir bagaimana mungkin orang kehilangan hati.

Dan ada begitu banyak kisah lain tentang penghuni apartemen yang membuat kita prihatin.

Kalau mau dilacak, nampaknya kekisruhan masalah apartemen ini dimulai dengan rencana ambisius 1000 tower yang dicanangkan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 2007 lalu.

Rencana ini semula nampak bisa memberikan solusi bagi persoalan kelangkaan lahan di Jakarta.

Pembangunan tempat tinggal tidak bisa terus dilakukan secara horizontal melainkan vertikal.

Untuk itu, saat itu akan dibangun rumah susun dengan tinggi bangunan antara 12 sampai 24 lantai .

Dalam rencana awal, setiap tahun setidaknya harus dibangun 500 unit perumahan vertikal.

Namun ide besar itu ternyata tidak dijalankan dengan perencanaan yang matang.

Pembangunanya tersendat.

Setelah sempat terhenti, sekitar tahun 2011an program 1000 tower itu dilanjutkan.

Pemerintah sebenarnya terus mendukung gagasan besar ini.

Untuk menarik hati para pengembang swasta, semua perizinan dan persyaratan dipermudah.

Bank pemerintah pun menyediakan kemudahan pinjaman bagi pihak swasta yang tertarik untuk ikut dalam penyediaan rumah untuk masyarakat ini.

Efeknya segera terlihat.

Banyak developer berlomba-lomba ikut membangun.

Yang memperoleh peluang membangun apartemen bukan cuma perusahaan bereputasi baik, tapi bisa juga perusahaan-perusahaan baru.

Sebagian adalah perusahaan yang sekadar mencari keuntungan cepat tanpa perencanaan yang bertanggungjawab.

Dan seperti biasa itu diperburuk oleh oknum-oknum yang dengan mudah membagi-bagi izin tanpa memperhatikan reputasi perusahaan.

Secara perlahan terungkap persoalan demi persoalan.

Ada developer yang berani membangun sebelum memperoleh IMB dan Amdal.

Dan itu dibiarkan oleh pemerintah.

Pembeli sendiri banyak yang tidak lagi meneliti perizinan unit apartemen, karena merasa pembangunan apartemen ini adalah bagian dari program pemerintah.

Apalagi yang membeli di awal pembangunan mendapatkan subsidi dari bank terkait.

Ternyata janji-janji indah di awal pembangunan kerap diabaikan begitu saja.

Bahkan setelah pembeli lunas membayar cicilan, apartemen yang dijanjikan bisa saja tidak rampung.

Dan dalam banyak kasus, posisi pembeli sangat lemah.

Tidak sedikit pembeli yang akhirnya kehilangan harta kekayaan dan tetap tidak memiliki apartemen yang dicita-citakan.

Salah satu contoh yang bisa menunjukkan betapa pembeli menjadi korban adalah kasus Apartemen Kemanggisan Residences di Jl Kemanggisan, Jakarta Barat.

Mulai dibangun pada 2008, Kemanggisan Residences merupakan apartemen bersubsidi yang masuk ke dalam program Kementrian Perumahan Rakyat (Kemenpera).
Proses pembangunannya dipegang oleh PT Mitra Sasif Sejahtera alias PT MSS.

Mereka menawarkan 500 unit apartemen tipe 25 dan tipe 50.
Namun, ketika pembangunan baru mencapai tahap 60 persen, PT. MSS menghentikan pembangunan.

Saat itu 200 konsumen telah membayar lunas, sementara 300 sisanya masih mencicil kredit kepemilikan apartemen (KPA) atau bahkan ada yang baru membayar uang muka (DP).
Akibat mangkrak, apartemen itu digugat ke pengadilan oleh dua pembeli.

Pengadilan menetapkan MSS pailit.

Karena sudah pailit, gedung apartemen tersebut harus dilelang untuk membayar kewajiban developer ke banyak pihak.

Apakah para pembeli yang sudah lunas membayar bisa memperoleh kembali uang yang sudah dikeluarkan selama bertahun-tahun?

Menurut logika awam, harusnya bisa dong.

Hasil lelang itu seharusnya cukup untuk menutup kerugian pembeli.

Tapi ternyata dalam kasus kepailitan, pembeli unit yang sebetulnya adalah para pemilik bangunan justru menjadi pihak terakhir yang memperoleh pembayaran.

Mereka hanya memperoleh kembali 15-20% dari total biaya yang sudah mereka keluarkan.

Begitu tim kurator memperoleh uang pembayaran dari pemenang lelang, uang tersebut disalurkan untuk membayar tagihan dari bank, dari vendor, dan baru terakhir pembeli.

Banyak kisah sedih dibalik kejadian ini.

Salah satunya, ada seorang ibu yang membeli unit apartemen dengan memakai Uang Tunjangan Kematian suaminya.

Ia berharap apartemen itu nantinya bisa disewakan untuk biaya sekolah anak-anaknya.

Ternyata impian itu sirna begitu ia tahu hanya memperoleh kembali 20% dari uang yang sudah ia keluarkan, masa depan anaknya menjadi kabur.

Sang ibu menangis bersimpuh di lantai dekat kaki Hakim sambil memohon keadilan.

Namun bu Hakim dengan wajah datar mengatakan : ‘Uang ibu kembali 20% itu sudah bagus’.

Ini tidak bisa terus dibiarkan.

Negara harus hadir untuk membela kepentingan rakyat.

Komentar