ANGGOTA DEWAN KEBAL HUKUM?

Oleh: Grace Natalie

Peristiwa pengeroyokan terhadap dosen dan juga penggiat media sosial Bang Ade Armando telah mengungkap sebuah fakta penting, bahwa ternyata masyarakat kita cukup banyak juga jumlahnya yang mentolerir kekerasan manakala menghadapi orang yang berbeda pandangan dengan dirinya. Dan saya membaca komen-komen netizen di sejumlah platform media sosial, dan saya terkejut sekali ketika membaca banyak komentar-komentar kejam yang cenderung bersorak-sorai atas peristiwa biadab yang menimpa Bang Ade Armando. Salah satu alasan yang kerap dipakai sebagai pembenaran atas peristiwa itu adalah tuduhan bahwa Bang Ade Armando telah melakukan penistaan terhadap agama.

Yang mengkhawatirkan, cukup banyak kalangan masyarakat yang meyakini tuduhan ini, mulai dari masyarakat awam, pemuka agama, rektor perguruan tinggi ternama, sampai juga wakil rakyat. Salah satunya adalah Sekjen Partai Amanat Nasional, Eddy Soeparno. Melalui akun Twitternya, dia berkata begini:

“Saya mendukung pengusutan dan tindakan hukum kepada pelaku kekerasan terhadap AA, tapi saya juga mendukung tindakan hukum yang tegas kepada mereka yang menistakan agama, termasuk AA.”

Tweet Eddy Soeparno ini jelas mengindikasikan bahwa ia berpendapat Ade Armando telah melakukan penistaan terhadap agama. Dan karena tweet ini dikeluarkan hanya satu hari setelah peristiwa pengeroyokan, maka bisa saja sebagian orang itu berpendapat Eddy Soeparno membenarkan atau mendukung peristiwa pengeroyokan terhadap Ade Armando. Apalagi statement ini keluar dari seorang petinggi partai politik yang juga merupakan anggota DPR.

Kuasa hukum Ade Armando lalu melayangkan somasi kepada Eddy Soeparno. Poin-poinnya antara lain Ade Armando tidak pernah berstatus tersangka atas kasus laporan dugaan penistaan agama. Bahkan laporan dugaan penistaan agama terhadap Ade Armando sudah dinyatakan SP3 oleh Polda Metro Jaya. Menurut kuasa hukum Ade Armando, tweet Eddy Soeparno bisa mengarah kepada pencemaran nama baik dan juga berita bohong. Perbuatan Eddy Soeparno telah merugikan dan dinilai membahayakan keselamatan baik fisik dan juga mental Ade Armando.

Sampai video ini ditayangkan, cuitan tersebut masih ada di lini masa Eddy Soeparno.
Meresponi laporan ke polisi ini, Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan Habiburokhman menyatakan kebingungannya atas somasi tersebut. Menurut Habiburokhman, setiap anggota dewan memiliki hak imunitas, yaitu hak yang membuat anggota DPR tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena mengemukakan pendapat atau pernyataan, baik secara lisan maupun tertulis dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR, yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugasnya sebagai anggota dewan.

Apakah ini artinya anggota DPR itu kebal hukum?

Yang saya pahami, hak imunitas melekat pada setiap anggota dewan manakala terkait dengan fungsi dan wewenang serta jabatannya sebagai legislatif. Ketika seorang anggota dewan melakukan pelanggaran hukum, apalagi yang tidak terkait dengan fungsi, wewenang, dan tugasnya sebagai legislatif, maka ia dapat diproses secara hukum.

UU MD3 ini memang kontroversial sekali. Tahun 2018 silam ada seorang anggota DPRD di Maluku Tengah yang menabrak seorang pengendara ojek hingga tewas. Namun gara-gara UU MD3, prosedur yang harus ditempuh oleh pihak kepolisian untuk memeriksa anggota dewan tersebut menjadi rumit. Antara lain harus ada izin gubernur untuk memeriksa si anggota DPRD. Akibatnya dalam kasus tabrakan di Maluku Tengah, barulah 20 hari setelah insiden tabrakan terjadi, anggota DPRD terkait bisa diperiksa oleh pihak kepolisian.

Nah, berangkat dari peristiwa di Maluku Tengah tersebut, Partai Solidaritas Indonesia mengajukan uji materiil terhadap pasal-pasal kontroversial di UU MD3. Dan syukurlah sebagian gugatan PSI sudah dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal yang berhasil dibatalkan antara lain Pasal 73 ayat 1 di mana DPR dapat meminta Polri untuk memanggil paksa setiap orang yang menolak memenuhi panggilan dewan.

Kemudian ada juga Pasal 122 huruf K, di mana Mahkamah Kehormatan Dewan dapat mengambil langkah hukum kepada siapapun yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya. Terakhir, Pasal 245, yang menyatakan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan dari presiden dan pertimbangan MKD.

Pasal-pasal kontroversial ini menunjukkan UU MD3 mencederai demokrasi kita.
Anggota dewan adalah juga warga negara yang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Sebagai wakil rakyat justru seharusnya anggota dewan itu memberikan teladan yang baik, karena setiap perkataan dan perbuatannya ada di bawah sorotan publik. Jika anggota dewan terbukti melakukan pelanggaran hukum di luar daripada tugas, wewenang, dan jabatannya sebagai legislatif, maka sudah seharusnyalah dia diproses hukum sesuai dengan aturan yang berlaku.

Komentar