Apakah Kita Harus Berhenti Bicara Soal Keburukan dan Kejahatan Anies?

Sebagian pihak menyarankan, kalau kita tidak ingin Anies jadi Presiden, sebaiknya berhenti bicara soal Anies Baswedan.

Saran mereka, saat ada berita negatif atau konyol tentang Anies, sebaiknya diamkan saja.

Kalau kita terus membicarakan Anies, yang akan diuntungkan ya Anies sendiri.

Dia jadi bahan pembicaraan sehingga popularitasnya naik.

Karena popularitasnya naik, semakin banyak pula orang yang membicarakannya, kata mereka.

Jadi ini seperti siklus yang tak berkesudahan.

Dia akan menempati posisi ‘top of mind’ nama yang paling diingat.

Karena itu, menurut mereka, cara terbaik bagi kalangan yang kritis terhadap Anies adalah mendiamkannya.

Anggap saja Anies itu tidak ada.

As if he doesn’t exist.

Bahkan ada anggapan bahwa kubu Anies memang sengaja menciptakan isu-isu terkait Anies sehingga dibicarakan rame-rame.

Ini bukan cuma soal berita positif, tapi juga berita negatif.

Anda mungkin pernah melihat video yang menampilkan Anies naik MRT tapi tidak ada warga yang menyapanya.

Itu mungkin terasa memalukan buat Anies.

Namun, bisa jadi dibuat dengan sengaja oleh kubu Anies.

Bukan cueknya warga yang direkayasa, tapi videonya itu yang merupakan produk kubu Anies dan dengan sengaja disebarkan mereka melalui media sosial.

Jadi kan sebenarnya kubu Anies bisa saja tidak menyebarkan video memalukan itu kepada publik.

Tapi karena mereka percaya bahwa kemunculan nama dan sosok Anies setiap hari akan menaikkan popularitas dia, maka video memalukan itu pun disebarkan.

Karena itu, kata mereka, diamkan saja Anies.

Kalau kita percaya dengan prinsip itu, implikasinya adalah jangan bicarakan lagi Anies.

Kata anak sekarang, anyepin aja.

Kalau kita terus berbicara, berdebat, dan mengeritik Anies, yang akan diuntungkan adalah Anies sendiri.

Nah, bisakah pandangan itu diterima?

Saya belajar ilmu komunikasi, dan dari apa yang saya tahu, pandangan semacam itu sangat bisa diperdebatkan bahkan sulit untuk diterima.

Memang ada sebuah ungkapan yang sering dikutip.

Kalimatnya berbunyi
“There is no such thing as bad publicity!”.

Yang artinya kira-kira
“Tidak ada yang namanya publisitas buruk!”.

Publisitas adalah publisitas, dan karena itu publisitas buruk pun akan mengangkat popularitas seseorang.

Penulis terkenal Oscar Wilde juga pernah bilang
“Yang lebih buruk daripada jadi bahan gunjingan orang adalah tidak digunjingkan sama sekali”.

Intinya, kalaupun orang bicara buruk tentang kita, itu tetap lebih baik daripada kita tidak dibicarakan sama sekali.

Ini yang menyebabkan banyak artis dengan sengaja menciptakan misalnya kabar perselingkuhan, konflik keluarga, walaupun itu sebenarnya tidak terjadi.

Tidak jadi soal kalau si artis itu kemudian mendapat cap sebagai pelakor atau buaya.

Yang penting nama dia terus muncul di media.

Dan kalau sudah begitu ya jauh lebih mudah menjual produk yang terkait dengan namanya.

Berita gossip adalah iklan gratis bagi artis semacam itu.

Logika itu yang sekarang digunakan saat bicara Anies.

Tapi harus saya katakan, argumen semacam itu layak sekali diragukan.

Tidak ada teori yang mengatakan pemberitaan negative, apalagi secara terus menerus, akan meningkatkan reputasi orang.

Mungkin benar bahwa itu akan menyebabkan nama orang itu mudah diingat orang.

Tapi tidak berarti dengan begitu orang akan menyukainya.

Kalau itu diterapkan dalam kasus artis hiburan mungkin masih ada benarnya.

Orang seperti Nikita Mirzani memang mungkin saja sering bikin sensasi dan karena itu setiap kali dia muncul dalam pagelaran tertentu, banyak orang bersedia mengeluarkan uang hanya untuk bisa menyaksikannya di panggung.

Tapi Nikita kan memang tidak sedang berusaha membuat masyarakat mencintai dia.

Ini yang tidak berlaku dalam kasus Anies.

Terutama dalam kaitannya dengan rencana dia maju sebagai capres.

Agar bisa dipilih sebagai presiden, Anies perlu membangun kredibilitas.

Untuk itu dia memerlukan publisitas yang baik.

Jadi yang terpenting bukanlah seberapa sering dia disebut, tapi dalam cara apa atau bagaimana dia disebut.

Memang benar untuk bisa menang, dia harus dikenal secara luas.

Tapi juga penting untuk bertanya
“Dia dikenal sebagai apa?”

Kalau Anies terus digambarkan sebagai pembohong, maka yang melekat di benak orang, paling tidak di sebagian orang, Anies adalah pembohong.

Yang harus kita hindari adalah menyebarkan kebohongan tentang Anies.

Itu tidak boleh.

Bukan saja karena itu tidak etis, tapi juga karena kalau ketahuan kita bohong itu justru akan mengangkat simpati pada Anies.

Kita juga jangan sampai bersikap rasis pada Anies, dengan menyebutnya sebagai si Arab atau si Yaman.

Kita juga jangan sampai berkata kotor misalnya dengan memplesetkan nama Anies menjadi lubang dubur, misalnya.

Itu semua justru akan membangun simpati pada Anies, sehingga dia seolah-olah adalah korban.

Padahal Anies sangat pintar ‘playing victim’.

Tapi setelah menyatakan itu semua, kita semua juga tak boleh berhenti membicarakan sisi-sisi negatif Anies.

Dan itu harus dilakukan secara terbuka kepada publik.

Kita justru bersalah kalau sampai tidak membicarakan sisi-sisi negatif Anies.

Beberapa waktu yang lalu, ada seorang tiktoker yang menggambarkan betapa Anies di saat-saat terakhir sebelum turun berulangkali meresmikan proyek-proyek yang belum rampung.

Misalnya saja waduk Brigif yang progressnya bagu 70 persen, fasilitas pengolahan sampah yang progressnya baru 83 persen, dan halte Transjakarta Bundaran HI yang masih dalam tahap finishing.

Itu dilakukan agar menaikkan legitimasi dia sebagai Gubernur.

Padahal di mana-mana juga, peresmian proyek baru layak dilakukan kalau proyeknya rampung.

Lantas ada pula tiktoker yang menampilkan rangkaian proyek sia-sia Anies.

Dari tugu peti mati, tugu sepatu, batu bronjong, toa mengatasi banjir, ganti nama jalan, sampai cat genteng rumah.

Buat saya kedua tiktoker ini sudah menjalankan kewajibannya sebagai warga yang baik.

Mereka mengajak kita semua untuk meninjau ulang rekam jejak Anies.

Hanya dengan mengenali rekam jejak itulah, kita bisa menilai layak tidaknya Anies sebagai calon presiden.

Itu baru hal-hal yang nampak pinggiran, walau sebenarnya juga penting.

Belum lagi persoalan-persoalan besar lainnya, dari Formula E, penanganan banjir, rumah DP 0 rupiah, oke oce, dan sebagainya.

Itu justru harus terus diangkat agar masyarakat memiliki pengetahuan cukup tentang kualitas sang calon presiden.

Jadi apakah kita sebaiknya berhenti bicara soal Anies?

Saya percaya, saya yakin, tidak.

Kita harus terus membicarakan Anies demi masa depan Indonesia.

Ayo gunakan akal sehat.

Karena hanya kalau kita gunakan akal sehat, Indonesia akan selamat.

Komentar