Penindasan Terhadap Umat Kristen Terjadi Lagi

Penindasan terhadap umat Kristen terjadi lagi Cilegon.

Saya memperoleh video yang menunjukkan bagaimana pembangunan gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Maranatha di Cilegon diintimidasi.

Lokasinya di sebuah tanah yang dimiliki HKBP.
Di depan lahan ada papan bertuliskan: “Milik HKBP Maranatha Colegon”, lengkap dengan nomor sertifikatnya.

Lantas ada suara yang menjelaskan bahwa di tanah itu sedang berlangsung pembangunan fondasi gereja.

Tapi di depan lahan itu terlihat ada sejumlah pria yang membangun pagar tembok atau dinding dari batu bata yang jelas akan menghalangi orang masuk ke dalam tanah tersebut.

Pembuat video merekam wajah-wajah para pria yang dengan cuek terus bekerja.

Memang si pembuat video tidak mewawancarai para pekerja itu.

Tapi saya duga para pekerja itu datang dari kalangan yang tidak ingin pembangunan gereja dilanjutkan.

Menurut narator video, pembangunan tembok itu akan menghambat masuknya material yang diperlukan buat pembangunan gereja.

Kalau benar begitu, ini adalah bentuk aksi preman yang tidak bisa ditoleransi.

Penolakan ini hanya bisa datang dari kaum anti NKRI.

Mereka tidak senang melihat umat Kristen beribadah.

Mereka menolak hak umat Kristen untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya, karena mereka tidak menganggap umat Kristen sebagai saudara sebangsa.

Ini memang menyedihkan, tapi sayangnya ini bukan berita baru di Cilegon.

Menurut penelitian Setara Institute pada April 2022 lalu, Cilegon masuk dalam daftar 10 kota dengan indeks toleransi terendah di Indonesia.

Selain Cilegon, ada Depok, Banda Aceh, Pariaman, Langsa, Sabang, Padang Panjang, Padang, Pekanbaru, dan Makassar.

Data Badan Pusat Statistik Kota Cilegon menunjukkan ada 382 masjid dan 287 musholla di Cilegon.

Tapi tidak ada satu pun gereja.

Umat Protestan dan Katolik memang menempati posisi minoritas di kota Cilegon.

Menurut data Kementerian Dalam Negeri yang dikutip katadata, ada sekitar 8 ribuan umat Kristen di kota Cilegon.

Ini berarti hanya sekitar 1,58% dari keseluruhan warga Cilegon.

Tapi apakah karena umat Kristen minoritas, mereka jadi tidak bisa hidup sesuai dengan keyakinan mereka?

Jawabannya pasti tidak.

Hak beribadat mereka tidak bisa ditolak.

Jadi di manakah mereka harus beribadat?

Selama ini, setiap hari Minggu jemaat harus beribadat di kota lain.

Umat Kristen Cilegon menempuh perjalanan sekitar 30 kilometer ke kota Serang untuk beribadat.

Jemaat HKBP Cilegon misalnya harus menumpang di Gereja HKBP Serang.

Gereja HKBP yang dipakai untuk beribadah sementara itu, sebetulnya sudah tak sanggup lagi menampung banyaknya jemaat dan acara ibadah.

Akibatnya, saat ini jemaat dari Cilegon dibagi dalam dua sesi: di pagi dan sore hari.

Kisah gereja HKBP adalah kisah panjang penindasan umat Kristen yang didukung pemerintah setempat,

HKBP adalah hanya salah satu denominasi gereja Kristen di Cilegon.
Jemaatnya di Cilegon mencapai hampir 4000 jiwa.

Mereka sudah mengupayakan pendirian gereja HKBP sejak 2006, alias 16 tahun yang lalu.

Namun upaya pembangunannya, sejak awal sudah tersendat.

Sejak awal, mereka sudah diteror,

Saat mereka memagar lokasi pembangunan gereja dengan seng untuk mengamankan aset gereja, tiba-tiba datang masyarakat menghancurkan pagar itu.

Pengurus gereja tak menyerah.

Mereka mencoba memberikan pengertian kepada masyarakat sekitar lokasi, sampai akhirnya mereka mendapatkan persetujuan dari 70 warga muslim sekitar lokasi.

Menurut Peratuan Bersama Menteri tahun 2006, untuk mendirikan gereja memang harus ada persetujuan dari minimal 60 warga muslim di seputar gereja.

Persetujuan itu sudah diperoleh gereja.

Surat itu dilengkapi dengan fotocopy KTP dan tandatangan bermaterei.

Namun setelah persyaratan dilengkapi, hambatan terus datang di tahap pengesahan dari kepala desa atau lurah.

Selalu saja ada kekurangan, bahkan seperti salah ketik nomor KK atau KTP.
Setelah bolak-balik tanpa ada kepastian, pada 2021 lalu pengurus gereja mengajukan permohonan pendirian rumah ibadah langsung ke kantor Kementerian Agama perwakilan Cilegon.

Pihak Kemenag Cilegon tak kunjung memberikan rekomendasi hingga hari ini.

Mereka juga mengajukan permohonan ke FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama).

FKUB pun menolak memberikan rekomendasi.

Mereka menuduh ada manipulasi dalam pengumpulan tandatangan tanda persetujuan umat Islam.

Memang dari 70 warga yang semula bersedia membubuhkan tandatangan persetujuan, lebih dari 50 kemudian menarik dukungan.

Tak ada penjelasan tentang pembatalan dukungan itu.

Karena itulah pengurus gereja pada 2021 langsung menghubungi Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas di Jakarta untuk mengadukan persoalan ini.

Menteri Agama dengan terbuka menerima mereka dan bersedia membantu memperlancar upaya perolehan izin.

Untuk itu, Menteri Agama sampai memanggil Walikota Cilegon.

Menteri Agama juga sempat mengeluarkan kata-kata bahwa yang terjadi di Cilegon adalah tindakan intoleran.

Alih-alih menyelesaikan masalah, sikap Yaqut ini justru menimbulkan serangan balik.

Di Cilegon terbentuk Komite Penyelamatan Kearifan Lokal Kota Cilegon yang mengeluarkan pernyataan penolakan pembangunan gereja yang ditandatatangani para tokoh masyarakat dan alim ulama.

Pada Rabu, 7 September lalu, ratusan orang yang mengatasnamakan Komite itu mendatangi kantor DPRD dan Walikota Cilegon.

Mereka beraudiensi dengan Ketua DPRD dan Walikota Cilegon

Mereka membawa kain kafan sepanjang 2 meter yang digunakan untuk menandatangi penolakan pembangunan gereja.

Turut dalam rombongan itu, sejumlah kyai, ustad dan ustadzah, hingga warga biasa.

Walikota Cilegon, bahkan turut menandatangani petisi penolakan itu.

Dalam video yang beredar di media sosial, terdengar teriakan ‘Takbir!’ usai walikota dan wakilnya menandatangani petisi yang dibawa massa.

Dalam audiensi itu, memang terlontar ancaman bahwa masyarakat akan menurunkan Wali Kota Cilegon bila mengizinkan pendirian gereja.

Selain itu, sebuah organisasi bernama Al Khairiyah menggugat Yaqut dan HKBP Maranatha ke Pengadilan Negeri Serang.

Mereka kukuh menolak pembangunan gereja dengan alasan, pendirian gereja itu belum memenuhi syarat persetujuan masyarakat.

Al Khairiyah bahkan menyatakan di Cilegon memang tidak boleh ada gereja.

Kata mereka, yang terpenting umat beragama bisa hidup saling berdampingan, toleran, damai, walau tanpa gereja.

Mereka juga mempersilakan Menteri Agama dan gereja HKBP menyiapkan 1000 pengacara, karena mereka tidak akan berhenti berjuang.

Jadi kalau sekarang kita menyaksikan ada aksi preman penghambatan pembangunan gereja HKBP di sana, memang tak ada sesuatu yang baru.

Tapi, sayangnya, ini bukan kabar baik.

Ini artinya kaum intoleran masih berjaya.

Hak-hak asasi umat Kristen masih dikhianati.

Suara Menteri Agama sama sekali diabaikan.

Semoga hati nurani umat Islam di Cilegon akan terbuka.

Umat Kristen sepenuhnya berhak untuk beribadat.

Dalam Islam sendiri, juga ada kewajiban bagi umat Islam untuk menghormati hak-hak beribadat umat Kristen.

Jadi seharusnya tidak ada lagi persoalan.

Pembangunan gereja di Cilegon tidak boleh lagi dihambat.

Mudah-mudahan kebenaran menemukan jalan.

Ayo gunakan akal sehat.

Karena hanya dengan akal sehat, bangsa ini akan selamat.

Komentar