Oleh: Eko Kuntadhi
Ada berita gorengan baru yang sekarang menyerang Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Berita ini dimulai dari angka statistik yang dibaca secara telanjang, kemudian salah diterjemahkan. Angka ini berkenaan dengan pendapatan perkapita rata-rata penduduk di Jawa Tengah.
Data itu menunjukkan pendapatan perkapita rata-rata penduduk Jawa Tengah tergolong lebih rendah dibanding provinsi lain di pulau Jawa.
DKI misalnya, pendapatan rata-rata perkapitanya Rp274,7 juta setahun. Jawa Timur Rp60 juta setahun, Jabar Rp45 juta setahun, Banten Rp55, Jogjakarta Rp40 juta dan Jateng Rp38,7 juta setahun.
Apakah dengan angka itu bisa dikatakan Jateng sebagai provinsi termiskin di Jawa? Ya belum tentu. Soal angka statistik ini bisa mengaburkan kondisi sebenarnya.
Begini. Pendapatan rata-rata perkapita itu dihitung dari seluruh pendapatan orang di satu daerah dibagi seluruh jumlah penduduk di daerah tersebut.
Misalnya, saya kasih contoh di sebuah kampung bernama kampung Wan Bakul ada 100 orang warganya. 10 orang dari warga di kampung itu orang kaya dengan pendapatan Rp100 juta sebulan, sementara yang 90 lainnya dianggap miskin melarat, pendapatan cuma Rp1 juta sebulan.
Lalu ditanya, berapa pendapatan perkapita atau gaji rerata orang di kampung itu? Jawabannya adalah Rp11 juta per orang per bulan. Terdengar besar, kan? Iya kedengarannya besar.
Coba bandingkan dengan kampung lain, katakanlah namanya kampung Pak Uban. Jumlah penduduknya 100 orang juga. 50 orang pendapatannya Rp5 juta sebulan. Sedangkan 50 orang sisanya pendapatannya cuma Rp3 juta sebulan.
Terus berapa pendapatan perkapita di kampung Pak Uban? Jawabannya Rp4 juta sebulan. Seolah-olah yang pendapatan perkapitanya Rp11 juta sebulan, daerah itu lebih kaya dari pendapatan perkapita kampung Pak Uban yang cuma Rp4 juta sebulan.
Apakah bisa diambil kesimpulan orang di kampung Pak Uban lebih miskin dibanding warga kampung Wan Bakul? Kalau perbandingannnya adalah pendapatan perkapita itu mungkin saja. Tapi kenyataan berkata lain?
Ok, kalau itu angka sebenarnya, kita tanyain sama warga Jakarta yang katanya pendapatan perkapitanya Rp274 juta setahun. Artinya rata-rata orang DKI punya penghasilan Rp22 juta sebulan. Bayangin kalau satu keluarga ada 2 orang anak, plus satu orang istri. Satu keluarga itu kira-kira menurut data statistik, pendapatannya Rp88 juta sebulan.
Nah, saya mau tanya. Coba deh warga DKI ini ya, tanyain sama diri sendiri, tanyain tetangga sebelah, tanyain tetangga kiri-kanan, berapa orang keluarga di DKI Jakarta yang penghasilannya benar-benar Rp88 juta sebulan? Coba tanyain bener gak sih?
Kalau dari 10 keluarga di Jakarta yang kamu tanyakan pendapatannya ternyata di bawah Rp88 juta sebulan, artinya memang kesejahteraan warga DKI tidak bisa digambarkan dari pendapatan perkapita yang ditulis BPS itu atau Badan Pusat Statistik.
Kalau DKI Jakarta pendapatan perkapitanya tinggi, menurut hitungan statistik itu sebenarnya itu wajar. Karena pendapatan perkapita dihitung dari seluruh pendapatan. Bayangin deh seluruh kantor pusat konglomerat ada di Jakarta. BUMN-BUMN besar ada di Jakarta.
Pabrik-pabrik besar kantor pusatnya ada di Jakarta. Misalnya pabrik-pabrik yang berlokasi di Jateng atau di Jabar, misalnya, perhitungan pendapatannya dijadikan pendapatan orang Jakarta. Kenapa? Karena kantor pusat mereka di Jakarta.
Artinya dengan kenyataan itu, penghitungan pendapatan perkapita seorang pengemudi ojeg online di Jakarta otomatis jadi naik, menurut perhitungan, jadi Rp88 juta sebulan. Soal realisasinya dia ngos-ngosan dapatkan Rp4 juta sebulan, itu soal lain. Ini adalah hitungan statistik. Nah itu yang tergambar dalam angka-angka statistik yang kemudian digaung-gaungkan, bahwa Jawa Tengah adalah provinsi termiskin di pulau Jawa.
Gini lagi nih, dalam teori makro ekonomi, kenyataan ini bisa dilihat dari indeks rasio gini. Indeks rasio gini ini menggambarkan kesenjangan pendapatan antar-warganya. Semakin besar angka ini, akan semakin senjang juga pendapatan warga masyarakat di daerah tersebut. Artinya yang kaya makin kaya, yang miskin makin melarat.
Contohnya kayak di kampung Wan Bakul tadi. Dengan perhitungan pendapatan perkapita rata-rata Rp11 juta per orang. Padahal 90 orang penduduk di sana, penghasilan riilnya cuma Rp1 juta. Tapi bisa dibaca sembarangan. Dan kalau kita bacanya seperti itu, angka-angka ini bisa sangat menipu kita.
Di Jakarta, Jabar atau Jatim indeks kesenjangannya mencapai 0,4, rasio gininya mencapai 0,4. Sementara di Jateng indeks kesenjangannya hanya 0,36. Artinya, rata-rata pendapatan di Jawa Tengah, atau pemerataan di Jawa Tengah lebih bagus dibanding di provinsi lain. Indeks kesenjangan itu berpatokan yang paling ekstrem adalah 1.
Jadi kalau ada dua orang, satu berpendapatan Rp100 juta, satu orang lagi gak berpendapatan dihitung pendapatan perkapitanya antara dua orang ini Rp50 juta, seratus dibagi dua. Nah itu angka ekstrem.
Ini juga bisa dibaca kesenjangan pendapatan di Jateng lebih rendah dibanding wilayah-wilayah tadi, atau wilayah-wilayah lain di pulau Jawa.
Contohnya ya itu tadi, kampung Pak Uban memang pendapatannya rata-rata Rp4 juta. Tetapi kesenjangannya ada yang pendapatan Rp5 juta, ada yang berpendapatan 3 juta.
Itu kenyataanya. Penghitungan pendapatan perkapita, sekali lagi gak bisa dijadikan ukuran tingkat kemiskinan.
Lagi pula, pada saat pandemi banyak terjadi PHK di industri-industri di DKI, di Jabar. Dan sebagian buruh yang kena PHK itu pulang ke kampung, kampungnya di Jateng. Otomatis ada penambahan warga di Jateng dan terjadi pengurangan warga di Jakarta dan di Jabar.
Nah, soal penambahan penduduk ini akan menjadi beban pembagi atau menjadi penambahan angka pembagi tadi. Jadi wajar saja jika angka pendapatan perkapita rata-rata di Jateng semakin kecil, karena penduduknya semakin banyak.
Yang ingin saya sampaikan, jika mau mengukur kinerja seorang kepala daerah, ukurannya mestinya dari berapa besar peningkatan kesejahteraan yang dia raih di daerahnya setelah dia memegang tampuk kepemimpinan.
Nah ini contoh ya, pada tahun 2021 misalnya, Ganjar Pranowo sebagai gubernur Jawa Tengah berhasil menurunkan jumlah rakyat miskin di daerahnya sebesar 0,54%. Bandingkan misalnya dengan Anies di Jakarta yang hanya berhasil menurunkan penduduk miskin di daerahnya 0,06%. Atau di Jabar yang hanya berhasil menurunkan 0,043%.
Itu saja sudah menggambarkan bahwa tingkat kesejahteraan rata-rata masyarakat di Jateng mulai merata. Orang miskinnya makin berkurang sangat banyak.
Atau coba kita lihat angka pertumbuhan ekonomi di Jateng. Dari 2016 sampai 2019 angka pertumbuhan ekonomi di Jateng itu ada di atas rata-rata nasional. Setelah agak drop pada tahun 2020 karena pandemi, pada 2021 pertumbuhan ekonomi di Jateng sudah naik lagi jadi 3,32%. Sementara di tahun yang sama Jakarta angkanya hanya 2,36%.
Sebetulnya inti dari persoalan angka-angka ini begini. Jika yang didorong adalah industri skala besar, yang didorong oleh pemerintahnya industri skala besar, memang akan terjadi pelonjakan pendapatan di satu daerah. Tapi kalau cuma itu berisiko pada terjadinya kesenjangan pendapatan.
Beda kalau pemerintahnya mendorong usaha-usaha skala kecil, pertanian, usaha-usaha mikro, angka pendapatan perkapitanya mungkin tidak melonjak drastis. Tetapi kesejahteraannya dinikmati oleh sebagian besar warganya.
Saya ingin menggambarkan satu perbandingan saja soal kinerja gubernur Jawa Tengah dan DKI misalnya. Di Jakarta Gubernurnya gembar-gembor dengan program rumah DP 0%. Dijadikan program unggulan. Diteriakkan di mana-mana.
Berapa besar realisasinya program itu selama hampir 5 tahun ini? Dari target 200.000 rumah atau 200.000 unit rumah, yang terealiasi cuma 0,6% atau cuma sekitar 1.000 unit rumah saja. Itu pun realisasinya sampai terseret-seret KPK dalam pengadaan tanahnya. Padahal itu adalah program unggulan yang digembar-gemborkan di mana-mana.
Bandingkan sama gubernur Jateng, Ganjar Pranowo, sejak menjabat sebagai gubernur ia sudah menjalankan program perbaikan rumah warganya. Selama 8 tahun masa kepemimpinannya lebih dari 1 juta unit rumah di Jateng yang sudah diperbaiki oleh Ganjar Pranowo.
Tanpa gembar-gembor. Tanpa ada urusan sama KPK. Tanpa banyak cingcong juga.
Jadi saya lebih menilai kualitas seorang pemimpin yang bekerja tanpa banyak omong, tapi realisasinya nyata buat masyarakat. Gak gembar-gembor sebakul, hasilnya nyata. Ketimbang gede bacot doang prestasinya memble.
Angka-angka itu bisa sangat menipu. Wajar kalau Jakarta angkanya meningkat pesat, wong Jakarta dari dulu sebagai pusat ekonomi nasional. Tapi membaca tingkat kesejahteraan masyarakat gak cukup kalau melihat dari angka-angka pendapatan perkapita. Kita bisa melihat dari sisi-sisi yang lainnya.