ORANG MISKIN SEHARUSNYA BOLEH SAKIT

Orang Miskin Dilarang
Sakit.

Judul buku populer yang ditulis Eko Prasetyo sepuluh tahun yang lalu ini kembali terlintas di kepala saya ketika mendengar cerita tragis sebuah keluarga di Jember.

Ibu di keluarga itu bunuh diri setelah sebelumnya membunuh dua anak kandungnya yang berusia tujuh tahun dan enam bulan.

Diketahui, sejak tahun 2018, sang ibu sudah mengalami depresi.

Suaminya sempat membawa istrinya berobat rutin ke Rumah Sakit Dr. Soebandi.

Di sana ia ditangani oleh dokter jiwa dan rutin meminum obat dari dokter.

Namun beberapa bulan yang lalu pengobatannya terhenti.

Sang suami sudah tidak sanggup lagi membayar iuran BPJS.

Akibatnya si istri tidak bisa melanjutkan pengobatan.

Dalam kondisi itulah, tragedy tersebut terjadi.

Cerita-cerita semacam ini bukanlah hal baru.

Kita yang adalah bagian dari kelas menengah mungkin tidak pernah mengalami kondisi separah itu.

Tapi realitanya ada banyak masyarakat miskin di Indonesia yang tidak seberuntung kita.

Mereka tak mampu membiayai asuransi kesehatan yang sebetulnya sangat mereka butuhkan.

Memang, umumnya dampaknya tidak sedramatis ibu di Jember tadi.

Tapi tetap saja ini membuat mereka tak bisa memperoleh layanan kesehatan, yang minimal sekalipun, yang sebenarnya merupakan hak mereka sebagai warga negara.

Skema BPJS yang sekarang berlaku sebenarnya dihadirkan untuk menjawab kebutuhan kaum miskin ini.

Idealnya memang begitu.

Tapi ada satu masalah serius.

Untuk bisa mendapat pelayanan BPJS, warga harus membayar iuran BPJS.

Dan di sini lah pangkal masalah.

Banyak orang yang tidak membayar iuran wajib BPJS sehingga mereka tidak tercatat sebagai peserta BPJS.

Dan begitu mereka tidak tercatat sebagai peserta BPJS, mereka tidak bisa memperoleh pelayanan kesehatan murah atau bahkan gratis.

Karena itu jawabannya hanya satu.

Seharusnya semua warga Indonesia bisa memperoleh pelayanan kesehatan dari negara tanpa harus menjadi peserta BPJS.

Dan itu sangat realistis untuk dilakukan.

Pemahaman ini saya peroleh setelah saya belajar skema BPJS Gratis yang diperkenalkan partai politik di mana saya berada, PSI.

Konsep BPJS Gratis ini menjadi salah satu program yang hendak diperjuangkan PSI di parleman kalau PSI masuk ke DPR.

BPJS Gratis sudah dilakukan di sejumlah negara di dunia yang memang menjalankan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil.

Ini misalnya diterapkan di negara tetangga kita, Malaysia, dan juga Swedia, Denmark, dan Finlandia.

Istilah terkenalnya adalah pelayanan kesehatan universal, atau universal health coverage.

Dalam skema ini, yang bisa memperoleh pelayanan kesehatan seharusnya adalah semua warga negara, bukan cuma mereka yang berduit.

Dengan kata lain, orang miskin boleh sakit karena akan ada negara yang melayani pembiayaan kesehatan mereka.

Kalau skema ini diterapkan, semua warga tidak lagi harus membayar iuran BPJS.

Di Indonesia, selama ini ada range iuran berdasarkan jenis kepesertaan.

Ada sih warga miskin yang sama sekali tidak perlu bayar iuran.

Mereka ini tergolong dalam peserta PBI alias Penerima Bantuan Iuran.

Sebenarnya peserta PBI harus bayar iuran sekitar Rp 42.000 per bulan.

Namun iuran tersebut dibayarkan Pemerintah, sehingga peserta PBI tidak perlu bayar apa-apa.

Kemudian ada Peserta PPU alias Pekerja Penerima Upah dan pekerja formal.

Termasuk di dalamnya adalah ASN, TNI, POLRI dan juga pegawai swasta,

Iurannya 5%.

Dengan rincian 4% dibayar perusahaan atau lembaga di mana mereka bekerja dan 1% oleh si pegawai sendiri.

Batas atasnya sebesar Rp 12 juta.

Setelah itu ada kelompok peserta sektor informal yang tidak bergaji.

Mereka dikelompokkan sebagai peserta PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) dan BP (Bukan Pekerja).

Dalam kelompok ini, peserta dapat memilih besaran iuran sesuai yang dikehendaki.

Kelas 1 sebesar Rp 150.000 per orang per bulan, kelas 2 sebesar Rp 100.000 per orang per bulan dan kelas 3 sebesar Rp 35.000 per orang per bulan.

Di atas kertas semua mungkin terkesan bagus.

Tapi dalam prakteknya, banyak persoalan timbul.

Misalnya soal PBI.

Untuk bisa dibebaskan dari iuran, seseorang harus tercatat sebagai peserta PBI.

Dan banyak orang miskin akhirnya tidak memperoleh layanan ini karena mereka tidak mengurus keikutsertaan mereka.

Proses diterima sebagai peserta PBI tidak mudah dan makan waktu lama.

Ada birokrasi yang menyebabkan banyak orang terkendala mengurusnya.

Ketika dia jatuh sakit dan memerlukan perawatan, barulah keluarga kelimpungan mengurusnya.

Atau persoalan peserta Pekerja Penerima Upah, alias karyawan yang bekerja di sebuah perusahaan.

Bisa saja iuran mereka tidak dibayarkan bukan karena mereka tidak bersedia bayar, melainkan karena perusahaan tidak menjalankan kewajibannya.

Ini misalnya terungkap dalam kisruh ketenagakerjaan di Rumas Sakit Haji Jakarta yang sedang ramai dibicarakan.

Ternyata selama berbulan-bulan pihak Rumah sakit tidak membayarkan kewajiban iuran BPJS karyawannya.

Si karyawan RSHJ baru sadar bahwa dia tidak bisa menggunakan kartu BPJSnya saat sakit karena dianggap menunggak berbulan-bulan.

Kalau kondisinya sudah parah, keterlambatan penanganan sangat mungkin memakan nyawanya.

Kasus lain adalah pada pekerja informal.

Bisa saja seorang warga di sektor informal semula rajin membayar iuran.

Tapi kemudian datanglah guncangan tiba-tiba seperti krisis ekonomi atau pandemi covid.

Akibat guncangan itu, dia tidak bisa memenuhi kewajibannya membayar rutin iuran BPJS.

Dan ini bisa berlangsung dalam periode waktu yang lama.

Akhirnya tunggakannya menumpuk.

Saat dia atau anggota keluarganya jatuh sakit, dia harus membayar tunggakan dulu sebelum bisa kembali memperoleh pelayanan BPJS.

Hal-hal semacam ini lazim terjadi.

Seperti yang bisa Anda pelajari, persoalan utama dengan skema ini ada pada sistem kepesertaan yang berdasarkan iuran.

Karena itu, agar semua warga bisa dilayani kesehatannya, faktor iuran harus ditiadakan.

Hanya dengan cara ini semua warga terjamin haknya untuk mengakses layanan kesehatan tanpa terkecuali seperti yang diamanatkan Pasal 28 dan pasal 34 UUD 45.

Apakah ini tidak akan menguntungkan orang-orang mampu dan kaya?

Tidak juga.

Nantinya tidak akan ada lagi kelas-kelas rawat inap bagi peserta BPJS.

Sekarang ini kan ada kelas rawat inap 1,2, dan 3.

Kalau skema BPJS Gratis diterapkan, hanya akan ada kelas rawat inap standar atau KRIS.

Jadi baik Anda orang mampu atau miskin, kelas rawat inapnya ya sama.

Saya duga, sebagian besar kaum kaya di Indonesia tidak akan bersedia memanfaatkan jasa BPJS, karena masalah standard pelayanan ini.

Pada akhirnya pertanyaan pamungkasnya adalah, apakah ada dana tersedia untuk membiayai ini semua?

Jawabannya, sangat ada.

Tapi BPJS seharusnya tidak melandaskan diri pada iuran.

Di semua negara yang sudah menjalankan skema BPJS Gratis, sumber dana pelayanan kesehatan universal datang dari dua sumber.

Pertama, subsidi negara melalui APBN.

Di negara kita, ini sebenarnya sudah diterapkan.

Saat ini, tahun ini pemerintah sudah mengeluarkan dana Rp 62 Triliun untuk membiayai peserta PBI.

Kedua, yang baru adalah, selain APBN, dana BPJS bisa diperoleh melalui pemotongan 1% dari Pajak Pertambahan Nilai dan PPN Barang mewah.

Jadi setiap kali kita berbelanja, ada 1% yang diambil dari harga yang kita bayar untuk membiayai BPJS.

Dengan kata lain, setiap warga tetap harus menyumbang BPJS, tapi tidak lewat iuran melainkan melalui PPN saat berbelanja.

Saya merasa tawaran BPJS Gratis ini sangat pantas dilakukan, masuk akal untuk dilakukan, dan bisa dilakukan untuk membantu seluruh rakyat Indonesia.

Karena itu saya rasa gagasan ini seharusnya diperjuangkan oleh semua partai politik.

PSI mungkin adalah partai pertama yang mengangkatnya, tapi saya rasa sama sekali tidak salah bila partai-partai lain turut memperjuangkannya.

Jangan lagi terjadi ada warga di Indonesia yang terkhianati haknya untuk memperoleh layanan kesehatan.

Komentar