DUO BASSALAMAH DAN GERAKAN 212 TAK LAKU “DIJUAL”, SIASAT MEREKA TERBONGKAR

Oleh: Syafiq Hasyim

Dalam minggu-minggu ini ada dua hal penting yang menjadi catatan saya bagi penanda susahnya kebangkitan Gerakan Islamis pasca-Gerakan 212. Pertama, gagalnya kehadiran Syafiq Bassalamah dan Reza Bassalamah di acara Muslim Life Fair di Istora Senayan. Konon acara ini dibatalkan oleh pihak aparat.

Kedua, tampilnya menantu Habib Rizieq Shihab di kesempatan demo yang ke sekian kalinya atas target-target yang mereka tentukan, ternyata tidak membuahkan hasil yang begitu menggembirakan.

Dalam catatan ini, saya melihat kedua peristiwa itu sebagai bentuk pesimisme akan kebangkitan kembali gerakan Islamisme di Indonesia.

Pertama, saya ingin melihat Muslim Life Fair. Kegiatan ini bukan kegiatan yang baru. Dari namanya, kegiatan ini merupakan upaya untuk merayakan kehidupan Muslim di ruang publik melalui pelbagai kegiatan keagamaan dan ekonomi.

Kegiatan ini sudah lama sekali dilakukan dan di dalam kegiatan ini menampilkan program-program seperti gelaran fashion, pendidikan Islam, hobi-hobi umat Islam, pameran buku, perjalanan dan kuliner halal, pameran kecantikan, farmasi Islam dan pengobatan model Nabi.

Muslim Life Fair ini dikemas dalam bentuk populer dan market-oriented activities (aktivitas yang yang berorientasi kepada pasar). Bagi kebanyakan orang awam, kegiatan ini bisa dikatakan sebagai pameran biasa, sebagaimana pameran lain, namun bedanya ada bungkus keagamaannya.

Kelas menengah Muslim kota suka dengan gaya yang demikian. Mereka menganggap bahwa partisipasi di Muslim Life Fair sebagai bentuk ketakwaan mereka. Ini memang ciri yang begitu menonjol bagi kehidupan masyarakat Muslim urban.

Ya, pada awalnya memang kecurigaan tidak begitu nampak adanya pada penyelenggaraan Muslim Life Fair. Namun lambat laun, dari sisi produk yang dipasarkan dan juga program kegiatan yang ditawarkan, dimensi ideologis-islamis mulai Nampak kelihatan.

Misalnya, buku-buku yang dipasarkan di Muslim Life Fair ini adalah buku-buku yang bernuansa mendukung tatanan politik Islam. Bisa dikatakan buku-buku yang dijajakan dipenuhi oleh tema-tema ideologis-islamis.

Selain itu, fashion yang ditawarkannya pun bernuansa yang tidak berbeda dengan gambaran ideologis-islamis, misalnya pakaian-pakaian Muslimah bagi kalangan perempuan. Pakaian-pakaian, serta hijab yang bersimbol Islamis. Sudah barang tentu, perempuan di sini menjadi sasaran dari pameran fashion ini. Kenapa? Pertama, perempuan adalah pasar empuk bagi dunia fashion. Yang kedua, perempuan adalah juga kelompok yang paling lemah dan rentan untuk ditekan melalui dalih keagamaan.

Katakanlah, jika ingin berpakaian secara islami, datanglah ke Muslim Life Fair, karena di tempat ini berbagai model pakaian yang islami yang sesuai dengan nilai-nilai islamis dipamerkan dan didisplay kepada publik.

Selain pameran produk-produk dan jasa seperti tourisme syariah, di Muslim Life Fair juga diprogramkan acara kajian keislaman.

Di program kajian inilah sebenarnya ruang bagi para ideolog-islamis untuk bermanuver. Dari kasat mata hal seperti ini tidak terlihat, namun lewat pengamatan yang mendalam gejala itu bisa dibaca. Misalnya, jika kita lihat dari satu penyelenggaraan ke penyelenggaraan yang lain, ada kecenderungan bahwa Muslim Life Fair ini memang sengaja diset up sebagai pasar dakwah bagi kalangan pendakwah yang selama ini berorientasi pada gerakan “ideologis-islam.” Bahkan semakin ke sini corak pendakwah yang dihadirkan di acara ini semakin jelas modelnya.

Dari sekian daftar yang diundang, maka kehadiran pendakwah Salafi, serta Wahabi demikian menonjol. Bahkan tidak hanya kalangan mereka, Salafi-Wahabi, kalangan pendakwah mantan Hizbut Tahrir Indonesia juga menjadi pengisi acara kajian di kegiatan Muslim Life Fair ini.

Saya mencatat bahwa jalur untuk peneguhan politik identitas di kalangan mereka yang masih meyakini pentingnya tatanan ideologis-islamis dalam politik di Indonesia terus diupayakan dan ditempuh melalui pelbagai cara dan strategi.

Muslim Life Fair adalah kegiatan atau program dan sekaligus strategi yang bisa dikatakan cukup komprehensif, karena kegiatan ini menggabungkan dimensi pasar dan dimensi ideologi dalam satu paket. Artinya, orang datang ke acara ini tidak hanya mendapatkan kebutuhan pasar mereka, namun sekaligus juga mendapatkan cita-cita ideologis tatanan politik keislaman yang diimpikan oleh para ideolog-islamis.

Nampaknya pihak aparat sudah mencium kecenderungan ideologis-islamis di dalam Muslim Life Fair ini. Karenanya, ketika aparat ini membatalkan kehadiran Syafiq Bassalamah dan Reza Bassalamah, maka mereka, para polisi tidak membatalkan acara Muslim Life Fair-nya itu sendiri. Acara ini tetap dibiarkan berjalan, karena tanpa kajian atau pengajian, sesungguhnya Muslim Life Fair ini adalah arena jual-beli barang dan produk sebagaimana pameran-pameran lainnya.

Pada sisi lainnya, gerakan yang senada dengan model ideologis-islamisnya Muslim Life Fair, terus mereka upayakan meskipun belum menemukan hasilnya yang maksimal. Gerakan 212 yang mencoba mengambil angle baru ternyata tidak cukup mendongkrak popularitas mereka.

Apakah memang ini merupakan tanda “the end of story” bagi mereka, ataukah mereka ini memang sudah paham akan kemunduran mereka, namun acara atau program turun ke jalan terus dijalankan sebagai upaya untuk menghidupkan asa bagi gerakan mereka.

Pelbagai kegiatan yang ditujukan sebagai “incentive” untuk menghidupkan gerakan mereka sudah mereka coba jalankan. Pelbagai upaya untuk menyatukan dan mengkonsolidasi segala kekuatan dan potensi juga sudah mereka tempuh. Pelbagai tokoh baru mereka coba tawarkan ke pasar publik. Peristiwa paling terakhir bahkan menghadirkan “organisasi baru” sebagai pengganti Front Pembela Islam, di mana ketuanya adalah menantu Habib Rizieq Shihab sendiri.

Mereka mencoba untuk memakai akronim FPI singkatan dari Front Persaudaraan Islam, dengan harapan gegap-gempita masyarakat menyambut terobosan yang mereka lakukan. Di sini mereka ingin memainkan ikatan emosional masyarakat yang cinta FPI dengan FPI baru ini. Asumsinya, orang yang cinta pada Front Pembela Islam akan juga cinta pada Front Persaudaraan Islam.

Pertanyaannya adalah gairahkah pasar publik dalam menyambut gerakan mereka? Selama ini belum terlihat ke arah itu. Dari mana kita tahu bahwa gerakan mereka tidak begitu mendapatkan respons publik? Ya dari animo masyarakat untuk ikut bergabung dengan gerakan mereka di lapangan.

Jika dulu kegiatan 212 lebih banyak dihadiri oleh kelompok yang non-ideologis, maka gerakan mereka sekarang ini lebih banyak dihadiri oleh kelompok inti atau kader mereka, yang sebenarnya jumlahnya tidak terlalu banyak.

Sebagai catatan, gerakan, tokoh, kegiatan yang menampilkan corak ideologis-islamis nampaknya sudah semakin bisa dikenali oleh masyarakat. Masyarakat sudah tahu apakah sebuah gerakan, tokoh, atau kegiatan itu benar-benar merupakan aktivitas yang murni didorong oleh agama dan dakwah atau ada selubung ideologis di baliknya. Hal ini terjadi pada fenomena ketidakpopuleran gerakan dan beberapa tokoh dari gerakan 212, ketika mereka melakukan aktivitas dan memasarkan ide dan gagasan mereka yang terselubung dengan motif ideologis.

Komentar