Oleh: Rian Ernest
Pak Jokowi Presiden kami, Mba Puan Ketua DPR kami, ojo kesusu di rancangan KUHP!
Mengapa Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita masih memuat pasal bermasalah seperti penyerangan martabat Presiden dan Wakil Presiden; penghinaan terhadap pemerintah; penghasutan melawan penguasa umum; dan penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara? Apa manfaatnya ya?
Kita bukanlah negara monarki kerajaan. Masih banyak masalah di birokrasi kita, yang memang harus terus-menerus diawasi dan dikritik kita-kita semua. Kita negara yang dijalankan oleh rakyat dan untuk rakyat. Kita semua sama. Malah seharusnya pejabat kita sadar betul bahwa setiap rupiah gaji mereka berasal dari keringat pajak penghasilan kita….
Kalau mudaratnya sudah jelas, seperti:
Aktivis, pengamat, apalagi orang awam jadi takut bersuara. Indeks demokrasi kita bisa menurun. Narasi dari eksternal dan internasional bahwa Indonesia demokrasinya cacat, pemerintahnya otoriter bisa kembali menggema. Kepastian hukum terdampak. Investor jadi ragu menanamkan modalnya di sini.
Terlepas dari semangat dan upaya Pemerintah dan DPR menghasilkan dan mensosialisasikan RKUHP, ternyata sosialisasinya masihlah buruk. Hasil survei Litbang Kompas pada akhir Juni ini menunjukkan bahwa hanya ada 1 dari 10 orang yang mengaku mengetahui adanya rencana pengesahan Rancangan KUHP.
Hasil survei yang sama juga menunjukkan bahwa dari masyarakat yang tidak setuju pengesahan, 70% dari mereka beralasan, ada beberapa pasal atau bagian yang mengganjal.
Survei Kompas juga menunjukkan bahwa dari yang tahu rencana pengesahan KUHP, mereka yang tidak setuju dan tidak tahu tahu adalah lebih besar dari yang setuju dengan recana pengesahan. Menurut saya, legitimasi KUHP ini untuk disahkan dalam waktu dekat, tidaklah kuat.
Jangan lupa, peristiwa Omnibus Law yang menuai masalah ada di bawah Pak Jokowi. Jangan sampai karena kesusu, lalu Pak Jokowi kembali kena noda, mengesahkan KUHP yang belum pas ini.
Jangan sampai kesusu, lalu UU ini kelak digugat di Mahkamah Konstitusi, bahkan sampai dibatalkan MK karena dianggap bermasalah prosesnya, dan tidak memenuhi partisipasi yang bermakna dalam melibatkan masyarakat. Ingat survei Kompas tadi…
Kembali ke RKUHP… Pada 6 Juli lalu, pemerintah sudah serahkan draft ini kepada DPR untuk mulai dibahas bersama.
Saat ini Rancangan KUHP menjadi polemik di masyarakat, pasalnya bisa dengan mudah menjerat pidana bagi kelompok yang berseberangan dengan pemerintah dan pejabat negara.
Terhadap pasal-pasal yang mencoba melindungi Presiden, dan berbagai lembaga negara dari penghinaan. Berikut pandangan saya…
Bagaimana memastikan ada perlindungan terhadap kepala negara, tapi di saat yang sama, menjaga kebebasan publik untuk berpikir dan berpendapat, serta berdiskusi. Dan ini sangat penting. Agar diskusi politik dan juga kebijakan publik, bukan hanya monopoli para elit, yang sering tidak nyambung dengan rakyat kebanyakan.
Bisakah pemerintah kita dan aparaturnya memastikan itu bisa berjalan? Di saat kita sudah sama-sama tahu, penegakan hukum kita belumlah tegak lurus, belumlah imparsial. Kualitas aparat penegak hukum masih bermacam-macam. Kita lihat saja penerapan UU ITE yang masih banyak catatan. Masih ada tekanan politik, tekanan atasan, tekanan kasus yang viral di masyarakat! Pembuat UU, dalam hal ini pemerintah dan DPR harus ngeh dan sadar, bahwa menuliskan UU dan menerapkannya di lapangan harusnya satu kesatuan!
Posisi saya, saya lebih setuju kalau kita fokus saja pada pidana pencemaran nama baik. Siapapun yang merasa ada orang lain yang memberikan pernyataan yang tidak benar, berhak mengadukan ke jalur hukum. Bila yang memberi pernyataan tidak bisa membuktikan dan terbukti bahwa ia punya niat jahat, maka ia bisa masuk penjara. Karena telah menodai reputasi dan nama baik si korban. Korban ini bisa siapapun. Bisa saya, bisa seniman, bisa guru, dokter, menteri, bahkan presiden. Semuanya sama dan tidak ada keistimewaan. Itu yang saya dukung.
Dan yang sudah terbukti bersalah, sebenarnya juga tidak perlu dipenjara menurut saya. Cukup beri denda saja untuk ia beriklan di koran nasional sehalaman penuh. Itu mahal loh… Ia harus bayar puluhan sampai ratusan juta untuk minta maaf dan berikan klarifikasi fakta sesungguhnya. Penjara bukanlah solusi. Denda uang lebih membuat efek jera. Tanpa harus keluar anggaran negara untuk penjara.
Bahkan kalau mau lebih progresif lagi, soal ini jangan di atur di pidana. Di atur secara perdata saja, antara orang per orang. Tidak perlu pakai tangan penegak hukum yang akan berujung pada penjara. Lebih baik diselesaikan di pengadilan perdata. Agar jelas apa kerugian dari si korban, dan bisa ada pembuktian kebenaran, dan bisa ada pemulihan hak korban yang sudah dirugikan. Jangan dikit-dikit bicara penjara.
Kita harus jaga iklim demokrasi dan kesetaraan hak kita.
Hina itu ribet. Karet dan subyektif. Anda maki saya di kolom komen ini, bisa saja saya tidak terhina. Tapi kalau host lain Cokro TV, mungkin merasa terhina.
Sama juga kan? Presiden Jokowi mungkin tidak gunakan pasal bermasalah itu, tapi kita tidak akan pernah tahu siapa presiden kita 5 tahun lagi. Apakah ia gila hormat dan kuasa? Gak tahu kan? Itulah repotnya.
Dan itulah berbagai masalah di pasal-pasal yang mencoba melindungi Presiden dan lembaga negara. Hina itu bisa jadi karet dan subyektif. Bisa bertentangan dengan hak asasi manusia untuk berpendapat. Inilah masalahnya.
Di sisi lain, saya merasa pencemaran nama baik lebih terukur. Dan bukan soal rasa merasa, tapi soal membuktikan fakta.
Presiden di Indonesia adalah dari rakyat. Kita sudah sepakat bahwa negara kita adalah negara kesatuan, negara demokrasi. Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Diambil dari rakyat.
Dia sama dengan kita. Dia adalah bagian dari kita. Dia setara dengan kita di mata hukum. Itu yang harusnya terjadi. Meski beban dan tanggung jawab kerja memerintah negara yang begitu besar, kaya dan rumit ini luar biasa berbeda dengan kita semua. Tetapi tetap dia adalah kita.
Mirip dengan pemilihan ketua kelas di Sekolah Dasar. Kita tetap tidak berjarak dengan ketua kelas kita. Dia bukan jadi superman. Dia adalah satu di antara kita, yang memilih mengabdi dan menjadikan bangsa dan negara kita lebih baik dari sebelumnya.
Lebih lanjut, peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Nicky Fahrizal mengingatkan bahwa RKUHP harus memegang amanat reformasi terkait demokrasi. Jika tidak, maka Indonesia akan masuk sebuah fase kemunduran demokrasi.
Hal ini diungkapkan pula oleh dosen Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Dr. Caroline Paskarina, M.Si., yang menyebut kualitas demokrasi Indonesia pada 2021 menurun dibandingkan 2019 berdasarkan data Indeks Demokrasi Indonesia dari Badan Pusat Statistik.
Ada banyak riset yang menjabarkan penyebab penurunan demokrasi tersebut. Beberapa di antaranya laporan rutin The Economist Intelligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia, dan 2021 Report yang menunjukkan pengurangan signifikan kebebasan sipil, pluralisme, dan fungsi pemerintahan. Penurunan kualitas tersebut menunjukkan ada pergeseran pola demokrasi Indonesia, yang semula demokrasi elektoral menjadi demokrasi yang cacat (flawed democracy).
Terakhir, ada lagi masalah RKUHP yang bisa membahayakan kesatuan kita sebagai bangsa.
RKUHP ingin mengatur dan memformalkan hukum pidana adat ke dalam berbagai Peraturan Daerah setempat.
Jadi RKUHP ini mengatur bahwa “hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana” adalah hukum pidana adat.
RUU KUHP ini akan membuka peluang disahkannya hukum adat atau norma lokal yang bersifat diskriminatif. Misalnya, contoh saja nih, soal cara berpakaian perempuan atau larangan keluar malam. Data Komnas Perempuan di 2018 mencatat ada 421 kebijakan di tingkat lokal yang bersifat diskriminatif.
Bahaya bila hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law ini dimasukkan ke dalam Pasal 2 RKUHP. Kehadiran pasal ini sangat berbahaya. Para mahasiswa hukum juga tahu bahwa hukum adat itu ya tidak tertulis, dan dinamis. Masa malahan jadi mau dituliskan, dan disusun oleh para politisi di daerah, dengan kepentingan jangka pendek?
Selain itu, langkah memasukkan pasal living law, bukanlah memuliakan masyarakat adat, melainkan negara mencoba mengambil peranan aturan masyarakat adat.
Sebenarnya negara dapat memuliakan masyarakat adat dengan segera membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat, dan bukan dengan membakukan hukum adat dan mengambil alih otoritas masyarakat adat.
Memaksakan living law untuk diatur di dalam Perda akan membuka persoalan baru yang jauh lebih masif. Ini juga berpotensi melanggar Pasal 28G ayat 1 UUD 1945. Orang takut untuk bertindak sesuai hak asasinya. Mengapa? Karena aturan adat yang berbeda antara satu daerah dengan yang lain, dan bisa memidana masyarakat, akan dibuat formal dalam Perda-Perda. Alhasil, orang akan takut untuk bertindak sesuai hak asasinya.
Jadi jelas, masih ada pasal bermasalah. Ojo kesusu. Buka komunikasi dan diskusi seluasnya. Jangan lupa, seluruh aturan di RKUHP ini akan berdampak pada keseharian kita. Jadi jangan main-main. Pak Jokowi dan Mba Puan harus pastikan tidak ada catatan buruk di bawah kepemimpinan Bapak dan Mba….
Semoga saran dan masukan dari siapalah saya ini bisa didengarkan oleh Tuan dan Nyonya di jajaran elit. Like dan share video ini. Sampai jumpa di Kacamata Rian Ernest berikutnya