Oleh: Guntur Romli
Aksi politisi Swedia Rasmus Paludan dari sayap kanan dan anti Islam membakar Al-Quran memantik kerusuhan di sana.
Ironisnya, aksi itu malah dikawal oleh aparat keamanan dan disebut sebagai kebebasan berekspresi.
Padahal, pembakaran Al-Quran tidak bisa disebut sebagai bagian dari aksi kebebasan tapi aksi kebencian.
Kebebasan bukan ekspresi kebencian dengan membakar Al-Quran, atau di negeri kita juga ada yang menghina salib.
Kebencian dan penghinaan bukan lah bagian dari kebebasan yang bisa dibela.
Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh
Salam sejahtera untuk kita semua
Shalom
Shalom aleichem
Om Swastiastu
Namo Buddhaya
Rahayu
Salam Nusantara
Kerukunan umat beragama kembali diuji dengan aksi seorang politisi rasis Rasmus Paludan yang membakar Al-Quran di Swedia.
Ironisnya aksi itu dikawal oleh polisi Swedia. Dan tak sedikit kalangan di sana menganggap aksi itu sebagai bagian dari kebebasan berekspresi.
Kemudian muncul protes dari mana-mana.
Padahal pembakaran Al-Quran adalah ekspresi kebencian bukan ekspresi kebebasan. Kebencian terhadap Islam dan terhadap orang Islam.
Tak sedikit yang memprotes aksi Rasmus Paludan itu di sini dari beberapa kalangan muslim tapi sayangnya mereka juga ikut mendukung atau tidak masalah dengan penghinaan pada keyakinan umat agama yang lain.
Misalnya dalam ceramah Abdul Somad yang mengaitkan salib dengan setan dan jin kafir. Ini bisa diduga pelecehan terhadap agama lain yang juga tidak boleh dibela.
Kita tidak boleh melakukan standar ganda. Seenaknya melecehkan agama lain tapi tidak terima kalau agamanya sendiri dilecehkan. Sikap yang tepat: tolak pelecehan dan kebencian kepada agama dan keyakinan apapun.
Siapa Rasmus Paludan itu?
Menurut penelusuran BBC, Rasmus Paludan adalah pendiri gerakan sayap kanan Denmark, Stram Kurs atau Garis Keras, yang menyuarakan agenda anti-imigran dan anti-Islam.
Rasmus Paludan juga dikenal sebagai seorang pengacara dan YouTuber dan diketahui pernah dihukum karena kasus penghinaan rasial.
Rasmus Paludan berniat mencalonkan diri dalam pemilu legislatif Swedia September mendatang, tetapi masih belum memiliki jumlah dukungan yang diperlukan untuk mengamankan pencalonannya.
Karena itu aksi-aksi kebencian dan rasis Rasmus Paludan itu tidak bisa dipisahkan dari strategi politik elektoral dia.
Mengunakan kebencian, rasisme dan politisasi agama untuk mendulang suara. Pada tahun 2019, ia membakar Al-Qur’an yang dibungkus dengan daging babi. Pada November 2020, Paludan ditangkap di Prancis dan dideportasi.
Tak lama setelah itu, 5 pengikutnya ditangkap di Belgia karena dituduh ingin “menyebarkan kebencian” dengan membakar Al-Qur’an di Brussels.
Pada 2020 dia dilarang masuk ke Swedia selama dua tahun terkait aksi pembakaran Al-Qur’an di Malmo.
Jadi, jangan pernah melihat Rasmus Paludan sebagai sebagai aktivis kebebasan yang sedang memperjuangkan kebebasan tapi sebagai politisi busuk yang sedang menghalalkan segala macam cara untuk meraup suara dengan memanfaatkan kebencian dan rasisme.
Modus Rasmus Paludan juga terjadi di Indonesia. Namun korbannya agama-agama non Islam yang menjadi sasaran kebencian dan hinaan, karena seperti halnya Islam dan umat Islam di Eropa yang menjadi minoritas, sehingga jadi bulan-bulanan.
Contohnya ceramah Abdul Somad soal salib yang dikaitkan dengan setan dan jin kafir. Karena kita tidak melihat Abdul Somad hanya sebagi penceramah saja tapi sebagai endorser (dalam istilah lain malah disebut buzzer) calon-calon di Pilpres, Pileg dan Pilkada, tentu saja yang sesuai dengan kepentingannya.
Padahal kalau benar itu ceramah dan syiar Islam cukup saja menjelaskan keyakinan dari sisi Islam, tidak perlu meledek keyakinan dan simbol agama lain.
Soal Isa Alaihissalam, cukup jelaskan dari keyakinan yang umum di Islam, adalah seorang nabi dan rasul, yang lahir dari seorang perawan bernama Maryam tanpa campur tangan seorang ayah, yang lebih “mudah” diterima daripada penciptaan Adam Alaihissalam yang tanpa orang tua.
Tidak perlu mengolok keyakinan Yesus sebagai Anak Tuhan, sehingga seperti olokan Rizieq, bidannya siapa?
Isa As dalam keyakinan yang umum di Islam, tidak disalib, tapi orang lain yang diserupakan dengannya.
Tapi tak perlu menghina keyakinan soal penyaliban dan simbol salib dengan mengaitkan dengan setan dan jin kafir seperti omongan Abdul Somad.
Kita tidak bisa memahami keyakinan agama lain dengan standar dan logika keyakinan agama kita. Karena di situlah ada perbedaan.
Seperti Kata peribahasa “jangan mengukur baju orang di badan sendiri” yang artinya jangan menganggap atau menilai orang lain sama dengan anggapan atau penilaian terhadap diri sendiri.
Setiap orang ada ukuran baju sendiri. Diibaratkan agama yang memiliki ukuran dan memiliki logikanya sendiri, tidak bisa dipukul rata, karena di situ lah ada perbedaan.
Dan sudah ditegaskan larangan menghina sesembahan dan agama-agama yang lain:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ
Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan (QS Al-An’am 108).
Kesimpulannya pembakaran Al-Quran bukan ekspresi kebebasan tapi ekspresi kebencian.
Tapi protes padanya dengan kekerasan, pembakaran dan kerusuhan juga tidak bisa dibenarkan.
Penolakan terhadap kebencian tidak bisa dengan kebencian pula.
Perlu partisipasi massa pemprotes lebih besar tapi dengan aksi damai. Juga perlawanan melalui jalur hukum bahwa pembakaran Al-Quran merupakan syiar kebencian dan rasisme terhadap imigran kalangan muslim di Eropa.
Ayo kita tolak ekspresi kebencian seperti pembakaran Al-Quran, termasuk juga syiar pelecehan yang menghina salib dan simbol a agana =agama yang lain.