Oleh: Syafiq Hasyim
MIRIS, AGAMA DAN KHARISMA PESANTREN DIJADIKAN TAMENG PENCABULAN
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Berjumpa kembali dengan Catatan Syafiq Hasyim.
Peristiwa pencabulan yang dilakukan oleh Mochamad Subchi Azal Tsani (MSAT) sebenarnya sudah lama terdengar, namun proses penindakan terhadapnya baru bisa dilakukan sebagaimana diberitakan oleh media kita, penuh kealotan dan penuh drama. Lambannya pengambilan tindakan oleh aparat yang berhak mungkin mereka merasa enggan dengan atribut yang dimiliki oleh sang pelaku yang putra kyai.
Aparat yang berwenang, apalagi di daerah, biasanya sangat menghormati kalangan agamawan dan santri. Karenanya, mereka sangat berhati-hati dalam menangani masalah yang terkait dengan establishment keagamaan di daerah tersebut. Mereka khawatir bahwa tindakan mereka dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap tokoh, terhadap kyai, terhadap ulama, atau terhadap keluarga mereka, meskipun diketahui bahwa mereka atau keluarga figur tersebut bersalah.
Menariknya MSAT adalah putra dari seorang kyai yang cukup berakar di daerah di mana dia tinggal. Kyai ini memiliki pesantren yang bernama Shiddiqiyah, sebuah pesantren yang cukup dipertimbangkan dan konon menjadi rujukan oleh masyarakat di sekitarnya. Bahkan jaringan pesantren ini sudah di mana-mana. Muridnya konon menyebar dan datang dari pelbagai penjuru daerah di Indonesia.
Saya melihat bahwa kebiasaan untuk menggunakan legitimasi pesantren atau atribusi kekyaian dan atau keulamaan untuk menghindarkan atau mengelak dari perkara dosa atau criminal yang mereka lakukan, merupakan bagian dari apa yang kita sering lihat selama ini dalam kehidupan keagamaan di Indonesia.
Hal ini menjadi terasa manakala mereka memang sudah melakukan kesalahan. Seolah-olah ada anggapan bahwa selama perbuatan itu perbuatan yang terkait dengan manusia, mereka meminta pemakluman atas apa yang mereka lakukan, karena kedudukan mereka yang kuat dan dihormati di lingkungan masyarakatnya.
Saya ingin mengatakan bahwa, kejadian yang serupa dengan apa yang dilakukan oleh MSAT, yang melibatkan oknum dari lembaga keagamaan seperti pesantren, madrasah atau yang lainnya, juga pernah dan bahkan sering terjadi di sekitar kita. Ada yang bertanya di tengah-tengah kita, “bukankah banyak orang melakukan hal yang sama dengan MSAT, kenapa kasus MSAT atau kasus lain yang serupa, yang terkait dengan lembaga keagamaan, mendapat sorotan yang lebih besar dan bahkan cenderung pemberitaan media sangat tendensius untuk memojokkan mereka?”
Tepat di sinilah sebenarnya masalah kita. Menjadi tokoh agama, kyai, ulama dan profesi yang berkaitan dengan agama, moral dan etika itu berbeda dengan menjadi profesi yang lain. Paling tidak itu di lingkungan kita, di dalam masyarakat Indonesia.
Masyarakat kita menganggap bahwa kyai, ulama, santri, guru ngaji adalah profesi yang suci. Mereka ini tidak boleh melakukan tindakan yang berlawanan dengan apa yang mereka ajarkan. Melenceng sedikit saja dari apa yang mereka petuahkan, maka mereka akan menjadi sasaran koreksi yang luar biasa dari masyarakatnya. Apalagi jika seorang keluarga tokoh agama atau pesantren terlibat tindakan melawan hukum seperti korupsi, pencabulan dan tindakan-tindakan lain. Pasti tindakan seperti itu akan menjadi sorotan umatnya. Untuk kasus seperti pencabulan pada murid dan santri mereka sendiri, pasti tidak bisa dimaafkan.
Masalahnya, masih banyak dari para tokoh dari kalangan agamawan, kyai, ulama dan juga dari keluarga mereka, yang tidak paham atau tidak mau mengerti atas kerentanan profesi mereka dari sorotan dan kritik, serta kecaman umat sehingga banyak mereka yang biasa saja.
Banyak hal yang bisa menyebabkan demikian. Pertama, mereka ini, tokoh agama, kyai, gus-gus, dan lain sebagainya adalah “raja” atau pemimpin di wilayah mereka masing-masing. Ketertundukan komunitas pada mereka adalah ketertundukan yang berbau relijius, karena mereka adalah tokoh agama.
Masyarakat sekitar mereka biasanya sangat taat dan tunduk. Bahkan ada kecenderungan masyarakat di sekitar kyai, pesantren dan tokoh agama bisa memberi pemakluman apabila keluarga kyai atau ulama mereka yang nakal atau berbuat di luar kewajaran. Akibat budaya yang seperti ini, maka kasus seperti yang dilakukan oleh MSAT bisa saja mendapat pemakluman dari komunitasnya, karena MSAT adalah putra dari kyai atau tokoh yang menjadi panutan komunitas tersebut.
Kedua, budaya kritik memang belum terlalu tumbuh dan terbangun di kalangan masyarakat agama, masyarakat terdekat mereka. Apalagi jika yang menjadi sasaran kritik itu adalah tokoh panutan keagamaan dan tokoh panutan moral mereka. Mereka jelas tidak bisa melontarkan kritik pada idola dan pimpinan keagamaan mereka. Tidak hanya pada mereka, terkadang pada anak dan keluarga juga akan sulit rasanya untuk mengkritik.
Atas dasar ini, kita bisa paham apabila kritik dan kecaman bisa datang dari masyarakat yang tidak memiliki hubungan patron-client dengan para tokoh tersebut. Bagi mereka yang punya pola relasi patron-client akan sulit untuk mengecam. Biasanya searah, client atau pengikut akan selalu tunduk pada patronnya, pada orang yang diikutinya.
Munculnya kecaman publik ini merupakan konsekwensi sebagai bagian dari keberadaan mereka sebagai tokoh publik, jadi kritik dan kecaman yang ditujukan kepada MSAT sebagai misal, berasal dari publik umum yang peduli atas perbuatan kejahatan MSAT tersebut. Bukan dari komunitas MSAT yang dekat dengan MSAT.
Kasus MSAT menjelaskan pada kita semua bahwa pelaku kejahatan biasanya berusaha menggunakan kemapanan dan juga kharisma keagamaan sebagai perisai mereka untuk menangkis kecaman bahkan penegakan hukum yang datang dari luar masyarakatnya.
Peristiwa kejahatan MSAT dan kejahatan-kejahatan yang serupa ini sebenarnya menunjukkan bahwa pelaksanaan ajaran agama dan nilai-nilai moral telah mengalami degradasi di kalangan kelompok atau orang yang mengklaim sebagai pelindung agama dan pelindung moral pada satu sisi. Namun pada sisi yang lain, peristiwa MSAT dan yang serupa menunjukkan masih kuatnya agama dan kharisma kelembagaan lokal digunakan sebagai alat pelindung untuk tindakan immoral mereka.
Kasus MSAT yang begitu lama bisa ditindak adalah contoh yang paling gamblang dalam hal ini. Kedua fenomena yang saya sebutkan barusan jelas harus segera dihilangkan, karena pada akhirnya ini akan meruntuhkan wibawa kekyaian, keulamaan dan juga kepesantrenan.
Dalam hal ini, tindakan tegas kementerian agama –terutama direktorat pesantren–dengan membekukan pesantren di mana MSAT membuat perlindungan memang sangat bisa dipahami karena jika hal-hal yang demikian ini dibiarkan kebal hukum akan berakibat fatal pada masa depan dan nama baik lembaga kekyaian dan kepesantrenan di negeri kita. Namun pada sisi yang lain pembekuan pesantren juga menimbulkan masalah yang rumit, terutama bagi santri-santri yang belajar di pesantren tersebut.
Sebagai catatan, tindakan MSAT harus mendapatkan proses hukum yang setimpal dengan perbuatannya. Tidak ada gunanya juga memberikan perlindungan sekuat apapun yang lembaga atau tokoh perlindungan pada MSAT, jika publik sudah turun tangan untuk turut mengawasinya. Sikap yang terbaik adalah biarkan saja MSAT mempertanggungjawabkan segala hal yang dilakukannya dengan dirinya sendiri.