NasDem Kasihan, Suaranya Anjlok

Akhirnya selesai sudah ajang piala dunia 2022 di Qatar, dengan pemegang juara adalah Argentina. Masa-masa begadang kita pun selesai sudah dan kembali pada kehidupan nyata dengan begitu banyak masalah. Salah satu yang lagi pusing dalam situasi belakangan ini adalah Partai Nasional Demokrat atau disingkat dengan Nasdem. Nasdem adalah partai yang dikomandani oleh Surya Paloh, politikus gaek yang berhasil survive di era politik yang sangat tajam polarisasinya belakangan ini.

Nasdem di tahun 2019, angkanya melonjak tinggi dari tahun sebelumnya. Kalau tahun 2014 Nasdem hanya bisa meraih 6 persen suara nasional, di tahun 2019 Nasdem bisa naik tinggi ke urutan ke 6 daftar partai yang lolos ke Senayan dengan angka 9 persen perolehan suara nasional. Posisi Nasdem ini membuat Surya Paloh semakin diperhitungkan di pentas politik nasional, karena kemampuannya untuk berada di barisan pemenang kekuasaan.

Tetapi menariknya, sebuah survei dari lembaga yang terpercaya yaitu SMRC menunjukkan fakta yang mengagetkan kalau survei terhadap Nasdem itu turun terus dalam beberapa waktu ini. Di bulan November hasil survei Nasdem hanya mencapai 4,8 persen. Tetapi di bulan Desember, elektabilitas Nasdem menurut SMRC hanya 3,2 persen saja. Dan kalau Pemilu dilakukan hari ini, sudah jelas Nasdem tidak akan lolos ke Senayan, mengingat syarat untuk lolos partai harus mendapat minimal 4 persen suara nasional.

Pertanyaannya nih, apa penyebabnya? Apakah karena nama Anies Baswedan yang sekarang sedang diusung Nasdem? Saya coba mengulik sedikit kemungkinan kenapa suara Nasdem turun terus dan gak sesuai dengan harapan Surya Paloh ketika dia pertama kali menunjuk Anies Baswedan sebagai calon presiden Nasdem.

Polarisasi di negara ini akibat Pilgub DKI di tahun 2017 yang penuh dengan politik identitas itu bukannya semakin berkurang, justru semakin menguat. Polarisasi atau perbedaan pandangan dalam politik itu dicemaskan banyak orang karena bisa mengakibatkan perpecahan. Tapi, maaf ya, saya berpandangan terbalik, perbedaan pandangan itu penting banget apalagi ketika kita berhadapan dengan kelompok yang ingin mendirikan negara agama di NKRI ini. Karena tanpa perbedaan pandangan yang kuat, maka bisa dipastikan ide pendirian negara agama akan dimakan oleh masyarakat mwam karena dibiarkan.

Jadi, polarisasi pada saat sekarang ini sebenarnya positif bukan malah negatif dan memang harus dipeliharan, karena kalau bicara tentang NKRI, tentang Pancasila, tentang ideologi negara, tidak boleh ada perbedaan pandangan. Dan pandangan yang membela negara adalah pandangan yang seharusnya paling kuat dari pandangan kelompok yang ingin mendirikan negara agama di negeri ini.

Anies Baswedan, akibat apa yang dia lakukan di Pilgub DKI 2017, sudah terstigma namanya sebagai bapak politik identitas. Pilgub DKI di tahun 2017 memang Pilgub yang menyakitkan buat seluruh bangsa Indonesia, karena itulah model terkecil politik yang membahayakan keutuhan bangsa Indonesia. Akibat Pilgub DKI di tahun 2017, ketakutan akan adanya perpecahan secara nasional ini jika dibawa ke Pilpres itu semakin menguat. Orang menjadi defensif dan akan memilih orang yang punya karakter lebih positif dibandingkan Anies yang sudah dicap hitam.

Di sinilah Nasdem atau Surya Paloh salah langkah. Nasdem memilih Anies karena dia dianggap popular dan bisa membawa Nasdem memenangkan pertarungan dengan menjadi partai yang lebih besar dari PDI Perjuangan. Tapi Nasdem tidak berhitung, bahwa pendukung Nasdem di tahun 2014 dan 2019 justru semakin meningkat karena mereka dulu mendukung adalah pendukung Jokowi sebagai calon presidennya, bukan Prabowo yang sangat kental Gerindranya.

Dalam situasi polarisasi yang sangat tajam sekarang ini, siapapun tidak bisa main abu-abu. Hitam ya hitam, putih ya putih. Nasdem mencoba bermain di area abu-abu dengan semangat yang oke sih, tapi salah, yaitu mencoba meminimalkan polarisasi dengan berada di tengah antara para pemilih yang pro NKRI dan pemilih yang ingin menjadikan negara ini negara agama. Apalagi Nasdem dulu sudah dianggap musuh besar kelompok politik identitas itu, dan tiba-tiba mencoba berteman dengan mereka. Jelas Nasdem akan dicurigai sebagai kuda troya yang akan merusak kelompok politik identitas yang sekarang semakin lama ini semakin melemah. Nasdem serba salah jadinya, ke sini dimusuhi, kesana gak diterima.

Apalagi menurut SMRC, pemilih Nasdem itu mayoritas memilih Ganjar Pranowo sebagai calon presidennya. Itu menjadi bertentangan dengan sikap elit Nasdem yang condong memilih Anies dan itu tidak bisa dibuat-buat. Eksodusnya elit Partai Nasdem karena pilihan Nasdem bertentangan dengan hati nurani mereka, seharusnya membuka mata Nasdem bahwa mereka salah melangkah, bukannya malah jumawa dengan mengabaikan sinyal-sinyal itu.

Surya Paloh sekarang dalam posisi makan buah simalakama, sebuah posisi yang sangat genting. Tetap mempertahankan Anies, risikonya Nasdem bisa gak lolos ke Senayan. Pindah ke Ganjar, malu sama PDI Perjuangan. Surya Paloh harus cepat mengambil keputusan, kalau ingin selamat dalam pertarungan.

Bagaimana Pak Surya Paloh. Ah, Bapak pasti lebih tahu apa yang harus dilakukan, kan? Seruput kopinya dulu, Pak biar gak tegang.

Komentar