Oleh: Ade Armando
Saya dikontak oleh seorang penonton Cokro TV di Sulewesi Utara. Namanya Melvin Edward Pontoh. Dia bercerita tentang bagaimana dia diperlakukan tidak adil oleh Bank Mandiri dan Kepolisian Daerah Sulawesi Utara.
Dia juga mengirimkan rangkaian foto dokumen untuk memperkuat ceritanya. Saya memang belum mengkonfirmasi cerita ini pada Polda Sulut dan Bank Mandiri, Tahuna, Sulawesi Utara.
Tapi saya merasa informasi yang dia sampaikan cukup meyakinkan. Karena itulah saya merasa wajib menyampaikannya pada penonton.
Bila Polda Sulut dan Bank Mandiri ingin membantahnya, dengan senang hati bantahan tersebut akan saya juga tayangkan. Namun mengingat saya harus berpihak pada orang yang mungkin menjadi korban, saya rasa saya wajib menyampaikan laporan ini dulu kepada penonton.
Kisah ini bermula sembilan tahun yang lalu. Pada tanggal 08 April 2013 Melvin mengajukan Surat Permohonan Fasilitas Kredit sebesar Rp 450 juta kepada BANK MANDIRI, Tahuna, Sulawesi Utara.
Permohonan itu disetujui melalui Perjanjian Kredit Modal Kerja, tanggal 18 April. Angka Rp 450 juta rupiah itu adalah limit maksimal yang digunakan. Bunga dihitung dari berapa yang sudah terpakai di akhir bulan.
Perjanjian tersebut beberapa kali diperbaiki. Pada 2016, Melvin sebenarnya ingin menghentikan saja pembayaran kredit tersebut. Dia merasa sanggup melunasi sisa pinjaman kredit. Namun permintaan Melvin diabaikan Mandiri.
Mereka tak mau memberikan rincian pembayaran. Mereka tak menjawab permintaan Melvin. Cerita berlanjut pada 2021, saat Melvin pulang ke Tahuna karena dia sebenarnya bertempat tinggal tidak di daerah asalnya.
Ketika Melvin kembali ke Tahuna, dia baru tahu bahwa asset jaminan sudah disita, karena dianggap menunggak membayar cicilan. Dia kehilangan tanah dan rumah. Dengan emosional, Melvin mendatangi kantor Mandiri dan meminta ditunjukkan surat-surat perjanjian.
Ketika itulah Melvin menemukan hal mengejutkan. Melvin membaca addendum ketiga berisi perubahan perjanjian yang sebenarnya tidak pernah di tandatangani namun di dalamnya tertera tandatangan Melvin dan istrinya.
Itu jelas-jelas tandatangan palsu.
Saat addendum itu ditandatangani pada 19 April 2016, Melvin dan keluarga sedang berada di Medan. Jadi tidak mungkinlah ia menandatangani surat tersebut. Karena itu Melvin menyimpulkan bank Mandiri cabang Tahuna telah melakukan tindak pidana pemalsuan tandatangan Melvin dan istrinya.
Melvin melaporkan Bank Mandiri Cabang Tahuna ke Polda Sulawesi Utara pada 4 Mei 2021. Pada 27 Mei 2021 Polda Sulut telah memanggil dan memeriksa pihak Mandiri. Namun pada pemeriksaan itu, Mandiri tidak dapat menunjukkan bukti dokumen terkait yang menjadi objek perkara.
Polisi terus melakukan penyidikan. Pada 29 September, POLDA Sulut menyatakan masih memerlukan keterangan dan dokumen-dokumen pendukung terhadap beberapa saksi untuk mendapatkan petunjuk lebih lanjut.
Polda Sulut telah memeriksa saksi-saksi. Tapi secara mengejutkan, pada pertengahan Oktober 2021, Polda Sulut mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dengan alasan tidak ditemukannya suatu peristiwa pidana.
Melvin kaget dan kecewa, karena Polda tidak melakukan pengujian melalui Laboratorium Forensik untuk mencek keaslian tandatangan.
Namun Melvin tidak putus asa. Dia sudah menghubungi divisi Profesi dan Pengamanan POLRI (Propam) untuk meminta kasus ini diperiksa kembali,
Propam diharapkan dapat melakukan gelar perkara kasus pemalsuan tanda tangan yang dilakukan Bank Mandiri yang telah di SP-3.
Sebelumnya ia juga sudah melaporkan kasus tersebut pada Kompolnas. Kompolnas telah meminta penjelasan dari Polda Sulut, namun tidak ada jawaban.
Seperti saya katakan, apa yang saya sampaikan ini adalah versi Melvin. Tentu saja belum tentu benar atau sepenuhnya benar. Tapi saya tahu hal-hal semacam ini lazim terjadi.
Karena itu kita harus bersama-sama mencegah dan melawannya. Karena apa yang terjadi pada Melvin bisa saja terjadi pada kita semua. Kalau Melvin dizalimi, mari kita dukung bersama.