Oleh: Eko Kuntadhi
Saya sih sudah memprediksi sejak awal, isu ibukota baru akan menjadi salah satu yang paling seksi menjelang Pemilu 2024. Inilah salah satu legacy penting yang ditinggalkan Jokowi yang akan mengubah wajah Indonesia ke depannya.
Justru karena perpindahan ibukota ini merupakan langkah besar, para penentang dan kaum oposisi akan menjadikan isu perpindahan ibukota ini sebagai target serangan. Kita lihat saja sekarang, PKS ngotot tidak setuju dengan langkah besar ini. Di DPR mereka keras menolak UU tentang ibukota baru yang sedang dibahas.
Mulai dari menolak seluruh proses perpindahannya, sampai dengan menolak nama Nusantara yang diusulkan sebagai nama ibukota baru. Kalau nanti ini selesai, orang akan nanya, ibukota Indonesia apa? Nusantara.
Mungkin ya, ini kalau mungkin lho, kalau nama ibukotanya khilafah Nusantara mungkin PKS akan setuju. Saya gak tahu.
Sebetulnya wajar kalau PKS menolak ibukota baru, karena Indonesia hanya menganut sistem satu ibukota. Jadi kalau ibukota pindah, artinya Jakarta tidak lagi menjadi ibukota negara Indonesia.
Mungkin di mata PKS, kan Indonesia bisa punya dua ibukota, tiga ibukota atau maksimal empat ibukota. Masa iya, negara mau berpoligami kayak gitu? Punya ibukota banyak?
Bukan itu sih, alasannya yang diajukan PKS. Tetapi mereka memang menentang apa saja yang dikerjakan atau diputuskan oleh Presiden Jokowi. Mereka lebih suka membangun sumur resapan ketimbang memindahkan ibukota yang dampak ekonominya akan jauh lebih besar.
Sebetulnya kalau hanya perpindahan secara fisik doang, Indonesia sudah punya pengalaman yang cukup banyak. Kita tidak perlu khawatir berlebihan dengan proses perpindahan fisik. Kita tahu bagaimana para pengembang besar membangun sebuah kawasan baru mulai dari nol?
Coba lihat deh, kita Tangerang punya BSD, Bintaro Jaya, ada Karawaci. Ada juga Pantai Indah Kapuk. Semua itu tadinya kawasan perkampungan biasa dengan nilai ekonomi yang rendah. Tetapi kemudian bisa disulap menjadi sebuah lingkungan dengan infrastruktur dan sistem ekonomi yang lengkap. Otomatis nilainya jadi melesat sekarang. Tanah di BSD dulu dibanding sekarang itu mungkin bisa sepuluh-lima puluh kali lipat.
Pengembangan kawasan ini mau tidak mau akan menarik geliat ekonomi di sekitarnya. Berbagai kawasan baru seperti BSD, PIK dan lain-lain ini menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru yang kemudian berimbas ke sekitarnya
Nah, pengembangan ibukota ini juga akan begitu. Dengan dampak yang lebih luas dibanding sekadar pengembangan sebuah kawasan pemukiman.
Posisi ibukota baru yang berada di tengah Indonesia akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi untuk wilayah Indonesia bagian timur. Apalagi nanti pemimpinnya yang akan menjadi komandan di ibukota baru bukan orang sekelas Anies Baswedan. Tapi akan sekualitas Ahok, misalnya.
Ada yang jauh lebih penting dari sekadar perpindahan fisik menurut saya. Dengan ibukota baru diperkirakan ada ratusan ribu sampai satu juta ASN yang akan ikut boyongan menempati tempat baru mereka nantinya. Mereka akan bekerja dengan suasana baru dan sistem yang mungkin baru. Mencoba membangun budaya baru.
Perpindahan itu adalah kesempatan ulang untuk menginstall ulang lagi kerja birokrasi pemerintahan yang memang dari dulu sering menjadi masalah.
Saya membayangkan akan ada ratusan ribu ASN yang memilih pensiun dini di Jakarta ketimbang harus mengadu nasib di tempat yang baru nanti. Perkiraan saya nih mereka-mereka yang memilih pensiun dini adalah ASN-ASN senior yang sudah kerasan dengan kualitas hidup di Jakarta.
Sementara pegawai-pegawai negeri yang masih muda-muda dengan gairah kerja yang masih meluap akan memilih ikut boyongan ke sana. Meniti karier barunya. Membangun hidup baru di sebuah kawasan ibukota yang baru. Sekaligus menjadi pionir pelayanan masyarakat di tempat tersebut.
Inilah kesempatan besar untuk membenahi dan mengubah budaya birokrasi kita yang sering menjadi faktor penghambat sekarang. Kita sudah lama dengar mental birokrasi yang korup, lelet, ruwet dan kalau minta pelayanan bikin naik darah. Karena di setiap meja, di setiap tanda tangan kudu ada amplop.
Kualitas pelayanan publik yang rendah adalah masalah serius yang menjadi kendala kemajuan Indonesia.
Karena penyakit birokrasi ini dibiarkan terlalu lama, didiemin, gak ada perubahan, akhirnya susah jika hanya dibenahi dengan satu-dua perubahan peraturan. Perlu langkah yang sangat besar untuk mengubah mentalitas birokrasi, untuk mengubah cara kerja pegawai negeri, untuk mengubah orientasi hasil yang kemudian menjadi nilai-nilai pelayanan publik bagi pegawai negeri.
Perubahan besar budaya dan kinerja birokrasi di pusat pemerintahan ini, mau tidak mau akan ikut mempengaruhi perubahan birokrasi di daerah.
Jadi di mata saya, perpindahan ibukota baru ini merupakan kerja revolusioner untuk masa depan Indonesia. Ini langkah besar bagi Indonesia untuk melepaskan diri dari jebakan negara berpendapatan menengah, melompat menjadi negara berpendapatan tinggi.
Masalahnya, langkah besar ini tidak bisa dilakukan dengan waktu yang singkat. Sementara kita tahu usia pemerintahan Pak Jokowi akan berakhir pada 2024.
Inilah menurut saya, salah satu alasan penting kenapa Indonesia membutuhkan pengganti Jokowi yang memahami kerja besar ini. Meneruskan sebuah langkah revolusi pembangunan.
Kalau bicara soal kerja, kayaknya orang kayak Anies Baswedan tidak cocok memimpin sebuah perubahan yang butuh keringat dan keterampilan manajemen. Sebab nanti seluruh proses perpindahan ibukota perlu kerja yang serius. Bukan hanya pandai berkata-kata.
Sementara orang sekualitas Prabowo juga rasa-rasanya sudah terlalu tuir untuk memimpin proses perubahan besar. Prabowo dibesarkan di alam Orde Baru yang justru pada saat itu adalah cikal bakal rusaknya birokrasi, nyaman dengan kondisi yang ada.
Saya sih meyakini orang sekualitas Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, adalah figur yang paling pas untuk meneruskan gerak revolusi yang dicetuskan oleh seorang Jokowi ini. Kemampuan Ganjar misalnya mengubah kerja dan mentalitas birokrasi di Jawa Tengah adalah salah satu buktinya.
Kita butuh seorang yang bisa memegang tongkat estafet kepemimpinan pak Jokowi agar Indonesia tidak kembali lagi ke titik nol, agar bergerak terus ke depan. Hari ini Indonesia sedang bergerak. Sedang berubah menuju kemajuan. Kita juga akan ikut menentukan, apakah gerak ini berhasil atau malah berbalik lagi ke belakang.
Kita akan balik ke belakang kalau salah memilih pengganti Jokowi, dan kita akan bergerak terus ke depan menuju kemajuan kalau kita memilih orang yang tepat.