Oleh: Syafiq Hasyim.
Sampai kapan kita, sebagai mayoritas, bisa menerima dengan rela pendirian rumah ibadah bagi umat minoritas lainnya, terutama Kristen? Pertanyaan ini terus saya ajukan setiap ada protes kita, umat Islam, ketika gereja atau rumah ibadah lain didirikan di dekat kita.
Jelas, protes itu menunjukkan ketidaksenangan kita terhadap pendirian gereja. Jelas, protes itu juga menunjukkan bahwa kita masih belum berada pada tahap dewasa dalam beragama. Kejadian protes atas pendirian rumah ibadah terjadi di Cilegon, di mana lokasi pembangunan gereja didemo oleh masyarakat Muslim setempat.
Berulang kali dinyatakan secara teologis, pendirian rumah ibadah agama lain, sama sekali tidak dilarang. Sejarah Islam dari awal demikian adanya. Gereja-geraja atau rumah-rumah ibadah agama lain bahkan dilindungi keberadaannya. Tapi kenapa di negeri kita, di kalangan umat mayoritas Muslim, selalu ada nada ketidakrelaan ketika umat Kristiani atau umat agama lainnya mendirikan rumah ibadah mereka.
Saya melihat bahwa ketidakrelaan kaum Muslim atas pendirian rumah ibadah umat agama lainnya itu bukan disebabkan oleh argumen teologis semata, tapi lebih banyak disebabkan oleh argumen politik. Hal ini lebih didorong oleh politik identitas, di mana pembangunan rumah ibadah agama lain itu menimbulkan munculnya identitas umat Islam sebagai kelompok mayoritas. Ya, masalah ini lebih banyak berkaitan dengan persoalan mayoritas-minoritas.
Mengapa demikian? Di beberapa daerah di Indonesia, pembangunan masjid –rumah ibadah umat Islam—juga banyak yang mengalami kendala pendirian. Sebabnya tidak lain karena kelompok mayoritas merasa terganggu atau terciderai apabila di tempatnya ada pembangunan rumah ibadah umat agama lain.
Saya melihat bahwa polarisasi mayoritas dan minoritas ini memang masih menjadi persoalan besar di negeri kita. Dampak polarisasi itu ke mana-mana dari sosial, politik sampai keagamaan. Sebenarnya jika kita memahami kenyataan sosial, adanya mayoritas dan minoritas agama itu sudah merupakan kenyataan alamiah biasa. Namun, keadaan alamiah biasa itu sering dipolitisasi dan diekonomisasi, artinya dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi.
Sudah barang tentu yang memiliki kesempatan besar untuk melakukan politisasi dalam konteks negeri kita adalah kelompok mayoritasnya. Memang di sebagian wilayah, umat Islam menjadi minoritas, namun gambaran umum secara nasional umat Islam adalah kelompok mayoritas.
Kembali lagi pada persoalan hambatan dari kalangan umat Muslim atas pendirian rumah ibadah agama lain. Saya kira masalah ini sangat jarang ditemui di negeri-negeri Muslim di tempt lain. Di negeri-negeri di Timur Tengah seperti Lebanon, Uni Emirat Arab dan Afrika Barat seperti Mesir, Maroko, Aljazair, konflik sosial dipicu oleh pendirian rumah ibadah agama lain boleh dikatakan tidak terdengar.
Di negeri-negeri Muslim tersebut, kaum minoritas mereka memiliki hak untuk mendirikan rumah ibadah mereka. Padahal negeri-negeri itu kehidupan demokrasi mereka kalah dibandingkan dengan kehidupan demokrasi di Indonesia.
Mestinya di Indonesia, negeri yang dinobatkan sebagai negeri Muslim terbesar dalam demokrasi, sudah tidak lagi memiliki persoalan serius di dalam masyarakat soal pembangunan rumah ibadah umat agama lain.
Jika aturan pendirian rumah ibadah dirasa masih mempertimbangkan persoalan mayoritas dan minoritas, maka aturan tersebut selayaknya dilihat kembali. Pertimbangan-pertimbangan yang dipakai sebaiknya mempertimbangkan unsur hak umat beragama, di mana mereka berhak melaksanakan ibadah mereka.
Di banyak negeri di Barat, mereka memiliki aturan yang sangat baku dan ketat tentang pendirian rumah ibadah dan tidak hanya diperlakukan bagi umat mayoritas mereka, katakanlah Kristen, namun juga untuk umat-umat agama lainnya. Pertimbangan yang mereka pakai biasanya lebih banyak pada soal hak dan soal perencanaan tata-kota (urban planning). Jadi, soal mayoritas dan minoritas tidak menjadi pertimbangan utama bagi mereka.
Aturan pendirian rumah ibadah di Indonesia mungkin sudah mempertimbangkan unsur-unsur hak keagamaan, namun pada praktiknya, hak kaum mayoritaslah yang lebih bisa terlaksana dibandingkan dengan hak keagamaan kelompok minoritas. Salah satu hal yang krusial bagi kita adalah seringkali masyarakat mayoritas, dalam hal ini umat Muslim membangun musholla dan langgar-langgar secara sporadis yang itu tidak bisa ditiru atau dilaksanakan oleh umat agama yang lainnya.
Dari sinilah lalu muncul persepsi bahwa mayoritas memang memiliki hak untuk melakukan apa saja. Persepsi ini tidak salah jika ada karena inilah yang terjadi di sekitar kita sampai saat ini. Bayangkan apabila itu terjadi atau dilakukan oleh umat agama lain, katakanlah umat Kristen dengan gereja mereka, maka reaksi pasti akan muncul dari kalangan umat mayoritas.
Sekali lagi, mungkin aturan pembangunan rumah ibadah sudah jelas, namun peraturan itu menjadi lain jika itu dipahami dalam perspektif mayoritas dan minoritas oleh masyarakat kita.
Jika problem seperti ini terus berjalan, maka konflik yang diakibatkan oleh pendirian rumah ibadah akan selalu muncul dan ada. Sebaiknya kita mulai mendiskusikan masalah ini secara terus terang dan jujur. Kalangan penyusun undang-undang tampaknya juga harus mulai memikirkan masalah ini. Tapi penyusunan peraturan atau undang-undang harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang obyektif.
Lalu apa yang sebaiknya menjadi pertimbangan yang kokoh agar persoalan pembangunan rumah ibadah tidak dipahami secara subyektif dan bias?
Tadi saya mengatakakan salah satu pertimbangan kokoh adalah pertimbangan hak asasi manusia. Hak beragama dan juga melaksanakan agama adalah hak asasi manusia yang tidak bisa diganggu gugat. Negara dalam hal ini adalah pihak yang menjadi penanggung jawab atas pelaksanaan hak beragama dan menjalankan agama warganya.
Jadinya, penentunya di sini sebenarnya adalah “negara”. Negara harus kuat dalam menjamin hak beragama dan menjalankan agama warganya. Dia tidak boleh kalah atau terkooptasi oleh warga negara mereka, meskipun warga negara itu adalah kelompok mayoritas.
Di sinilah sebenarnya prinsip kewargananegaraan menjadi relevan untuk menjadi dasar bagi para penyusun peraturan dan perundang-undangan untuk mendapatkan aturan dan perundang-undangan tentang pembangunan rumah ibadah yang tidak bias pada konsiderasi masyarakat mayoritas dan minoritas.
Sudah puluhan tahun rasanya kita setiap minggu, bulan dan tahun mendengarkan dan menyaksikan konflik masyarakat mayoritas dan minoritas soal pembangunan rumah ibadah, namun sampai kini pula itu belum ada tanda-tanda agar itu dicarikan jalan keluarnya.
Sebagai catatan, selama pertimbangan pembangunan rumah ibadah itu dipahami dalam kerangka mayoritas dan minoritas, maka soal tensi dan konflik atas masalah itu tidak akan redup. Berharap pada keadilan mayoritas memang perlu, namun itu tampaknya susah. Karenanya, keadilan negara dalam hal ini adalah penentu utama untuk mengakhiri konflik yang disebabkan oleh pendirian rumah ibadah.