Kadang saya nggak paham dengan logika para politisi senior kita.
Yang terakhir adalah Panda Nababan dari PDIP.
Dia menyebut Gibran Rakabuming, putra Presiden Jokowi yang sekarang sudah lebih dari dua tahun menjabat Walikota Solo, sebagai anak ingusan.
Panda bicara begitu dalam diskusi Adu Perspektif di detik.com, pada Senin 26 Januari lalu.
Topik yang diangkat adalah soal uji materi UU Pemilu tentang batas minimum usia Capres dan Cawapres.
UU saat ini menetapkan usia minimal Capres dan Cawapres adalah 40 tahun.
Itu digugat sejumlah pihak karena dianggap membatasi hak tokoh-tokoh yang lebih muda.
Yang mengajukan Judicial Review semula adalah PSI.
Namun kemudian juga ada sejumlah kepala daerah mengikuti jalan yang sama.
Termasuk di dalamnya Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak, Wali Kota Bukittinggi Erman Safar, Wakil Bupati Lampung Pandu Kesuma Dewangsa, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali, dan Wakil Bupati Mojokerto Muhammad Al Barra.
Dalam konteks itulah, Panda ditanya pendapatnya tentang kemungkinan diajukannya Gibran yang memang baru berusia 36 tahun menjadi cawapres nanti.
Jawaban Panda mengejutkan.
Dia bilang Gibran belum pantas maju dan masih harus banyak belajar di dunia politik.
Bahkan dia secara spesifik bilang, Gibran anak ingusan.
Dia bilang lagi, nanti anak itu besar kepala.
Panda menjelaskan bahwa ayah Gibran, Presiden Jokowi, dulu menjalani proses yang panjang sebelum mencalonkan diri menjadi Capres 2014.
“Gibran juga butuh proses panjang seperti bapaknya,” kata Panda. “Nggak langsung ujug-ujug kayak gitu. Kayak dinasti aja!”
Panda juga menyarankan Gibran harus sering mendekatkan diri ke rakyat seperti ayahnya.
Kata Panda, “Dia harus memperjuangkan rakyat, seperti yang dilakukan bapaknya. Tiba-tiba anak presiden langsung jadi, ya nggak lah.”
Seperti saya katakan, saya tidak paham dengan logika Panda.
Bagaimana mungkin Gibran disebut sebagai anak ingusan?
Dan kok terkesan Panda sama sekali tidak peduli dengan perasaan sang ayah, Jokowi?
Saya duga sih Jokowi tidak berada di belakang rencana pengajuan nama Gibran sebagai cawapres seperti yang sering terdengar belakangan ini.
Jadi barangkali Jokowi sih tidak ingin Gibran menjadi Cawapres.
Namun, sebagai ayah, tidakkah dia akan tersinggung juga kalau anaknya disebut ‘ingusan’?
Apalagi Gibran memang sama sekali tidak layak disebut ingusan.
Gibran itu sudah dua tahun memimpin Solo, dengan cara yang layak dipuji.
Saya ingin mengutip komentar salah seorang Ketua DPP PSI, Ariyo Bimo, saat menanggapi pendapat Panda.
Ariyo bilang Gibran sebagai orang nomor satu di Kota Solo mampu mentransformasi Solo menjadi kota kreatif dan pertumbuhan ekonominya membaik.
Beberapa program Gibran yang dipuji adalah revitalisasi Solo Technopark Park, Taman Balekambang, dan IKM Mebel Gilingan.
Hasil survei SMRC pertengahan bulan Juni menunjukkan, di mata public, Gibran menempati peringkat pertama pemimpin masa depan Indonesia, di atas Ganjar, AHY dan lain-lain.
Jadi melecehkan Gibran sebagai sekadar anak ingusan terkesan sebagai komentar kosong yang tak melandaskan diri pada penilaian yang rasional.
Yang lebih mengherankan lagi, bukankah Gibran sendiri adalah kader PDIP?
Kenapa Panda harus melecehkan Gibran yang adalah salah satu kader muda PDIP terbaik?
Apakah ucapan politisi senior ini terlontar karena Gibran diragukan loyalitasnya?
Gibran memang sempat beberapa kali dianggap membandel.
Pekan lalu misalnya dia diketahui menemani Prabowo dalam acara Ultah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia di Solo.
Pada Mei lalu juga, Gibran juga bikin geger karena bertemu relawan Jokowi dan Gibran yang mendukung Prabowo.
Seusai acara Mei lalu, Gibran diketahui dipanggil DPP PSI di Jakarta.Tak ada kabar bahwa Gibran kembali dipanggil seusai acara di ultah PMII itu.
Namun, seusai acara, Gibran menegaskan tidak khawatir akan dipanggil PDIP Pusat karena kedekatannya dengan Prabowo itu.
Tapi di sisi lain, dia juga menegaskan bahwa dia tetap tegak lurus mendukung Megawati.
Karena itu, menurutnya, dia tetap mengikuti garis partai yang mendukung Ganjar.
Jadi, kalau begitu, kembali ke persoalan awal, apa yang membuat Panda sedemikian melecehkan Gibran?
Maksud saya, kalaupun Pandan memang sungguh-sungguh menganggap Gibran tidak pantas menjadi cawapres, dia sebenarnya bisa menggunakan pilihan narasi atau istilah yang lain.
Dia kan bisa dengan mudah menggunakan penjelasan seperti misalnya, “Sebaiknya Gibran mengembangkan pengalaman kepemimpinannya di Solo sebelum nanti maju ke tahap yang lebih tinggi.”
Sebagai politisi senior, Panda pasti punya pilihan diksi yang lebih bijaksana.
Tapi anehnya, bukan pilihan kata-kata menyejukkan itu yang ia gunakan.
Panda menyebut Gibran sebagai ‘anak ingusan’, yang ‘besar kepala’.
Panda bahkan menyebut istilah ‘politik dinasti’.
Itu semua kan terkesan ketus dan menyakiti perasaan.
Bahkan terkesan meremehkan generasi muda yang diwakili Gibran, dan itu sangat mungkin semakin menggerus suara dukungan terhadap, bukan saja PDIP, tapi juga Ganjar sebagai Capres.
Buat saya, komentar Panda Nababan ini sungguh mengherankan.
Walau, setelah dipikir-pikir keketusan Panda ini bisa jadi terjadi karena dia memang sedang khawatir.
Dia bisa jadi galau karena nama Gibran diduga hendak dimajukan sebagai Cawapresnya Prabowo.
Sebenarnya kita mungkin tak terlalu yakin kalaupun JR ke MK ini dipenuhi dan batas minimal usia capres cawapres diturunkan, Gibran memang akan maju sebagai cawapresnya Prabowo.
Saya sendiri sih tidak pernah dengar ada upaya serius dan terencana untuk memajukan nama Gibran sebagai pasangan Prabowo.
Omongan warung kopi sih ada, tapi yang bertaraf serius sih nggak ada.
Tapi saya duga Panda melihat ini sebagai sebuah kemungkinan yang tidak bisa dianggap mustahil terjadi, dan ia merasa tidak nyaman dengannya.
Kalau Gibran maju dalam paket Prabowo, ini akan menciptakan konstelasi baru yang akan semakin mempersulit peluang Ganjar.
Kita tahu bahwa saat ini sebenarnya posisi Pak Jokowi sedang dalam kondisi tidak pasti.
Jokowi mungkin tidak sudah berada dalam kubu Prabowo, tapi paling tidak dia sudah tidak lagi all out mendukung Ganjar.
Saya percaya hati Jokowi ada pada Ganjar, tapi ada banyak hambatan dan gangguan di sekeliling Ganjar, yang menyebabkan Jokowi saat ini tak bisa sepenuhnya menggunakan kharisma dan daya pengaruhnya untuk memenangkan Ganjar.
Posisi Jokowi sekarang terkesan fifty fifty.
Dan kalau sekarang, Gibran terbukti masuk dalam paket Prabowo, itu adalah sebuah sinyal yang sangat tegas tentang di mana Jokowi akan berdiri.
Gambaran itu yang mungkin mengganggu Panda.
Sayangnya, saya rasa Panda menjadi terlalu emosional sampai mengeluarkan kata-kata yang melecehkan seperti itu.
Saya percaya kata-kata itu keluar di luar kendali rasionalnya, dan tidak mewakili partainya.
Kita berharap saja Jokowi sekeluarga tidak terlalu menganggap serius ucapan itu.
Mudah-mudahan ini tidak sampai merugikan PDIP.
Dan yang lebih penting lagi, mudah-mudahan ini tidak menggerus peluang Ganjar.