Oleh: Denny Siregar
Hari ini saya mau membahas apa yang terjadi di luar negeri dulu, karena ini ada hubungan langsung dengan Indonesia. Tentang negara Srilanka yang dikabarkan bangkrut karena gak bisa bayar hutang luar negerinya.
Srilanka adalah sebuah negara pulau yang lautnya berbatasan dengan India. Srilanka dengan jumlah penduduk kurang dari 21 juta jiwa ini, mayoritas penduduknya beragama Budha. Kalau kita dengar nama Srilanka, otomatis kita juga akan mendengar nama sebuah organisasi militan yang mendunia bernama Macan Tamil, yang selalu menebar kekerasan di sana.
Dan baru-baru ini Srilanka heboh, karena dikabarkan mereka gagal bayar hutang sebesar lebih dari 700 triliun rupiah. Mirip dengan pinjaman ke bank misalnya, ketika sebuah negara gagal membayar pinjamannya, maka dia bisa dinyatakan bangkrut. Dan begitu juga dengan apa yang terjadi di Srilanka.
Negara itu pelan-pelan menuju kebangkrutan. Harga bahan pokok naik tinggi. Itupun kalo ada barangnya, biasanya sudah langka dan kalaupun ada, harganya bisa tidak terjangkau. Misalnya BBM, yang sudah sangat langka di Srilanka dan untuk dapat BBM saja orang harus antre panjang, miriplah dengan situasi di Indonesia tahun 80-90an ketika dikabarkan harga BBM naik. Tingkat inflasi di Srilanka sudah mencapai 17 persen lebih. Harga pangan naik 25 persen. Orang sudah sulit mendapatkan bahan makanan dan pendukungnya seperti minyak goreng misalnya.
Banyak yang mengatakan kalau bangkrutnya Srilanka ini karena jebakan hutang dari China. Lha, kok China yang disalahkan? Ya, karena Srilanka berhutang banyak kepada China untuk pembangunan infrastruktur di negara mereka. China memang sedang mengembangkan program Belt and Road Initiative atau BRI.
Ini program pembangunan global yang digerakkan China untuk membangun infrastruktur di 132 negara di dunia. Dulu program ini dinamakan “Jalur Sutra Baru”. Jalur Sutra di masa lampau, sangat terkenal sebagai rute perdagangan yang mempertemukan Timur dan Barat dan diberi nama Sutra karena dulu di China banyak yang berdagang sutra. Dan jalur perdagangan ini juga menjadi titik pertemuan dan pertukaran budaya antara Barat dan Timur.
Dengan mengambil program BRI ini, berarti Srilanka setuju untuk mengambil hutang jangka panjang kepada China khusus untuk membangun infrastruktur di negara mereka. Infrastruktur di sebuah negara adalah tulang punggung perekonomian. Tanpa infrastruktur, ekonomi di sebuah negara tidak akan pernah bisa bergerak dengan cepat sehingga biaya pun bengkak dan harga barang menjadi mahal.
Nah, masalah dengan hutang sebenarnya bukan ada di duitnya, tetapi di pengelolaan duit hutangnya. Seperti kita hutang ke bank misalnya. Kalau hutang itu dipakai buat konsumtif dan bukan buat usaha, maka potensi gagal bayar bisa terjadi. Begitu juga di Srilanka, permasalahannya bukan di hutangnya dengan China dan negara-negara lain, tetapi pengelolaannya yang buruk dan korupsinya yang merajalela sehingga infrastruktur gak selesai, tapi sudah harus membayar bunga.
Seperti pembangunan pelabuhan di Srilanka yang pakai uang dari perusahaan swasta di China. Karena manajemen hutangnya yang begitu buruk, akhirnya Srilanka tidak bisa bayar hutang. Dampaknya adalah pelabuhan itu akhirnya dikelola oleh perusahaan swasta China selama 99 tahun. Wajar sih, wong namanya gak bisa bayar hutang, ya dikelola sama yang ngasih hutang supaya lebih efektif dan bisa membayar. Tapi rakyat Srilanka tidak terima ketika pelabuhan mereka dikelola oleh China, karena di sana ada kebanggaan pemilikan asset yang hilang karena dikelola oleh asing.
Karena kasus pelabuhan Srilanka yang pengelolaannya diambil China itulah, muncul istilah jebakan hutang China. Maksudnya jebakan hutang di sini, China dianggap punya pasal perjanjian yang disembunyikan untuk menjebak si penghutang supaya aset mereka bisa diambil alih oleh China. Pertanyaannya, darimana isu jebakan hutang China itu berasal? Ya, darimana lagi kalau bukan dari Amerika. Amerika dan China sedang dalam situasi perang dagang, memperebutkan hegemoni mereka di dunia internasional. Jadi wajar kalau Amerika menebar isu dengan menakut-nakuti negara lain untuk hati-hati terhadap China.
Hanya jeleknya, Amerika itu cuma bisa nakut-nakutin doang tapi gak pernah membantu Srilanka membangun negaranya dengan pembangunan infrastruktur. Cuma China lah yang mau repot-repot biayai infrastruktur di banyak negara di Afrika, meski mereka juga punya agenda politik dan ekonomi untuk mengembangkan sayapnya di banyak negara. Namanya juga perang dagang, siapa yang menguasai jalur dagang ya dia yang menang.
Ketika Srilanka menyatakan dirinya bangkrut dan tidak bisa bayar hutang, kemana lagi dia meminta hutang? Ada dua cara, ke IMF atau minta perpanjangan hutang kembali ke China. Dua-duanya jelek untuk Srilanka. Kalau ke IMF, Srilanka harus rela negaranya diatur-atur barat, miriplah dengan Soeharto dulu yang terpaksa pinjam karena krisis ekonomi tahun 1998.
Kalau ke China, ya Srilanka juga harus mau dong diatur China supaya hutang berikut yang dikasihkan bisa lebih efektif dan mereka bisa bayar hutang. Srilanka, kalo kata Warkop DKI, dalam posisi maju kena, mundur kena. Suka gak suka, mereka harus mau diatur karena krisis ekonomi di Srilanka kalau didiamkan bisa membuat negara itu chaos besar, kalau perut lapar gak mungkin bisa ditahan.
Oke, lalu apa hubunganya dengan Indonesia?
Kasus bangkrutnya Srilanka ini coba dihubungkan oleh oposisi dengan program kerjasama Indonesia dan China dalam pembangunan infrastruktur di negara ini. Indonesia memang mengajukan kerjasama dengan mengajukan proposal sebesar Rp1.300 triliun dalam skema BRI China tadi. Sejumlah oposisi memakai isu dari Amerika, bahwa Indonesia kelak akan seperti Srilanka, terjebak hutang dengan China dan negara ini akan diambil alih asetnya seperti Srilanka.
Kita memang harus tetap waspada dengan semua negara di dunia, termasuk China. Tetapi membesar-besarkan masalah kerjasama dengan China dan diasumsikan kalau negara ini kelak akan diambil oleh China, itu yang menggelikan. Lha, memang kalau kerjasama dan hutang dengan barat, aset kita tidak diambil alih? Contoh aja dulu Freeport, yang diambil Barat sebagai bagian dari negosiasi hutang negara. Untungnya Freeport berhasil dibeli kembali oleh pemerintahan Jokowi.
Lagian beda Srilanka, beda juga dengan Indonesia. Rasio hutang Srilanka dengan pendapatannya itu sudah 60 persen lebih. Sedangkan Indonesia itu masih 40 persen. Bagaimana sih penjelasan sederhana dari rasio hutang itu? Gini, misalnya kita punya gaji sebesar Rp100 juta setahun, maka total hutang kita masih di angka 40 juta setahun. Dan ini masih angka aman, karena DPR menyetujui rasio utang kita maksimal sampai 60 persen.
Tapi ada kesamaan Srilanka dan Indonesia yang wajib kita waspadai. Salah satu pendapatan Srilanka yang terbesar adalah pariwisata. Pariwisata di Srilanka anjlok sampai 90 persen, karena serangan bom Macan Tamil di tahun 2019 dan pandemi selama dua tahun. Nah, karena punya pendapatan besar di pariwisata, Srilanka tidak membangun industri dalam negerinya dengan baik sehingga hampir semua barang di sana impor dari negara lain. Ketika Srilanka bangkrut, gak punya duit, maka gak ada uang juga untuk beli barang dari luar negeri.
Indonesia juga begitu. Kita manja benar sama impor. Apa-apa impor, sampai cangkul aja impor. Katanya barang impor, apalagi dari China itu harganya murah banget. Ini yang bahaya. Kalau terlalu manja dengan impor, ketika satu waktu kita ada masalah, maka barang semurah apapun pasti akan naik tinggi harganya.
Nah, kalau kita tidak siap dengan industri dalam negeri, maka bisa saja nasib kita kelak akan seperti Srilanka. Bangkrut. Bukan karena jebakan hutang dari China, tapi karena kita tidak mampu mengelola hutang dari luar. Selagi masih dipercaya oleh negara lain dengan dikasih hutang, maka hutang itu salah satunya harus dipakai produktif dengan membangun industri dalam negeri supaya kita tidak tergantung dengan siapapun kecuali diri kita sendiri.