Oleh: Syafiq Hasyim.
Sebagian kalangan menganggap bahwa khilafah atau perjuangan menegakkan khilafah itu identik dengan HTI. Anggapan ini ternyata tidak sepenuhnya benar. HTI selama ini memang dikenal sebagai organisasi Islam –sekarang sudah dilarang—yang memperjuangkan pendirian khilafah, baik di Indonesia maupun di negeri-negeri lain.
Hizbut Tahrir adalah organisasi yang bersifat transnasional yang politis dan ideologis, karena tujuannya adalah kekuasaan politik dan kekuasaan ideologi. Organisasi ini tidak puas dengan sistem politik dan hukum yang sekarang berjalan di Indonesia atau di negara-negara lain yang sekuler.
Ternyata, perjuangan mendirikan khilafah itu juga dilakukan oleh ormas-ormas Islam lainnya. Ormas ini tidak hanya memusatkan perjuangannya di Jakarta, namun juga di daerah-daerah. Terkadang mereka juga tidak ada kaitannya dengan HTI secara kelembagaan.
Saya mengatakan demikian karena beberapa hari lalu tiba-tiba ada konvoi di beberapa daerah soal kebangkitan khilafah. Konon sudah ada pengakuan jika konvoi itu digerakkan organisasi yang bernama Khilafatul Muslimin. Bagaimana di Jakarta Timur dan Brebes, serta kota-kota lain tiba-tiba ada konvoi sepeda motor soal khilafah.
Hal yang menarik, selain di wilayah Jakarta, pergeseran perjuangan khilafah oleh ormas-ormas pro-khilafah bergeser ke daerah-daerah.
Apa sebenarnya organisasi yang bernama Khilafatul Muslimin ini? Organisasi ini berdiri atas inisiatif seorang yang berama Abdul Hasan Qadir Baraja. Abdul Hasan Qadir Baraja sendiri tinggal di Lampung. Menurut informasi dari pelbagai sumber, Abdul Hasan Qadir Baraja ini menjalankan kegiatan yang sangat aktif di Lampung.
Uraian-uraiannya tentang kekhilafahan juga banyak disebarkan di banyak platform media sosial terutama Youtube, yang memakai jargon perjuangan khilafah. Organisasi Khilafatul Muslimin ini juga bersikap reaktif pada orang-orang atau tokoh-tokoh yang memiliki pandangan berbeda dengan mereka di daerah Lampung.
Khilafatul Muslimin ini memiliki cabang-cabang di pelbagai wilayah di Indonesia, mulai dari Lampung sendiri sampai Aceh. Secara formal memang demikian adanya, namun apakah secara keanggotaan organisasi ini merupakan organisasi besar atau kecil, belum ada indikasi yang menunjukkan mereka itu merupakan organisasi yang besar.
Meskipun mereka mengklaim sebagai organisasi internasional, namun Khilafatul Muslimin tidak memiliki kaitan kelembagaan dengan HT atau dengan HTI. Bahkan mereka mengatakan tidak mau untuk disamakan dengan HTI.
Siapa itu Abdul Qadir Hasan Baraja? Dia ternyata dulu pernah terlibat dalam gerakan yang bernama Komando Jihad. Gerakan ini pernah ada di zaman Orde Baru yang melakukan beberapa tindakan kekacauan yang berbasis pada gerakan ideologis Islam. Baraja sendiri pernah menjadi orang dekat Abu Bakar Ba’asyir di pesantren Ngruki, Solo, Jawa Tengah. Baraja pernah terlibat dalam pengeboman Candi Borobudur pada tahun 1985.
Khilafatul Muslimin itu lebih dekat dengan NII, karena Baraja itu sendiri adalah aktivis organisasi yang dulu merupakan besutan Karto Suwiryo. Karenanya, potensi pada ekstremisme kekerasan itu sangat memungkinkan pada Khilafatul Muslimin.
Jika dilihat dari ikatannya dengan sejarah gerakan terorisme dan radikalisme di Indonesia, jelas bahwa Baraja atau Khilafatul Muslimin itu mudah diketahui ujung-pangkalnya. Jika mereka mengatakan bahwa gerakan mereka itu berbeda dengan Hizbut Tahrir Indonesia, itu bisa saja terjadi, namun dalam hal perjuangan politik, Khilafatul Muslimin dan HTI memiliki tujuan yang sama.
Saya mengerti mereka perlu menyatakan posisi mereka secara jelas, baik pada publik maupun pada pemerintah, bahwa mereka bukan dan tidak sama dengan HTI. Mereka melakukan ini karena mereka ingin tidak dilarang sebagaimana dilarangnya HTI.
Karenanya, mereka perlu tampil halus dan benar-benar berbeda dengan HTI. Strategi seperti ini bisa terjadi dan dilakukan karena di awal-awal sebuah organisasi ideologis yang Islamis itu memang memiliki semacam langkah-langkah perjuangan, di mana pada masa-masa awal dan mereka belum kuat benar untuk bersikap seolah-olah mereka sangat terbuka.
Bagaimana kita tahu bahwa itu sebagai strategi sesaat dan bukan sebagai sikap perjuangan organisasi yang permanen?
Katakanlah Khilafatul Muslimin sebagai kasus di sini. Klaim dari pengurusnya mereka adalah organisasi terbuka, tidak seperti HTI apalagi gerakan yang mengarah kepada terorisme. Mereka, dalam gerakannya, tidak ada unsur paksaan. Katakanlah ketika mereka mengajak orang beribadah di masjid, maka mereka cukup mengungkapkan ajakan tersebut di ruang publik, misalnya di jalan-jalan. Jika ada orang yang mau menuruti himbauan mereka, ya bagi mereka alhamdulillah, namun jika tidak ya tidak apa-apa.
Apakah kita berhenti di sini? Tidak. Kita bisa mengetahui keterbukaan mereka itu bersifat terus-menerus atau sementara, dengan mempelajari dan melihat sejarah latar belakang, dasar-dasar dan prinsip-prinsip yang mereka pakai dan rujuk dalam gerakan mereka, selain juga melihat tokoh-tokoh utama mereka.
Jika tokoh utama mereka dan juga tokoh organisasinya memiliki rekam jejak dengan gerakan ideologis-islamis atau juga terlibat dalam ekstremisme kekerasan sebelumnya, maka itu tanda bahwa kemungkinan organisasi ini tidak jauh dari apa yang sudah pernah dilakukan oleh para tokoh-tokoh mereka.
Selain melihat fenomena terus merangkaknya gerakan khilafah di banyak daerah sebagaimana fenomena yang meresahkan, namun dari itu kita juga melihat adanya semacam harapan yang mencerahkan dari masyakarat. Apa itu?
Kini masyarakat semakin sadar dan juga cepat tanggap ketika melihat gerakan-gerakan yang bagi mereka sudah masuk dalam ranah pelarangan oleh undang-undang. Setiap ada tindakan, kecil ataukah besar, yang memang itu mengarah pada makar atau terlarang, masyarakat dengan sigap memberikan informasi kepada publik melalui platform sosial media.
Artinya, dengan informasi-informasi dini ini, pihak yang berwenang dengan cepat pula melakukan penyelidikan. Kita melihat bahwa pihak yang berwenang di daerah kini semakin cepat pula menindaklanjuti laporan-laporan yang diberikan oleh masyarakat. Bahkan pihak yang berwenang di daerah bersikap proaktif.
Saya ingin mengatakan bahwa gerakan yang ingin menghidupkan kembali khilafah sebagai sistem politik dan hukum di negeri kita terus ada saja yang melakukannya. Pembubaran HTI tidak berarti berakhirnya gerakan khilafah. Karenanya, sikap terbaik bagi kita adalah untuk selalu tanggap dan cepat membaca setiap potensi akan kemunculan gerakan seperti ini.
Sebagai catatan, gerakan khilafah siapapun yang melakukan kalau orientasinya ingin membangun dan mendirikan negara atau sistem politik dan hukum khilafah adalah hal yang dilarang oleh negara. Jika kita melihat fenomena seperti itu, maka itu tidak selalu HTI, sebab pendirian khilafah itu bukan hanya HTI yang menghendakinya.