Mana yang lebih penting: membangun masjid atau membangun sekolah?
Kalau pertanyaan ini diajukan ke Walikota Depok, jawabannya jelas: masjid.
Saking dirasa pentingnya masjid, sampai-sampai sang Walikota memerintahkan sebuah SD dipindahkan tanpa ada bangunan pengganti.
Walikota itu sampai tega-teganya mengusir anak-anak SD yang sedang belajar dan bahkan sedang ujian akhir semester.
Mohammad Idris, nama sang walikota, sampai tega mengirim pasukan satpol PP untuk membersihkan sekolah itu agar bisa segera dibangun masjid.
Ini memang cerita menyedihkan.
Walaupun mudah-mudahan berakhir bahagia.
Setidaknya saat ini sang Walikota sudah menyatakan akan menunda pengusiran para murid tersebut.
Namun itu terjadi akibat perlawanan terus menerus yang dilakukan para ibu-ibu orangtua murid dengan dibantu para relawan masyarakat sipil.
Dukungan partai politik datang dari PSI dan PDIP.
Juga ada dukungan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Ombudsman, dan Komnas HAM.
Saya dan kawan-kawan dari Pergerakan Indonesia untuk Semua atau PIS juga menurunkan tim untuk meliput apa yang terjadi di sana.
Bahkan yang juga mengejutkan, salah satu kelompok yang bersedia berjaga-jaga menjaga sekolah adalah Pemuda Pancasila.
Saya percaya karena tekanan publik itulah akhirnya sang Walikota yang didukung oleh PKS menyerah.
Untuk sementara pengusiran sekolah dihentikan.
Mudah-mudahan.
Kisah menyedihkan ini bermula awal tahun.
Idris mengaku diminta oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mencarikan lahan kosong di daerah jalan Margonda untuk dibangun Masjid Raya.
Kata Idris, Ridwan mendapat keluhan dari warga Depok yang merasa sulit menemukan masjid di daerah itu untuk sholat seusai pulang kantor.
Ternyata soal mencari lahan kosong itu tidak mudah.
Jalan Margonda adalah jalan utama yang lokasinya sangat strategis.
Kalaupun ada lahan tersedia, harganya sangat mahal, di atas Rp 30 juat per meter.
Karena itu Ridwan Kamil menyarankan ada aset Pemkot Depok yang bisa dialihfungsikan menjadi masjid raya.
Dengan pikirannya yang terbatas, Idris menjatuhkan pilihan pada SD Negeri Pondok Cina 1.
Kenapa SD itu yang harus digusur, tidak terlalu jelas.
SDN 1 Pondok Cina adalah sekolah sarat prestasi yang sudah berusia puluhan tahun.
Dan kalau yang mau dibangun adalah sebuah masjid raya yang membutuhkan parkir luas, lokasi SDN ini sama sekali tidak ideal.
Tapi apa mau dikata, sang Walikota memutuskan masjid harus dibangun di atas lahan SDN itu.
Pada 14 Februari 2022, Ridwan dan Idris berkunjung ke sana.
Pada Juni, Wali Kota Depok menerbitkan surat ke Dinas Pendidikan tentang pengalihan fungsi sekolah itu.
Lantas ditetapkan bahwa pada awal tahun 2023 pembangunan masjid sudah bisa dimulai dengan dana APBD Provinsi Jawa Barat senilai Rp18,8 miliar.
Pada akhir Agustus 2022, dilangsungkan pertemuan antara pemerintah kota Depok, dinas pendidikan, kepala sekolah, camat dan para wali murid SDN 1.
Di situ diumumkan, tanpa ba bi bu, bahwa pengalihfungsian sekolah akan segera dimulai.
Sebagai tahap pertama, sekolah harus mulai dikosongkan.
Para murid dikatakan akan dipindahkan ke dua sekolah di Pondok Cina: SDN 3 dan SDN 5.
Murid kelas 1 sampai kelas 3 dipindahkan ke SDN 3.
Sementara murid kelas 4 sampai kelas 6 dipindahkan ke SDN 5.
Guru-guru pun begitu, harus pindah ke dua sekolah itu.
Kapan?
ASAP. As Soon As Possible.
Ya tentu sajalah para orangtua murid menolak.
Mereka bilang tidak.
Mereka tidak mau anak-anak mereka ditumpangkan ke sekolah lain.
Tapi Pemkot tampaknya memang tidak punya hati dan tidak punya telinga.
Semula mereka menjanjikan akan ada rapat lanjutan dengan orangtua
Tapi itu tidak pernah terlaksana.
Yang ada kemudian adalah surat pemberitahuan agar siswa melakukan kegiatan Belajar dari Rumah mulai tanggal 7 sampai 12 November.
Tapi seusai ujian, pada 14 November, siswa diminta tidak datang ke SDN Pondok Cina 1, melainkan ke SDN Pondok Cina 3 dan 5.
Di sekolah baru itu mereka akan begiliran masuk pada pagi dan siang hari.
Ini ditolak kembali oleh sebagian orangtua.
Sikap pemkot Depok ini memang memalukan.
Mereka tidak mau mengaku bahwa keputusan memindahkan sekolah itu tidak dilakukan secara terencana matang dan bertanggungjawab.
Kalaulah pemprov mau mengalihfungsikan sekolah, bagaimana dengan nasib murid?
Dalam pandangan awam saja, pemerintah tidak bisa begitu saja menutup SDN 1 sebelum menyediakan sekolah pengganti.
Pemokot bersikap seolah-olah ada urgensi mendesak sehingga harus pembangunan masjid sekarang dengan mengorbankan sekolah.
Sekadar catatan di daerah Beji –yang menjadi lokasi penggusuran sekolah—sudah terdapat 83 masjid dan 17 musala.
Jadi kenapa juga pembangunan masjid diburu-buru?
Yang terjadi kemudian adalah rangkaian tindakan yang sama sekali tidak manusiawi.
Para guru diperintahkan untuk berhenti mengajar.
Lantas, ada pula pembangunan trotoar tepat di depan gerbang sekolah sehingga sulit bagi pihak manapun untuk bisa masuk ke kompleks sekolah.
Bahkan pemkot mulai mengirim pasukan satpol untuk mengangkuti barang-barang di sekolah, dari meja, bangku, computer, alat tulis dan sebagainya.
Hebatnya, para orangtua guru memutuskan melawan.
Dari sekitar 500an murid, sekitar 180 bertahan.
Anak-anak yang bertahan itu tetap datang ke sekolah.
Sebagian anak mengaku mereka dibully bersekolah di SDN 3 dan SDN 5.
Mereka juga mengaku rindu dengan suasana sekolah dan guru-guru yang selama ini mendidik mereka.
Yang mengharukan adalah kehadiran para relawan yang berasal dari beragam latar belakang.
Sebagian besar relawan adalah mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi yang ada di sekitar sekolah: Universitas Indonesia, BSI, Guna Darma.
Ada pula warga biasa, termasuk guru dari sekolah lain, yang terketuk hatinya.
Peran utama mereka adalah menjadi guru pengganti.
Mereka merujuk pada materi kurikulum yang baku, dan berusaha mengajar sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Sebagai pengawal, seperti saya katakan, ada Pemuda Pancasila.
Ini menarik karena selama ini kan nama organisasi ini agak negative.
Tapi dalam kasus SDN Pondok Cina ini, mereka lah yang menjadi penjaga garda terdepan kalau sekolah diintimidasi.
Yang aktif membantu juga adalah aktivis dan politisi muda PSI.
Bahkan kuasa hukum para orangtua murid datang dari anggota PSI.
Para aktivis yang sudah biasa berpolitik itu menggunakan jaringan wartawan dan medsos yang mereka miliki untuk mengabarkan berita buruk ini kepada publik.
Perlawanan kolektif ini membawa hasil.
Tak kurang dari Ridwan kamil harus mengklarifikasi bahwa dia semula tidak tahu bahwa masih ada persoalan dengan pemindahan sekolah.
Dia rupanya memperoleh laporan asal bapak senang dari Walikota Depok yang mengatakan tak ada masalah di lapangan.
Menurut Ridwan, Walikota Depok berdalih bahwa sekolah itu yang dipilih untuk dipindahkan karena situasi lalu lintas di sekitar sekolah sangat padat serta rawan kecelakaan bagi anak-anak SD bersekolah di sana.
Saya sih meragukan penjelasan itu.
Tapi kalaulah memang ada tujuan mulia, tetap saja sekolah tak bisa dipindahkan dengan mengabaikan kebutuhan proses ajar-mengajar anak-anak murid di sana.
Ridwan Kamil sudah memerintahkan agar dana pembangunan masjid dihentikan sementara.
Simpati juga datang dari Penasihat Dewan Masjid Indonesia, Nasaruddin Umar, yang mengingatkan harus segera dicari solusi besama, karena pembangunan masjid seharusnya jangan sampai mengorbankan pendidikan.
Saat ini pemkot Depok memang sudah menyatakan akan menunda pemindahan sekolah itu.
Itu memang hasil perjuangan kolektif.
Tapi yang paling menggetarkan memang perlawanan dari terutama ibu-ibu orangtua siswa yang dengan gigih memperjuangkan hak anak-anak mereka.
Mereka setiap hari bertahan di kompleks sekolah.
Ketika Satpol PP datang, mereka dengan gagah berani menghadapi rombongan itu.
Mereka dengan penuh keberanian berdebat, bersoal jawab.
Mereka membangun tenda-tenda bersama para relawan.
Dan perlawanan itu pada gilirannya menarik kepedulian public lebih luas.
Kita semua tentu berharap persoalan ini terselesaikan dengan baik.
Jangan sampai hak anak untuk memperoleh pendidikan terbaikan hanya karena pemerintah hendak membangun masjid yang tingkat kebutuhannya tidak mendesak.
Ayo gunakan akal sehat.
Karena hanya dengan akal sehat, bangsa ini akan selamat.
Kaum Emak-Emak Melawan Penggusuran SDN Pondok Cina
Komentar