Oleh: Denny Siregar
Sejak Jokowi memimpin, pemberantasan radikalisme di negeri ini menjadi salah satu fokusnya. Radikalisme berbalut agama memang mengerikan dan di banyak negara di Timur Tengah dijadikan senjata untuk melakukan kudeta. Negara barat, untuk merebut kepemimpinan di sebuah negara Arab misalnya, tidak perlu lagi mengirimkan pasukan mereka. Mereka cukup menggerakkan kelompok mabuk agama – yang sering kita sebut kadrun itu – untuk melakukan perusakan dan kekacauan termasuk membenturkan rakyat dengan rakyat.
Ngeri memang radikalisme ini. Kalau musuh kita dari negara luar, jelaslah kita berhadapan dengan siapa. Tapi dengan kadrun di negeri ini, sulit memetakan siapa mereka karena mereka berbaur di masyarakat dan berpenampilan agamis di tengah masyarakat yang relijius. Gerakan mereka menjadi massif ketika masa pemerintahan SBY yang lemah. Mereka menyusup ke sendi-sendi pendidikan, pemerintahan termasuk TNI dan Polri lewat pengajian-pengajian.
Masyarakat menjadi terbagi dua lewat gerakan eksklusifitas berdasarkan agamanya apa. Mulailah tumbuh kos-kosan yang hanya menerima satu agama, perumahan untuk satu agama, bahkan salon saja hanya untuk agama tertentu. Dan ini nyata terjadi di negara kita yang dibangun di atas darah putra-putra bangsa yang terdiri dari aneka suku, ras, dan agama.
Ketika Jokowi membubarkan HTI di tahun 2017, kelompok agamis yang merasa sudah memenangkan pertarungan ini, kagetnya luar biasa. Mereka tidak menyangka pemerintahan Jokowi ini berani mengambil langkah untuk head to head dengan mereka. Padahal selama ini mereka sudah merasa bahwa mereka berhasil mengontrol banyak elemen pemerintahan yang strategis termasuk aparat. Lalu melawanlah mereka di Pilpres 2019 dengan menumpang pada lawan Jokowi, yaitu Prabowo, yang pada saat itu butuh suara.
Dan sesudah Jokowi menang lagi, tambah satu ormas lagi sakit hati, yaitu FPI. Mereka merasa selama ini gerakan mereka di jalan dan di masyarakat mendapat persetujuan. Tetapi ketika junjungan mereka, Rizieq Shihab akhirnya ditangkap, maka ngamuklah mereka. Apalagi ditambah Munarman, yang selama ini menjadi akses mereka ke luar negeri juga ditangkap. Peristiwa terbunuhnya enam orang laskar FPI di KM 50 oleh polisi membuat mereka tambah membara. Apalagi ditambah, polisi yang menembak mati itu dibebaskan oleh pengadilan.
Karena itulah, di demo mahasiswa kemarin, terlihat jelas FPI dan HTI melakukan penyusupan. Sejak awal saya sudah mendapatkan kabar kalau tensi demo kali ini lumayan tinggi, karena ada rencana balas dendam ke polisi. Karena itu beberapa elemen mahasiswa menyatakan diri mundur dari demo karena tidak mau aksi mereka ditunggangi. Dan kita lihat, seorang dosen, teman baik saya menjadi korban pemukulan bukan oleh mahasiswa tetapi simpatisan FPI dan HTI.
Dari kasus demo dan penganiayaan kemarin, mari kita lihat peta Pilpres 2024 nanti.
Pilpres 2024 akan menjadi Pilpres balas dendam FPI dan HTI kepada Jokowi. Pilpres ini kemungkinan akan jadi lebih keras dari Pilpres 2019, karena kalau kelompok garis keras itu kalah, kekuatan mereka semakin lama semakin menyusut. Karena itu, FPI dan HTI, sekarang sedang menyusun kekuatan dengan mengusung sebuah nama sebagai jagoan, yaitu Anies Baswedan.
Kalian pernah lihat bagaimana barbarnya Pilgub DKI 2017 kemarin? Percayalah, Pilpres 2024 nanti, kalau Anies jadi diusung oleh partai, kita akan alami Pilpres terbarbar yang pernah terjadi.
Yang saya takutkan bukan saja bahwa Pilpres 2024 nanti akan terjadi polarisasi yang kuat dengan atas nama agama. Yang saya takutkan, bisa saja kelompok moderat mulai bosan dan turun ke jalan juga melakukan balas dendam kepada mereka yang merasa paling beriman.