INDONESIA BUKAN NEGARA AGAMA, ABAIKAN SAJA KOMENTAR MUI SOAL AYU TING-TING

Oleh: Syafiq Hasyim.

Salah seorang pengurus MUI meributkan penampilan Ayu Ting Ting. Tentu, ini bikin heboh karena argumen yang dipakai oleh pengurus MUI ini adalah mempersoalkan status Ayu Ting Ting yang janda. Penampilannya di TV dianggap menjurus. Dengan kata lain, Ayu Ting Ting dianggap mengekploitasi status kejandaannya. Karenanya Elvi Hudriyah, Wakil Sekretaris Infokom MUI minta kepada KPI agar acara Ayu Ting Ting dihentikan.

Kali ini saya akan memberikan catatan pada permintaan Elvi Hudriyah, kedudukannya sebagai pengurus MUI, kepada KPI agar acara Ayu Ting Ting dihentikan. Selain itu saya juga memberi catatan argumen yang digunakan oleh Elvi untuk meminta Ayu Ting Ting dihentikan siarannya. Dalam hal ini Elvi menggunakan argumen yang berkaitan dengan moral dan agama.

Saya perlu jelaskan di sini, MUI adalah organisasi yang kompleks. Para anggota pengurusnya berlatarbelakang dan memiliki jalan pikiran berbeda-beda dan macam-macam. Apa yang dilontarkan oleh para pengurus itu belum tentu apa yang menjadi keputusan lembaga atau organisasi MUI. Si pengurus A misalnya mengatakan ini dan itu, ketika ditanya oleh media, namun ingat, itu belum tentu menjadi keputusan MUI secara lembaga.

Jika misalnya urusan fatwa, jika si pengurus MUI mengatakan hukum ini dan itu dilarang atau lainnya, maka jika itu tidak didasarkan kepada keputusan lembaga fatwa yang resmi, maka fatwa itu tidak resmi dimunculkan oleh MUI sebagai lembaga, namun oleh pengurusnya saja.

Jika dalam kasus Ayu Ting Ting, permintaan Elvi Hudriyah ini bukan keputusan bidang Infokom MUI, maka itu adalah pernyataan pribadi Elvi, bukan pernyataan lembaga MUI. Namun sebaliknya, jika keputusan itu dinyatakan oleh bidang infokom melalui rapat mereka, maka permintaan Elvi itu memang bisa dikatakan sebagai permintaan MUI sebagai lembaga.

Jelas di sini, kita harus memisahkan apa yang diminta oleh lembaga individual MUI dan apa yang diminta oleh lembaga MUI itu sendiri.

Kita sering tidak bisa memisahkan apa yang diminta secara resmi oleh MUI dan oleh pengurusnya. Keduanya berbeda. Pendapat pengurus MUI bukan berarti pendapat MUI. Untuk tahu mana pendapat pribadi pengurus MUI dan pendapat lembaga MUI, maka kita bisa melihatnya apakah itu memang sudah menjadi keputusan lembaga MUI. Hal ini sebenarnya gampang, namun seringkali berita di media membuat kabur antara pendapat pribadi pengurus MUI dan pendapat MUI sebagai lembaga.

Satu catatan lagi, jika itu memang pendapat pribadi, maka si pengurus tidak boleh mengatasnamakan pendapatnya sebagai produk keputusan MUI. Jika ada pengurus yang melakukan itu, maka itu bisa dianggap sebagai memanfaatkan lembaga MUI untuk pandangan pribadinya. Jelas ini menyalahi etika dan aturan organisasi. Jika MUI peka pada masalah ini, maka sebenarnya MUI bisa memberikan semacam teguran pada para pengurusnya yang seringkali menggunakan lembaga MUI sebagai tameng, karena ini bisa merugikan kredibilitas kelembagaan MUI itu sendiri.

Saya ingin mengatakan, jika permintaan lembaga MUI dalam bentuk fatwa atau rekomendasi, itu saja bisa tidak diikuti, kecuali itu sudah menjadi UU, apalagi jika permintaan itu hanya diminta oleh pengurus MUI. Jika pihak pemerintah atau lembaga publik lainnya menuruti saja apa yang dimintakan oleh MUI atau pengurusnya, maka hal itu yang harus dipertanyakan.

Saya harus menjelaskan di sini soal implikasi jika lembaga negara, pemerintah atau lembaga publik lainnya harus mengikuti pada setiap apa yang dimintakan oleh MUI. Apalagi jika permintaan itu menyangkut pada hak-hak dasar pihak lain. Pertama, sebagai ormas keagamaan yang tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum, bukan bagian dari negara, MUI bisa memberikan pertimbangan, nasehat, pendapat hukum, dlsb, namun seluruh lembaga resmi, baik negara maupun publik tidak harus menerima, menuruti dan melaksanakan semua itu.

Kedua, jika lembaga pemerintah, negara dan publik, menerima permintaan MUI, maka itu bisa menjadi indikasi MUI sebagai polisi moral. Dan jika ada kesan seperti itu, maka tidak baik bagi citra pemerintahan Jokowi di mana ada kontrol yang seolah-olah tidak bisa ditolak dari lembaga moral dan agama pada perilaku masyarakat. Bahkan mungkin perilaku negara. Banyak kasus yang diberi peringatan, fatwa MUI dan juga rekomendasi MUI atau oleh pengurus MUI bukan kasus yang berkaitan dengan pelanggaran pada hukum, tapi lebih berkaitan pada soal moralitas publik yang dipegang oleh lembaga keagamaan seperti MUI ini.

Kasus yang dialami Ayu Ting Ting adalah kasus yang sering bisa disebut dengan istilah kasus “public morality.” Di negara-negara di mana demokrasi tidak begitu berjalan, public morality biasanya menjadi hal yang paling mudah digunakan untuk mengontrol hak-hak masyarakat sipil, hak-hak warga negara. Sudah barang tentu, pada zaman sekarang ini, zaman pemerintahan Jokowi, hal seperti ini tidak perlu terjadi lagi.

Karenanya permintaan pengurus MUI kepada KPI untuk menghentikan Ayu Ting Ting dengan alasan moralitas publik di atas selayaknya tidak perlu direspons oleh KPI.

Sebenarnya masalah menguatkan pengawasan organisasi agama seperti MUI yang memakai perangkat moralitas publik ini tidak hanya terkait pada kasus Ayu Ting Ting, namun juga terjadi pada kasus-kasus yang lain. Kebanyakan masyarakat menganggap itu baik-baik saja, padahal dalam konteks Indonesia sebagai negara demokratis, kontrol terbesar harus menjadi porsi hukum negara yang berlaku secara resmi.

Ya, kita tidak bisa memberlakukan terlalu lama pada penggunaan moralitas publik sebagai alat kontrol pada kehidupan masyarakat dan apalagi negara. Moralitas publik itu harusnya berfungsi sebagai pertimbangan atau maksimalnya kritik saja, bukan sebagai kekuatan yang mengikat secara hukum.

Namun kelemahan terkadang berada pada aparatus negara, penjaga lembaga publik atau pihak lain, di mana mereka mudah tergoyah dan menurut saja jika ditekan dengan landasan moral dan agama. Katakanlah sebagai misal, KPI, dalam kasus permintaan pengurus MUI atau MUI sendiri, agar program Ayu Ting Ting dihentikan karena melanggar agama dan moral, maka posisi KPI menjadi gamang. Jika menolak, mereka takut dikatakan amoral dan tidak mau mendengar suara agama. Tapi jika diterima, mereka tahu bahwa itu tindakan yang tidak proper, karena Ayu Ting Ting tidak melanggar apapun dalam perspektif hukum dan mungkin bahkan kebudayaan.

Sebagai catatan, permintaan-permintaan seperti yang dilakukan oleh pengurus MUI pada lembaga publik, negara dan pemerintahan sebaiknya perlu didengar, namun tidak dilaksanakan. Lembaga-lembaga resmi negara dan publik jika mendapat permintaan dari MUI ataupun pengurusnya, maka mereka tidak memiliki kewajiban menerimanya dan melaksanakannya.

Komentar