Oleh: Syafiq Hasyim
Majelis Ulama Indonesia kembali resah, kenapa banyak orang Islam yang murtad, artinya, keluar dari agamanya, di daerah Langkat. MUI menganggap jumlah mereka yang murtad itu tidak sedikit.
Persoalan murtad ini memang sering menjadi keprihatinan lembaga atau organisasi Islam di Indonesia. Pihak yang sering menjadi obyek kesalahan adalah pihak luar, dalam hal ini, agama yang dijadikan sebagai agama pindahan. Dalam kasus Langkat katakanlah agama Kristen.
Menurut MUI Sumatera Utara, ada dua pihak yang menjadi penyebab mereka murtad. Pertama, pihak eksternal. Pihak eksternal ini mereka sebut kelompok yang memang secara masif menyebarkan agar orang Islam menjadi murtad. Menurut MUI, jalur yang ditempuh adalah melalui pernikahan. Sebab internalnya adalah lemahnya keimanan.
Saya melihat bahwa justru faktor internal yang harus kita perkuat jika tidak mau banyak orang Islam yang keluar dari agama mereka. Jika seseorang merasa yakin dan teguh bahwa Islam adalah agama mereka, maka godaan apapun yang berasal dari luar tidak akan mengganggu keberadaannya sebagai seorang Muslim.
Karena itu penguatan ke dalam harus terus dilakukan.
Jika orang keluar dari Islam karena perkawinan atau karena persoalan ekonomi, pendidikan, dlsb, menurut saya itu bukan menjadi tanggung jawab kita. Itu pilihan mereka.
Namun hal yang harus menjadi perhatian kita adalah jika seseorang keluar dari Islam karena mereka merasa jika mereka tidak lagi tertarik dengan pelaksanaan Islam yang dipraktikkan oleh para tokoh, organisasi, dan kelompok mayoritas Muslim di Indonesia. Katakanlah mereka keluar Islam karena sering kali melihat citra Islam yang damai itu dibajak oleh para pengikutnya menjadi agama yang keras dan tidak toleran pada pihak selain pemeluk Islam itu sendiri.
Mengapa demikian? Karena dari aspek inilah sesungguhnya kita mengetahui bahwa motif orang pindah dari Islam itu bukan disebabkan oleh sebab-sebab material dan iming-iming kehidupan duniawi, tapi ini disebabkan oleh kelemahan kita, sebagai pemeluk Islam untuk menampilkan Islam sebagai agama yang penuh kasih sayang pada sesama makhluk di dunia ini.
Dengan ini kita mengetahui bahwa kita harus berbuat apa agar mereka tidak kehilangan keyakinan dan ketertarikan mereka pada Islam.
Persoalan ini sekaligus juga bisa menjadi bahan koreksian atas praktik dan perilaku dari kita semua yang kita atasnamakan Islam. Misalnya, kita sering menjadi umat yang sedikit-dikit judgmental pada perilaku yang menurut kita tidak sesuai dengan apa yang kita yakini.
Keyakinan yang tertutup (eksklusif) inilah yang menyebabkan banyak kalangan, pemeluk Islam sendiri, yang merasa “kok begini agama saya diwujudkan oleh mereka.” Jika kita memiliki kekuatan, maka kita koreksi hal seperti ini, namun jika kita tidak bagian dari kelompok besar dan bagian dari manusia biasa, maka orang itu akan menjadi cuek dan akhirnya mengumpul menjadi kekecewaan pada diri mereka atas agama yang mereka peluk dan yakini selama ini.
Hal yang ingin saya kemukakan lagi bahwa ketika kita bicara pindah agama, kita sering melihatnya dari sudut Indonesia saja atau dari sudut yang subyektif dari kita sendiri. Sudut pandang ini yang menyebabkan kita sering menyalahkan agama lain yang telah mengambil pemeluk kita. Cara pandang yang isolatif ini perlu kita bongkar.
Tahu tidak bahwa dari sekian banyak agama di dunia ini, agama yang peningkatannya luar biasa (fastest growing) dan menjadi tempat untuk konversi?
Jawabnya tidak lain adalah Islam. Tahu tidak bahwa menurut data, mereka yang masuk Islam, terutama dari Kristen, itu berjumlah sekitar 40,8 juta orang Kristen yang pindah ke Islam. Di negara-negara mana itu terjadi? Antara lain adalah di Indonesia sendiri, salah satu contoh di mana banyak orang Kristen pindah ke Islam.
Menurut Pew Research Center, pada tahun 2013, ada sejumlah 2.7 juta orang Yahudi dewasa Amerika yang masuk Islam. Ini jumlah yang tidak sedikit sesungguhnya bagi Yahudi yang masuk Islam.
Artinya pelbagai studi di atas menggambarkan bahwa orang yang pindah ke agama Islam itu jauh lebih banyak daripada orang yang keluar dari Islam. Itu pun dalam konteks Indonesia.
Catatan perkembangan warga Muslim di dunia ini yang pertambahannya sangat cepat perlu menjadi refleksi bersama, agar setiap ada perpindahan agama dari Islam ke agama lain itu tidak mencerminkan keberkurangan pemeluk Islam secara global.
Peratapan dan juga menyalahkan pihak atas setiap kali ada orang yang keluar Islam baik secara resmi maupun tidak itu justru mencermikan bahwa kita, orang Islam, dalam beragama, kurang merefleksikan aspek-aspek dasar dari ajaran-ajaran Islam. Apa itu? Bahwa di dalam Islam, orang beriman atau tidak beriman itu dibebaskan. Tidak ada paksaan. Siapa yang yakin maka yakinlah, siapa yang ingkar maka ingkarlah. Sekali lagi, Islam memberikan pilihan pada umat manusia untuk meyakini dan tidak meyakini.
Sementara itu, kita sebagai pemeluknya, ingin melihat bahwa semua orang harus masuk Islam. Dan jika sudah masuk Islam, maka harus tetap di sana, tidak boleh keluar pindah kepada keyakinan lain.
Padahal di dalam al-Quran dinyatakan bahwa seandainya umat manusia semua itu disatukan, maka itu bukan hal yang mustahil bagi Allah, namun Allah tidak akan menghendaki itu.
Apa yang perlu kita pikirkan sekarang adalah jika Islam akan menjadi agama di dunia ini dengan pengikut terbesar, lalu apa selanjutnya? Apakah kita sudah cukup bangga dengan jumlah terbesar umat Islam ataukah dengan apa yang kita sumbangkan pada kehidupan di dunia ini. Sudah barang tentu orang akan menjawab dua-duanya; besar dalam jumlah pengikut dan besar dalam jumlah sumbangan kebaikan bagi kehidupan di dunia ini.
Saya kira kita harus mulai memikirkan bagaimana jumlah umat Islam yang terbesar kedua saat sekarang juga menjadi jumlah terbesar dalam hal inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi, inisiatif ekonomi, perdamaian, dan hal-hal yang membangun bagi kehidupan kemanusiaan.
Artinya, dalam konteks Indonesia, sejauh mana kita sebagai umat terbesar dan bertambah besar karena banyaknya yang masuk Islam dari masa ke masa, menjadi tidak hanya besar dalam jumlahnya namun juga dalam mutunya. Ini agenda kita bersama untuk mewujudkan mutu kelompok yang besar ini. Jika kita bisa membesarkan mutu, maka manfaatnya bukan hanya bagi umat Islam saja, namun juga bagi umat beragama yang lainnya.
Sebagai catatan, konversi dari Islam ke agama lain itu memang terjadi, namun dalam catatan era modern ini, konversi terbesar bahkan terjadi dari non-Islam menuju Islam.