VIHARA UMAT BUDHA BERUSIA 100 TAHUN TERANCAM DIBANGKRUTKAN

Masalah rumah ibadah di Indonesia seperti tidak ada habis-habisnya.

Kali ini menyangkut rumah ibadah umat Buddha, Vihara Amurva Bhumi.

Yang sudah berusia sekitar 100 tahun.

Tapi yang ini kasusnya agak beda dengan konflik rumah ibadah lainnya.

Biasanya kan yang terjadi, rumah ibadah dilarang berdiri atau bahkan dihancurkan secara fisik.

Vihara Amurva Budhi tidak menghadapi ancaman semacam itu.

Vihara di di wilayah Karet Semanggi, itu terancam dibangkrutkan.

Ini gara-gara gugatan perusahaan swasta bernama PT Danataru Jaya.

Danataru mengclaim bahwa sebagian jalan masuk Vihara adalah miliknya.

Padahal sejak dulu pengunjung Vihara menggunakan jalan tersebut sebagai jalan masuk untuk beribadah.

Menurut pengurus Vihara, jalan masuk tersebut dihibahkan warga sekitar Vihara, dari semula hanya sejalan setapak menjadi jalan lebar yang bisa dilewati mobil.

Surat hibah tersebut tercatat di notaris.

Tapi tahun lalu Danataru yang merupakan bagian dari grup perusahaan Victoria menggugatnya.

Danataru juga menuntut ganti rugi sebesar Rp 1,386 miliar.

Plus sanksi Rp 200 ribu per hari bila tuntutan ganti rugi miliaran rupiah itu belum juga dipenuhi pihak Vihara.

Tanah yang jadi objek sengketa itu tidaklah besar.

Luasnya hanya 462 m2.

Tapi bagi Danataru, lokasi tanah itu sangat strategis.

Danataru itu punya dua bidang tanah yang sangat luas tapi terputus oleh jalan masuk Vihara.

Jadi kalau tanah sengketa itu bisa diakui sebagai milik Danataru, kedua tanah itu bisa disatukan.

Jalan masuk tersebut menempel persis dengan jalur aliran air KALI TIONG milik Pemda DKI dibawah Suku Dinas Tata Air Walikota Jakarta Selatan.

Jadi di dalam kawasan tanah sengketa itu ada bagian yang sebenarnya merupakan aset milik negara.

Vihara dan umat Buddha sudah menyatakan akan terus mempertahankan apa yang menjadi hak mereka.

Pengurus Vihara percaya Danataru membutuhkan sepenggal tanah di jalan masuk itu agar harga tanah Danataru meningkat.

Karena terputus oleh jalan masuk Vihara, Nilai Jual Objek pajak (NJOP) kedua bidang tanah itu memang jadi jomplang.

Diperkirakan NJOP tanah di bagian luar mencapai Rp 80 juta per meter persegi, sementara yang di bagian dalam hanya Rp 18 juta per meter persegi.

Kalau ada jalan yang menghubungkan keduanya, kedua bidang tanah itu bisa dijual sebagai satu kesatuan.

Terlepas dari motivasi Danataru, keputusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memang memenangkan perusahaan itu.

Tentu saja pihak Vihara tidak menerima begitu saja.

Mereka sudah mengajukan banding dan menghubungi instansi pemerintah yang memiliki otoritas atas persoalan pertanahan.

Kepada media, pengurus Vihara, Indra Gunawan menyatakan dia menduga ada mafia tanah yang bermain sehingga Danataru bisa mengklaim tanah yang sudah dimiliki Vihara selama 100 tahun itu.

Menurut Indra, mereka telah memiliki bukti gambar akta tanah sejak lama.

Tanah itu pun sebagian masuk dalam Dinas tata Air Pemerintah Provinsi DKI.

Kok sekarang tiba-tiba bisa diklaim oleh Danataru?

Vihara yang juga bernama Hok Teng Tjeng Sin ini adalah bagian dari cagar budaya di Jakarta.

Pihak Danataru mengakui menguasai tanah itu ketika Victoria Group – induk perusahaan mereka – membeli aset-aset Bank Danamon.

Termasuk dalam aset yang dibeli adalah dua bidang tanah bersertifikat seluas 14.000 m2 di wilayah Karet Semanggi itu.

Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 298 di tanah itu terbit tahun 1998.

Dalam sertifikat tercatat bahwa kedua bidang tanah itu merupakan satu kesatuan.

Tapi ternyata di lapangan, tanah tersebut terbelah oleh akses jalan masuk Vihara seluas 462 m2.

Menurut Danataru, mereka sudah menghubungi Vihara dan meminta agar akses jalan masuk tersebut diberikan kepada mereka.

Sebagai penggantinya, Danataru akan membangun akses jalan baru.

Menurut mereka, jalan baru itu akan lebih besar daripada akses jalan masuk yang sekarang ada.

Vihara menolak.

Karena itulah pada Agustus 2022 lalu, Danataru menggugat kepemilikan tanah tersebut kepada Pengadilan Jakarta Selatan.

Mereka berdalih, gugatan tersebut hanyalah bertujuan untuk mencari kejelasan.

Namun anehnya, dalam gugatan tersebut, Danataru juga mengajukan tuntutan ganti rugi dengan nilai fantastis.

Pada 22 Mei lalu, pengadilan memenangkan Danataru.

Akibatnya sekarang eksistensi Vihara terancam.

Bukan saja itu berarti sebagian akses jalan masuk ke Vihara akan diambil alih Danataru.

Tapi mereka juga harus membayar Rp 1,386 miliar dan uang paksa Rp 200 ribu per hari.

Vihara sendiri mengaku bahwa bukan kali ini saja tanah itu disengketakan.

Pada tahun 1995, pemilik lama Danataru, Bank Danamon juga pernah mensengketakannya.

Tapi ketika itu pengadilan memenangkan Vihara.

Sebagai cagar budaya, Vihara itu memiliki keistimewaan tersendiri.

Bukan saja usianya sudah 100 tahun, tampilannya pun menawan.

Vihara ini memiliki sentuhan khas arsitektur Tiongkok.

Di bagian depan pintu masuk, ada gapura yang didominasi warna merah dan kuning.

Atap gapura ini berbentuk runcing pada kedua sisi ujungnya.

Pada bagian atas gapura yang dihiasi tulisan Cina terdapat pula patung dua naga dan di tengah-tengahnya terdapat mutiara.

Gapura ini dihiasi pula lampion-lampion merah yang cantik.

Proses hukum Vihara masih terus berjalan.

Pada Senin 19 Juni, pemerintah diwakili Wakil Menteri Agraria Raja Juli Antoni sudah mengunjungi Vihara Amurva Bhumi.

Dalam pertemuan itu, Raja Juli, yang aslinya aktivis kemanusiaan dari PSI, menegaskan bahwa dia akan mengawal tegaknya keadilan.

Menurutnya, dia tidak anti terhadap bisnis dan investasi, tapi aktivitas ekonomi yang dilakukan tidak boleh mengganggu rumah ibadah.

“Saya memastikan akan menyelesaikan konflik ini,” ujar Raja.

Dia mengakui kejadian serupa juga terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia.

Tidak hanya terhadap Vihara, namun terhadap masjid dan tempat ibadah lainnya.

Kita tentu berharap kisruh Vihara ini dapat diselesaikan dengan cara sebaik mungkin.

Di satu sisi, perlu ada penegakan hukum yang tegas.

Rasanya perlu ada penyelidikan khusus untuk mempelajari mengapa ada dua dokumen resmi yang isinya bertentangan.

Perlu dipelajari bagaimana mungkin setelah seratus tahun, kini dinyatakan bahwa sebagian tanah yang digunakan Vihara tersebut sebenarnya dimiliki pihak lain.

Dan di sisi lain, ada isu hak beribadah.

Bila proses hukum ini berlanjut, dan Vihara terpaksa harus membayar ganti rugi sampai Rp 1,386 miliar plus denda Rp 200 ribu per hari, bisa dibayangkan Vihara tersebut akan kehabisan dana,

Mereka mungkin bahkan akan berutang.

Pada akhirnya, sangat mungkin Vihara terpaksa menutup tempat ibadah itu.

Mudah-mudahan pihak Danataru bisa berempati dengan kesulitan yang kini dihadapi Vihara.

Mereka sudah tenteram beribadah selama 100 tahun.

Mereka layak untuk bisa bahagia menjalankan kewajiban mereka 100 tahun berikutnya.

Ayo Gunakan akal sehat.

Karena hanya dengan akal sehat, bangsa ini akan selamat.

Komentar