Oleh: Denny Siregar
Kemarin kita melihat banyak sekali video tentang demo di Sri Lanka yang menyerbu istana Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa. Para demonstran yang berjumlah belasan ribu itu masuk ke Istana Presiden dan mengacak-ngacaknya. Para demonstran itu bahkan ada yang berenang di kolam renang istana, menikmati sedikit kemewahan yang ditinggalkan Presiden dan keluarganya yang kabur. Mereka seperti melampiaskan kemiskinan yang menjerat mereka selama beberapa waktu lamanya.
Dan dikabarkan Presiden dan Perdana Menteri Sri Lanka mundur dari jabatannya. Mereka meninggalkan utang lebih dari Rp700 triliun yang sulit dibayar karena krisis ekonomi di Sri Lanka yang luar biasa. Ekonomi Sri Lanka selama ini bergantung pada pertanian dan pariwisata, tapi pariwisata akhirnya anjlok karena pandemi dua tahun lamanya. Dan selama ini Sri Lanka mengandalkan pendapatan dari mata uang dollar Amerika yang datang dari turis yang berwisata ke sana. Dan mata uang dollar itu biasanya dipakai untuk impor barang dari luar negeri.
Sebagai catatan, di Sri Lanka itu apa-apa impor. Mulai dari bahan makanan sampai susu anak saja semua impor. Sri Lanka tidak mau membangun industri dalam negerinya karena perilaku korupsi pejabatnya yang lebih suka impor. Dengan impor, para pejabat itu dapat banyak komisi, sehingga mereka tidak mau tergerak untuk membangun industri dalam negeri. Memang impor itu kelihatannya harga barang menjadi murah, tetapi ketika situasi resesi seperti ini, maka impor itu menjadi senjata makan tuan.
Harga barang impor yang dibeli dalam mata uang dollar, jadi melambung tinggi karena dollar juga sedang naik tinggi. Mata uang Sri Lanka pun jatuh, sehingga terjadilah inflasi. Dan biasanya, dalam situasi harga dollar yang tinggi, pemerintah negara berkembang langsung menerbitkan mata uang mereka sebanyak-banyaknya, yang akhirnya membuat mata uang mereka jadi tidak berharga.
Jadi bayangkan ya, utang Sri Lanka ke banyak negara dalam bentuk mata uang dollar Amerika membengkak menjadi lebih dari Rp700 triliun. Mereka harus bayar pakai apa? Sedangkan pendapatan mereka dari pertanian dan pariwisata itu sedang anjlok. Dan ketika utang lebih besar daripada pendapatan, bisa dipastikan negara itu akan bangkrut. Itulah kenapa rakyat Sri Lanka menyerbu Istana Presiden, karena mereka tidak puas dengan situasi kelaparan dan kemiskinan sedangkan pejabatnya banyak yang korupsi.
Tapi tunggu dulu, apakah situasi resesi ini hanya Sri Lanka yang mengalami? Ternyata tidak. Menurut data IMF, kemungkinan besar ada 8 negara yang bisa bangkrut karena resesi global ini. Salah satunya adalah Turki. Turki juga sedang mengalami inflasi besar-besaran. Utang luar negeri juga pengangguran yang tinggi, membuat inflasi di Turki sudah mencapai 78 persen. Biaya transportasi naik ratusan persen, sedangkan kemampuan belanja warga Turki semakin rendah. Kalau tidak waspada, bisa saja nasib Turki seperti Sri Lanka yang akhirnya turun demo menurunkan Presidennya.
Selain Turki, ada juga Afghanistan. Sejak Taliban menguasai Afghanistan, bantuan luar negeri distop oleh banyak negara. Bayangkan, Afghanistan yang selama ini menggantungkan ekonominya dari bantuan luar negeri, sekarang mulai kelabakan. Apalagi negara itu habis diserang bencana alam besar. Dan negara lain adalah Zimbabwe. Zimbabwe ini mirip banget dengan Sri Lanka. Mata uang mereka jatuh banget, sehingga untuk belanja roti saja, rakyat Zimbabwe harus bawa uang kertas berkarung-karung karena nilai mata uangnya sudah tidak ada.
Argentina, Mesir, Laos, Lebanon, Myanmar juga sedang goyang. Perang Rusia-Ukraina makin memperparah kondisi ekonomi di negara-negara itu, yang memang sejak awal sudah parah ekonominya sejak awal. Bisa jadi situasi demo besar di Sri Lanka yang bisa menjatuhkan Presiden dan Perdana Menterinya itu menjadi inspirasi dari lawan politik rezim yang berkuasa di berbagai negara untuk melakukan kudeta.
Pertanyaan kita cuma satu, bagaimana situasi di Indonesia? Apakah bisa jatuh seperti Sri Lanka?
Ini yang terus digoreng-goreng oleh oposisi bahwa kejadian Sri Lanka sangat mungkin menimpa Indonesia. Bahkan beberapa tokoh dari oposisi malah sudah meramal kejatuhan Jokowi karena masalah ekonomi. Gak tau kenapa, mereka itu berharap banget Jokowi jatuh. Bukannya ikut simpati karena krisis ekonomi sedang melanda dunia sekarang ini, mereka malah sibuk memprovokasi supaya ekonomi kita jatuh. Tujuannya apalagi kalau bukan keinginan untuk berkuasa, yang sudah lama terpendam dan sulit tercapai.
Indonesia sudah mengalami beberapa kali krisis ekonomi. Yang terparah di tahun 1998 dengan kejatuhan Soeharto. Dengan pengalaman beberapa kali krisis inilah, seharusnya Indonesia siap dengan segala situasi. Dan memang sejak Jokowi memimpin, dia sudah memikirkan situasti itu. Maka Jokowi mulai melakukan revolusi baik di bidang infrastruktur sampai ketahanan pangan. Jalan-jalan dibangun di seluruh Indonesia, supaya industri dalam negeri kita tumbuh.
Bendungan-bendungan raksasa dibangun di banyak daerah, supaya pangan kita kelak terjaga. Tetapi sayangnya, dalam perjalanan menuju persiapan itu, pandemi kemudian datang sehingga semua rencana banyak tertahan. Utang luar negeri untuk membangun infrastruktur bengkak. Untungnya, pendapatan negara kita masih lebih besar dari jumlah utang kita sehingga kita tidak terguling seperti Sri Lanka. Bahkan Bank Dunia memperkirakan, dari banyak negara, Indonesia adalah salah satu negara yang paling bertahan dalam resesi global kali ini.
Tetapi dari semua kesiapan pemerintah, ada beban yang sampai sekarang membebani punggung negara, yaitu subsidi BBM. Mungkin banyak yang belum tau kalau harga Pertalite itu seharusnya lebih dari Rp17 ribu. Tapi Pertamina masih menjualnya diangka Rp7 ribuan, sehingga negara harus subsidi sebesar lebih dari Rp9 ribuan.
Sedangkan solar juga mendapat subsidi. Harga aslinya di pasaran sebenarnya Rp18 ribu lebih, tapi Pertamina masih menjualnya seharga Rp5 ribuan. Jadi kebayang kan subsidi untuk solar ada di angka Rp13 ribu. Itu belum elpiji yang juga disubsidi pemerintah sebesar lebih dari Rp11 ribuan.
Subsidi BBM kita di tahun 2021 sebesar lebih dari Rp16 triliun. Dan subsidi itu bisa makin besar ketika krisis energi seperti sekarang ini di mana harga BBM dunia dan gas sedang melambung tinggi. Karena itulah pemerintah menerapkan banyak cara, salah satunya dengan menerapkan aplikasi supaya konsumsi Pertalite bisa terbatasi. Repot memang, tapi cuma itu caranya supaya harga Pertalite tidak naik tinggi. Dan sejak zaman dulu, memang ini masalah genting di Indonesia karena kalau harga BBM naik tinggi, rakyat bisa gampang diprovokasi.
Tapi yakinlah, seberapa besarpun permasalahan kita, kita tidak akan seperti Sri Lanka yang bangkrut karena sebenarnya kita itu sudah siap. Kita belum sempurna memang, tetapi setidaknya kita bisa yakin melewati situasi krisis ini. Kita juga pasti tidak ingin seperti keledai yang jatuh ke lubang yang sama untuk kesekian kalinya.
Dunia sekarang sedang resesi, dan kita doakan semoga pemerintah kita semakin cerdas untuk mengatasi situasi ini. Kita beri semangat dulu dengan seruput secangkir kopi. Markibong.