Oleh: Denny Siregar
Kalau membaca bagaimana seorang Dirjen Perdagangan memainkan peran dengan penerbitan izin ekspor untuk minyak goreng, jujur saya itu geram banget. Sama geramnya dengan membaca berita tentang seorang pejabat yang tertangkap memainkan kuota impor.
Sejak awal saya coba menjelaskan, bahwa permasalahan kenaikan harga minyak goreng ini bukan sepenuhnya salah pemerintah kita. Krisis energi di Eropa dan Asia membuat banyak negara di sana mengalihkan energinya yang tadinya dari fosil ke CPO. CPO ini adalah hasil dari minyak sawit yang harganya ditentukan oleh pasar dunia. Nah, karena permintaan dari luar negeri itu banyak banget, maka harganya pun naik tinggi.
Negara kita adalah negara produsen sawit, bisa dibilang terbesar di dunia. Sebagai produsen, perusahaan sawit pasti akan mencari harga yang lebih tinggi. Karena pasar luar negeri harganya sedang melangit, maka minyak sawit banyak yang di ekspor ke sana. Namanya cari cuan, ya jual ke pembeli yang kasih harga tinggi.
Tetapi, pemerintah juga punya cara supaya dalam negeri tetap kecukupan. Maka dibuatlah aturan, pengusaha sawit bisa mengekspor produknya asal sudah mendistribusikan 20 persen hasil sawitnya untuk domestik, atau yang dikenala dengan nama DMO. Kalau pengusaha sawit ini sudah menunjukkan bukti bahwa mereka sudah memenuhi pasar domestik sebesar 20 persen dari kapasitas produksinya, maka mereka mendapat izin untuk ekspor ke luar negeri.
Di sinilah celahnya. Terjadi kongkalikong antara pejabat di Kementerian Perdagangan dengan para pengusaha sawit.
Si pejabat di perdagangan punya kuasa untuk menerbitkan izin ekspor. Syaratnya ya itu tadi, si pengusaha sawit harus bisa menunjukkan bukti kalau dia sudah menyisihkan 20 persen dari kapasitas produksinya untuk pasar dalam negeri. Karena pasar luar negeri berani membayar harga tinggi dan menyerap banyak sekali produksi sawit, si pengusaha kemudian mencoba mengorbankan syarat 20 persen untuk dalam negeri itu. Kan lumayan kalau yang 20 persen itu dijual ke luar negeri juga, dapet cuan gede. Daripada jual dalam negeri, untungnya itu mepet banget.
Karena semua produksi sawitnya di jual ke luar negeri dan si pengusaha tidak bisa memenuhi kuota 20 persen untuk dalam negeri, main matalah dia dengan pejabat pembuat kuasa. “Hei, pejabat. Buatin gua dong izin buat ekspor sawit.” kata si pengusaha. “Lu, udah penuhin kuota yang 20 persen buat dalam negeri belom?” Kata si pejabatnya lagi. “Alahh, bilang aja udah. Nanti gua kasih lu sekian persen dari hasil penjualan sawit gua di luar negeri.” Kata si pengusaha.
Dan tahu, berapa nilai sekian persen dari hasil penjualan sawit itu? Ratusan miliar rupiah, saudara-saudara. Bisa jadi triliunan rupiah. Itulah yang dinamakan dengan korupsi kebijakan. Mereka tidak korupsi uang negara, tetapi memperkaya diri lewat kebijakan yang mereka buat. Dan kalau sudah bunyi miliaran rupiah atau triliunan rupiah itu, jelas itu bukan mainan satu orang, sudah pasti “Jamaah oh jamaah.”
Begitulah permainan mereka dan begitulah permainan mafia pangan di Indonesia, yang sudah berlangsung sejak zaman Soeharto. Ada yang mainin izin ekspor. Ada juga yang mainin kuota impor. Sama aja ekspor dan impor itu, semua berupa kebijakan. Yang main bukan saja pengusaha, tapi juga pembuat kebijakan termasuk mungkin menterinya, atau malah partai yang main.
Bagaimanasih cara memberantas mafia kayak begitu? Gak bisa dengan sistem demokrasi kayak begini, karena begitu besar kepentingannya. Kalau mau kayak Cina, pejabat dan pengusaha yang ketahuan korupsi sebanyak, anggap sajalah, 10 miliar rupiah misalnya, harus dihukum mati dan dipermalukan di depan publik dan keluarganya.
Mau Indonesia begitu? Mau? Ya ngga mungkin mau lah mereka, karena semua partai yang menguasai parlemen pasti gak mau kena pedang yang mereka ciptakan sendiri. Kalau begitu, kita nikmati saja model korupsi seperti ini. Sambil sedikit memaki-maki.