Oleh: Eko Kuntadhi
Seminggu kemarin kayaknya kita sudah capek menertawakan Fikri Bareno. Ada temen saya yang kram mulutnya gara-gara kebanyakan ketawa. Fikri ini korlap demo 212, dia sholat di atas mobil komando yang mobilnya mirip kayak penjual tahu bulat digoreng dadakan itu. Yang lucu apa? Sholatnya itu lho, lucu. Habis rukuk, eh, dia rukuk lagi.
Padahal ketika para pendemo itu sholat di jalanan, kan sebetulnya mereka ingin show. Ingin memperlihatkan kepada publik betapa beragamanya mereka. Ingin dilihat sebagai orang beragama. Tapi gara-gara Fikri akhirnya malah jadi tertawaan.
Jadi seminggu kemarin kita ramai-ramai menertawakan para peserta demo 212 di departemen agama itu.
Kita sih bukan menertawakan orang sholat. Tapi menertawakan ulah Fikri yang ternyata gak bisa melakukan gerakan sembahyang yang benar.
Dia sih, beralasan karena waktu itu dia gak dengar suara imam. Makanya habis rukuk trus rukuk lagi. Busyet deh. Wong sebelah Fikri kan pada saat itu ada muadzin yang bergaya lipsing sambil meneriakkan komando imam misalnya, Allahu akbar, sami’allahu liman hamidah dengan speaker. Masa Fikri gak dengar?
Tapi sudahlah. Kita berterima kasih sama Fikri karena dia sudah membongkar kedoknya sendiri, dengan cara sholat di atas mobil komando itu. Gerombolan yang mengaku beragama tersebut. Mau demo bela agama. Tapi ternyata ibadah yang paling dasar saja, kok gerakannya melintir seperti itu.
Ada sih yang lebih lucu. Kalau Fikri ini cuma sekadar laskar pemimpin demo, rasanya kita gak terlalu kaget ketika dia sholatnya kayak gitu. Masalahnya selain korlap demo, ternyata Fikri ini adalah pengurus MUI Pusat, posisinya Wakil Ketua bidang Pengembangan Ekonomi Umat.
Tahu dong singkatan dari MUI, Majelis Ulama Indonesia.
Orang lalu bertanya, kok pengurus MUI kayak gitu?
Jangan heran sih. Selain orang model Fikri yang bergaya lucu tersebut. Di MUI ini ada juga pengurus yang jadi tersangka teroris. Baru saja kemarin ditangkap Densus 88.
Sementara MUI Jakarta misalnya malah siap jadi buzzer-nya Anies Baswedan di medsos. Wajar, karena dia atau mereka baru saja menerima dana bantuan dari Pemda DKI. Jumlahnya ya lumayan, miliaran rupiah juga.
Iya sih, ormas ini memang sekarang sedang lucu-lucunya. Mereka yang paling keras berteriak soal agama, ternyata kelakuan pengurusnya begitu. Bikin kita senyum-senyum sendiri melihat tingkah polah mereka.
Selain itu, Fikri sendiri menyatakan dirinya sebagai buya. Buya biasanya, panggilan ini disematkan kepada seorang ahli agama, ada Buya Hamka. Bisa juga sebagai orang yang dituakan atau ayah.
Pada website Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI), nama Fikri tercantum sebagai petinggi di sana. Lengkap. Buya Dr. Kiai Haji, Fikri Bareno M.Ag., SE., MBA, dll.
Di depan namanya ada gelar Kiai Haji. Ada juga gelar doctor dan M.Ag. M.Ag. ini maksudnya magister agama. Jadi dia orang yang memang serius belajar agama. Bukan Magister Alam Gaib. Tapi kita gak tahu juga melihat kejadian kayak gitu.
Pada kali lain, fikri menuliskan gelarnya sebagai MBA. Kali lain lagi ia memakai gelar doktorandus.
Tapi coba deh, telusuri gelar-gelar tersebut yang digunakan Fikri Bareno di websitenya dikti, Kementerian Pendidikan Republik Indonesia. Ternyata gak ada tuh nama orang yang bernama Fikri Bareno punya gelar doctor, MBA., atau M. Ag.
Entahlah, mungkin saja itu semua bukan gelar akademik. Itu semua sekadar nama alias atau nama panggilan. Kayak buya atau Kiai Haji seperti itu. Jadi gelar-gelar itu diambil entah dari mana diceplokin aja cepluk gitu.
Kita tahu, pemakaian gelar akdemik sebetulnya ada aturannya di Indonesia. Memalsukan gelar akademik adalah tindakan pidana.
Tapi Fikri adalah pengurus MUI. Pengurus Majelis Ulama. Kalau dikenakan tindakan pidana nanti isunya kriminalisasi ulama. Kan lucu. Mau gelar akademiknya berderet diambil entah dari mana, mau pake nama Kiai Haji, sebetulnya ya bebas-bebas saja. Wong Fikri adalah pengurus MUI. Kalau MUI ya bebas…
Fikri juga pengurus teras PDRI. Dan kita tahu Ketua PDRI Farid Okbah kemarin ditangkap Densus 88 dengan sangkaan teroris. Fikri bergabung di partai itu. Fikri bergabung dengan partainya Farid Okbah atau orang tersangka teroris. Tapi sekali lagi, semua itu bukan masalah buat Fikri. Dia kan pengurus MUI.
Pengurus MUI mungkin posisinya setara dengan alumni 212. Bisa berbuat dan berteriak apa saja. Bebas. Sebab mereka merasa mewakili Tuhan di muka bumi.
Kalau orang-orang 212 iseng, mereka biasanya mencari-cari isu untuk demonstrasi.
“Udah lama nih gak demonstrasi? Iseng banget.”
Mereka berusaha keras selalu ingin mengulang demonstrasi besar tragedi pilkada brutal di DKI, yaitu pilkada zamannya Ahok dan Anies. Makanya oleh teman-teman 212 ini semua orang mau di-Ahok-kan. Kemarin Menteri Agama Gus Yaqut yang mau ditumbalkan seperti Ahok pada pilkada kemarin.
Kalau kita perhatikan, gerombolan ini selalu saja membelokkan isu dengan narasi yang seragam. Narasinya sama. Dikit-dikit penistaan agama. Dikit-dikit penistaan agama. Semua dikait-kaitkan dengan penistaan agama.
Mungkin inilah sebuah penyakit yang dikenal orang dengan istilah penisphobia. Atau orang yang keranjingan membawa isu penistaan agama dalam berbagai kasus. Dalam kasus-kasus yang bahkan gak ada hubungannya, langsung saja penistaan agama. Saya agak kasihan kepada para penderita penisphobia seperti ini.