Oleh: Eko Kuntadhi
Saya kaget membaca berita tentang seorang anak, usia SMU, yang tewas disabet senjata tajam pada tengah malam di Jogja. Kayak-kayaknya sih minggu lalu. Pelakunya adalah segerombolan anak kecil juga. Remaja usia SMU juga. Diperkirakan sekitar 14-15 tahun.
Nama korbannya Daffa, pelajar SMU Muhamadiyah 2 Jogjakarta.
Jadi ceritanya Daffa subuh itu mau cari lauk buat sahur. Ia naik motor bersama beberapa temannya. Saat cari makan itu, di jalan bertemu dengan kelompok anak lain yang juga mengendarai motor.
Entah kenapa, kelompok yang ditemui ini memancing Daffa dan teman-temannya agar mereka dibuntuti. Mungkin diledek atau apalah kita gak tahu. Sampai di sebuah jalan yang sepi. Anak-anak itu turun, menunggu kelompok Daffa mendekat. Kemudian: Crash!
Sebilah gir sepeda yang dipertajam menebas wajah Daffa. Kepala anak ini luka. Dan wajahnya remuk. Darah bercucuran di subuh itu. Ternyata nyawa Daffa tidak bisa lagi ditolong.
Apa motif pembunuhan itu? Tidak jelas. Tidak ada satu benda pun milik korban yang diambil oleh pelaku. Artinya pembunuhnya tidak punya motif ekonomi.
Apakah bermotif dendam? Tidak juga. Dari penelusuran Daffa baru saja bertemu dengan gerombolan itu pada malam itu. Sebelumnya gak pernah ketemu.
Atau mungkin perang antar genk? Genknya Daffa dengan genk mereka? Ternyata gak juga. Gak ada hubungan sebelumnya, atau interaksi sebelumnya. Antara korban dan pelaku, mereka baru saja ketemu di jalan. Dan mereka tidak sedang berkelahi.
Lalu apa motif sebenarnya? Nah, ini yang membingungkan. Ternyata motifnya gak bermotif apa-apa. Luar biasa gak? Mungkin hanya iseng. Mengisi waktu luang. Lalu blash blash blash! Pedang bertebaran, celurit bertebaran. Dan kemudian matilah seorang Daffa.
Saya membayangkan betapa mengerikan gambaran ini. Ada sekelompok anak muda di Jogja yang iseng-iseng di malam hari. Kemudian keisengannya mencari korban secara acak di jalanan. Korbannya untuk dibacok. Atau dikepruk kepalanya. Atau disabet clurit. Atau ditimpa batu ketika korbannya sudah terperosok dan motornya jatuh.
Begitu saja. Tanpa babibu. Langsung blesh.
Warga Jogja sendiri menamai fenomena ini dengan istilah Klitih. Kata klitih diambil dari kosakata Bahasa Jawa asal-usulnya Klitah-Klitih yang artinya sekadar iseng atau sekadar mengisi waktu luang. Nah, fenomena anak-anak muda di Jogja yang psikopat ini sebagai pembantai di jalanan, lalu dinamai oleh masyarakat Jogja sebagai Klitih.
Mungkin ini cara warga Jogja menamai dengan istilah sudah menunjukkan betapa mengerikannya fenomena ini.
Bayangkan. Satu tindakan biadab yang memakan banyak korban. Bahkan sampai jatuh korban jiwa. Pelakunya adalah anak-anak tanggung bersenjata celurit, parang, gir, pedang atau benda-benda tajam lainnya.
Lalu mereka hanya distempel dengan istilah Klitih, yang artinya sekadar iseng, sekadar mengisi waktu luang.
Mendengar Klitih orang yang memahami Bahasa Jawa mungkin akan membayangkan kayaknya anak-anak muda ini sedang membaca komik atau sedang main game online. Atau main petak umpet dan gobak sodor.
Tapi permainan anak-anak malam ini di Jogja agak beda sedikit. Bedanya ketika mereka mengisi waktu luang, mereka menyabet orang dengan clurit atau parang. Darah yang mengucur ya darah beneran. Teriakan kesakitan korban, ya teriakan yang real. Nyawa korban, nyawa seorang anak yang punya orang tua. Atau punya kakak atau punya adik.
Tapi mereka terjadi begitu saja. Karena iseng.
Membaca kasus ini, ketika saya mendengar kata Klitih, justru di kepala saya gema kata itu jadi lebih seram, lebih mengerikan dari kata garong, begal, atau rampok, bahkan lebih mengerikan dari kata teroris. Garong sampai teroris mungkin bisa berlaku sadis dan biadab, tapi perlakuan-perlakuan sadis dan biadab itu punya tujuan. Punya motif. Baik motif ekonomi maupun motif ideologi.
Tapi bayangin deh, anak-anak di bawah umur ini, usia sekolah, mereka berbuat sadis karena iseng? Dan mereka memilih korbannya secara acak, secara random. Siapa saja yang kebetulan ketemu di jalan. Ini kan mengerikan!
Bukankah dari pilihan kata Klitih saja perlu menjadi perhatian bahwa bagi masyarakat Jogja fenomena ini sangat amat serius.
Pantas saja karena kengerian dari istilah Klitih ini para pemangku kepentingan di Jogja, mulai dari Gubernur yang juga Sultan Jogja sampai aparat kepolisian mengimbau masyarakat agar tidak menggunakan kata Klitih. Kenapa tidak menggunakan kata Klitih? Itu membayangkan betapa mengerikannya sifat orang yang iseng-iseng sambil mencabut nyawa.
Sultan Jogja beberapa waktu lalu sempat mengimbau masyarakat agar gak usah membesar-besarkan kasus Klitih ini. Ini cuma kejahatan, atau cuma kenakalan remaja biasa. Kata Bupati Kulon Progo bahkan sempat mengatakan Klitih adalah sejenis kreativitas anak-anak muda yang salah arah.
Setelah ada korbannya, dan korbannya kebetulan anak seorang politisi yang juga jadi anggota DPRD, baru Sultan meminta aparat keamanan menindak tegas pelaku Klitih. Kayaknya sikap menyangkal yang pernah ditonjolkan oleh para pemimpin di Jogja itu kayaknya ketika korban jiwa mulai berjatuhan lagi.
Kayaknya sikap menyangkal dari para pemimpin ini harus mulai dikurangi. Jujur saja bahwa ini adalah fenomena yang mengerikan yang terjadi di kota gudeg itu. Dan hal ini perlu ditangani secara serius.
Saya sendiri menangkap keseriusan problematika Klitih ini. Mulanya ketika saya iseng menuliskan Klitih di akun medsos saya, ternyata banyak testimoni dari warga Jogja yang saya dapatkan. Testimoni dari para korban Klitih. Ada yang mengisahkan pernah hampir jadi korban Klitih, tapi alhamdulillah dia lolos dari kejaran anak-anak itu dan sabetan pedang yang tadinya ditujukan di badannya tidak kena. Ada juga yang berkisah temannya meninggal, memang bukan langsung dibunuh oleh kelompok ini.
Tapi temannya menghindari sabetan pedang, lalu memacu motornya karena ketakutan. Akibatnya dia menabrak batu besar dan akhirnya teman tersebut tewas.
Dari akun medsos saya juga ada yang bercerita bahwa dia pernah jadi korban Klitih dan sampai sekarang luka di pahanya belum pulih benar akibat sabetan benda tajam. Dan saya atau kita merasakan orang-orang tua yang ada di luar Jogja dan anaknya lagi sekolah di Jogja, lagi kuliah di Jogja, mereka pasti khawatir. Mereka bukan hanya khawatir anaknya ikut pengajian HTI lalu terjerembab ke jurang radikalisme. Kini mereka juga khawatir anaknya jadi korban kekerasan jalanan.
Jogjakarta dari kota yang adem dan berbudaya, kini berubah menjadi kota dengan ‘jam malam’ partikelir akibat ulah segerombolan anak-anak yang beringas itu.
Sudah banyak korban akibat Klitih ini. Semua orang di Jogja atau masyarakat Jogja harus tegas. Ada yang meninggal dunia akibat kelakuan mereka. Ada yang luka parah sampai sekarang masih trauma hidupnya. Dan seluruh masyarakat Jogja saat ini ketika gerombolan-gerombolan Klitih itu masih bergentayangan, hidup seperti tinggal berbarengan dengan Zombie. Kenapa berbarengan dengan zombie? Karena setiap saat anda bisa jadi korban dan ini sangat mengerikan.
Yang perlu dilakukan adalah tindakan yang nyata oleh para pemangku kepentingan di Jogja. Yang pertama mestinya cari pemimpin geng-geng anak-anak muda itu. Siapa yang mempengaruhi mereka. Bukan hanya menindak pelakunya yang tertangkap. Tetapi cari sumber-sumber atau orang yang paling berpengaruh dalam kelompok mereka dan tangkap mereka.
Karena dalam sebuah penelaahan, ternyata Klitih ini adalah semacam prilaku, pengakuan dari lingkungan dari genk itu. Kalau lo berani ngelukain orang, maka lo diapresiasi sebagai anggota genk. Dan anak-anak muda polos ini kemudian berlatih biadab untuk mendapat pengakuan dari kelompoknya.
Kedua yang juga penting, penetrasi organisasinya. Anggota-anggota genknya bagaimana model organisasinya, bagaimana model kelompok itu bergerak. Anak-anak muda itu tergabung dalam kelompok-kelompok kecil yang juga melakukan kegiatan-kegiatan kejahatan sebagai ekspresi dari agresivitas komunal mereka. Telusuri genknya dan lakukan penanganan terhadap organisasi tersebut secara serius.
Ketiga, satukan masyarakat Joga untuk menangani fenomena ini. Aktifkan kembali misalnya keamanan masyarakat secara menyeluruh.
Dan yang gak kalah penting, lakukan pembinaan serius kepada anak-anak muda di Jogja. Jangan biarkan mereka mencari jatidiri pada kelompok-kelompok beringas itu.
Jika saya amati pelakunya, wajahnya bener masih polos-polos. Karena saya dapatkan beberapa video pelaku-pelaku Klitih itu ditangkep. Di mukanya saja lemak bayi belum seluruhnya luruh. Kayak masih ada wajah anak-anak gitu. Tapi ketika mereka bersatu dalam kelompoknya, mereka menjadi luar biasa keji. Agresivitas mereka meningkat membuat mereka berubah menjadi monster. Dan ini ancaman serius bagi masa depan kota yang adem itu.
Saya jujur kok jadi takut ya untuk main-main ke Jogja kalau fenomena ini gak bisa ditangani dengan baik, tidak bisa ditangani dengan cepat. Kenapa? Karena itu tadi korbannya acak siapa saja bisa jadi korban, baik anda, saya, maupun kita semua. Dan kita harus serius menangani fenomena ini. Kalau tidak, wow kita akan mendapati suasana yang paling buram dari sebuah kota budaya yang pernah kita banggakan.