Oleh: Syafiq Hasyim
Berita di sosial media tentang seorang tokoh politik yang dikabarkan memberikan sumbangan kepada kelompok yang diduga organisasi teroris, sungguh mengejutkan. Bagaimana bisa, seorang tokoh yang seharusnya hati-hati untuk tidak terlibat dalam tindakan terorisme atau gerakan teroris itu, malah diberitakan memberikan sumbangan pada organisasi teroris.
Ingat terorisme itu bukan kejahatan biasa. Terorisme itu kejahatan kemanusiaan yang dilarang oleh semua negara di dunia ini dan juga dilarang oleh semua agama, karena dampak yang tidak hanya merugikan, tapi mematikan pada pihak lain.
Dalam catatan kali ini saya ingin menyoroti bagaimana terorisme dan ekstremisme keagamaan di Indonesia tidak akan mati jika “enabling environment” (lingkungan yang memungkinkan) itu masih mendukung. Soal si tokoh politik yang diduga memberikan sumbangan pada organisasi teroris, sebagaimana diberitakan oleh media, biarlah menjadi urusan pihak yang berwenang. Jika bukti cukup, pasti akan ditangani.
Kembali pada pernyataan saya di atas, “lingkungan yang mendukung” yang saya maksudkan di sini adalah lingkungan sosial, politik, budaya dan bahkan keagamaan. Dukungan lingkungan itu tidak harus besar dan menyeluruh. Misal dari 100 persen, jika ada katakanlah 5 persen atau lebih kecil lagi bahkan yang mendukung, namun jika itu dukungannya nyata, maka itu sudah bisa disebut sebagai lingkungan yang mendukung.
Dan memang, di dalam banyak kasus di banyak negara, terorisme atau ekstremisme keagamaan tidak memerlukan dukungan lingkungan yang 100 persen. Hal ini sesuai dengan karakter gerakan terorisme dan ekstremisme yang memang tidak akan bisa didukung oleh banyak kalangan. Hampir tidak ada di dunia ini yang mendukung gerakan teror, meskipun gerakan teror itu dilakukan oleh orang yang suci maupun oleh orang yang soleh.
Untuk soal terorisme dan ekstremisme yang masih ada, maka kita jangan meremehkan sekecil apapun mereka dan juga pihak atau lingkungan yang mereka mendukungnya. Kita masih ingat, mereka, gerakan terorisme dan ekstremisme keagamaan bertahan dengan uang kenclengan yang dikumpulkan oleh para pendukungnya. Ini bukan hal yang tidak nyata, namun kita temukan banyak kasusnya dalam kehidupan kita sehari-hari di Indonesia.
Terorisme atau ekstremisme keagamaan itu sendiri juga bukan kelompok yang statis dan hanya terpaku pada hal-hal yang sifatnya ideologis. Untuk mempertahankan gerakannya, mereka juga harus memikirkan model dan memikirkan strategi. Mereka akan terus berstrategi untuk tujuan yang akan mereka wujudkan.
Dulu kelompok teroris dan ekstremis bersikap anti untuk bergabung ke dalam organisasi keagamaan yang sifatnya resmi. Mereka memilih jalan clandestine, menghindari dari hiruk-pikuk manusia dan interaksi dengan pihak di luar kelompok mereka.
Namun strategi itu ternyata terpatahkan setelah ketahuan seorang simpatisan Jamaah Islamiyah tertangkap oleh Densus 88 dan dia sudah lama bergabung dengan Majelis Ulama Indonesia. Lalu, beberapa waktu yang lalu, dua pengurus MUI di Bengkulu juga ditangkap oleh Densus 88, karena mereka diduga terlibat dalam jaringan terorisme internasional juga. Hal ini semakin mengukuhkan asumsi saya tentang perubahan strategi perjuangan mereka.
Saya kira, mereka juga akan mencoba strategi yang lain. Mereka, dalam menjalankan misinya, juga harus bisa menjadi manusia biasa. Manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakat, manusia yang berbicara dengan tetangga dan temannya, manusia yang tidak mengucilkan diri, dan manusia yang berprofesi. Jika itu dianggap menguntungkan bagi gerakan mereka, mengapa hal itu tidak mereka lakukan.
Beberapa hari lalu, Densus 88 menangkap seorang dokter. Dokter ini oleh kolega dan juga kantor terkait dengannya dianggap sebagai dokter yang biasa saja. Artinya, dia berpraktik sebagai dokter dalam kesehariannya. Bahkan masyarakat sekitar dan juga kawan-kawan sejawatnya pasti tidak menduga jika dia akhirnya ditangkap oleh Densus 88. Bahkan ketika ditangkap, dokter Sunardi ini melakukan perlawanan terhadap Densus 88, sehingga Densus 88 terpaksa untuk membalasnya. Akhirnya Dokter Sunardi tewas.
Dalam konteks dokter Sunardi ini, sebagaimana juga dengan terduga teroris yang bergabung dengan MUI, atau organisasi yang lain, kita bisa menyebut mereka sedang berada dalam perubahan besar strategi mereka. Kita sebagaimana manusia biasa, yang tidak mempelajari secara mendalam akan gerakan terorisme dan esktremisme, akan menganggap tidak apa-apa. Atau hal semacam itu dianggap sebagai hal yang biasa, tidak terkait dengan gerakan terorisme maupun ekstremisme keagamaan.
Sikap kita dan masyarakat kita yang permisif dan bahkan membela pada aktor terorisme dan ekstremisme yang tercokok oleh Densus 88 adalah masuk dalam kategori “enabling environment” untuk gerakan terorisme dan ekstremisme keagamaan.
Tidak mungkin Densus 88 menangkap begitu saja. Tidak mungkin Densus 88 menangkap orang biasa saja. Pasti sebuah penangkapan didasarkan pada informasi dan data yang solid akan pihak yang ditangkap.
Jika Densus 88 menangkap orang biasa, orang yang tidak ada indikasi ke arah terorisme dan ekstremisme, berapa banyak orang biasa yang harus ditangkap oleh Densus 88.
Karena kesadaran kita akan terorisme dan ekstremisme ini pasti akan terus tertinggal dari pihak yang memang terus mengamati dan mempelajari gerakan mereka, maka sikap yang bijak bagi kita adalah untuk berhati-hati dalam memberikan komentar dan respons atas aktor terorisme yang tertangkap.
Hal ini bukan berarti kita menutup mata dari kemungkinan terjadinya peristiwa salah tangkap orang, dlsb, namun respons atau komentar kita yang tanpa data dan informasi yang memadai justru akan berakibat pada perlemahan, paling tidak pada tingkat diskursus masyarakat, posisi pihak yang memang memiliki tugas dan kewajiban menangkap para teroris ini.
Bahkan respons dan komentar yang nyinyir pada setiap peristiwa penangkapan orang yang diduga kuat sebagai teroris itu bisa menunjukkan pada permisivitas kita. Dan akhirnya sikap itu akan juga digunakan oleh teroris yang masih aktif beroperasi sebagai bukti bahwa mereka masih ada dukungan di dalam masyarakat.
Atas dasar ini saya berpikir tokoh politik sekaliber Fazli Zon ada baiknya untuk berhati-hati memberikan respons dan komentar peristiwa-peristiwa penangkapan terduga teroris. Respons dan komentarnya yang cenderung simpati pada pihak terduga teroris itu bisa dianggap oleh teroris yang benar sebagai enabling environment atau lingkungan yang mendukung dan memungkinkan terjadinya terorisme. Dan ini tidak hanya merugikan tokoh politik terkait, namun juga merugikan kita semua.
Sebagai catatan, berbaik sangka pada teroris yang tertangkap menurut saya adalah tindakan buruk dan merugikan. Mari kita lihat setiap peristiwa penangkapan terduga terorisme pada akibat tindakan yang mereka lakukan. Aspek manusianya boleh kita lihat, namun jangan sampai hal ini melupakan tindakan mereka.