Oleh: Denny Siregar
Sejak kecil kita mengenal Ibukota Indonesia adalah Jakarta. Karena konsep itulah, lebih dari 90 persen ekonomi kita berputar di Jakarta. Jakarta bukan hanya menjadi Ibukota saja, tapi juga menjadi pusat segalanya, mulai bisnis, keuangan, sampai perfilman. Semua hanya berputar di Jakarta dan kembali ke Jakarta. Semua pusat usaha perusahaan besar pun ada di Jakarta. Kota-kota lain dianggap sebagai “daerah”, beda sama Jakarta yang dianggap hanya sebagai kota besar satu-satunya di Indonesia.
Inilah sebenarnya yang disebut dengan ketidakadilan. Sejak awal, pemerintah pusat kita tidak pernah membagi ruang kepada pemerintah daerah untuk benar-benar mengembangkan ekonominya berdasarkan wilayah. Beda dengan Amerika misalnya, yang membagi ruang ekonominya per wilayah berdasarkan kebutuhan mereka. Contohnya, untuk berjudi silakan ke Las Vegas di Nevada. Mau bikin film, silakan ke Hollywood di California. Mau bikin startup, silakan di Silicon Valley juga di California. Pusat keuangannya di Wall Street, New York. Semua benar-benar ditata, dan infrastrukturnya dibangun sesuai dengan kebutuhan.
Indonesia ini beda. Mau bikin startup, ya di Jakarta. Mau bikin film, di Jakarta juga. Mau bikin apapun pasti di Jakarta. Daerah lain hanya sebagai satelit saja, sebagai cabang, bukan sebagai pengambil keputusan apapun.
Karena itulah, sejak awal, saya mendukung sekali ketika Jokowi punya inisiatif untuk memindahkan Ibukota keluar dari Jakarta. Gak penting mau di mana, tapi harus segera dipindahkan. Jakarta ini sudah penuh sesak, segala rupa tumplek-blek di sani. Ekonomi jadi tidak merata. Ada yang kaya raya, ada juga yang miskin dan tertinggal. Ada yang penuh dengan gedung tinggi menjulang, ada juga yang cuma penuh dengan alang-alang.
Perpindahan Ibukota memang mahal harganya, tapi dampak ekonominya itu jauh lebih besar. Bayangkan, ketika Ibukota negara pindah dari Jakarta ke Kalimantan Timur, diperkirakan ada 180 ribu ASN yang juga akan ikut pindah. Perpindahan begitu banyaknya manusia ke sebuah daerah baru akan meningkatkan ekonomi di sekitar wilayah itu.
Pariwisata tumbuh, rumah makan muncul, hotel-hotel dibangun dan banyak lagi. Biaya untuk membangun sebuah Ibukota baru itu dimasukkan sebagai modal, sebuah investasi, yang pengembaliannya diperhitungkan dengan konsep multiplier effect. Jadi perpindahan sebuah Ibukota ke daerah lain bukan hanya berhubungan dengan faktor “kebanggaan sebuah daerah” saja, tetapi dampak terbesarnya tentu ekonomi.
Ada pertanyaan lagi, apa layak sih kita harus keluarkan ribuan triliun rupiah untuk bangun sebuah kota baru, sesudah kita rugi besar habis dihajar pandemi?
Pada saat pandemi, seperti halnya banyak negara, ekonomi Indonesia memang lagi acak-acakan ekonominya. Menurut Menteri Keuangan, Indonesia rugi hampir Rp2 ribu triliun di masa pandemi. Tetapi kerugian itu kan gak bisa didiamkan begitu saja.
Justru ketika ekonomi sedang terhambat karena ada kejadian yang luar biasa, pembangunan harus terus dijalankan, kalau bisa sebesar-besarnya. Pembangunan itu berhubungan dengan penyerapan tenaga kerja.
Ratusan ribu tenaga kerja itu harus cari makan. Ketika mereka punya pendapatan, punya pekerjaan, maka pendapatan ini akan berputar juga ke sektor ekonomi lain. Mereka bisa ngekost, mereka bisa tetap beli makan di warteg, mereka tetap bisa gunakan transportasi. Jangan malah ketika pandemi, ekonomi kita berhenti dengan alasan penghematan. Justru harus semakin kencang digelontorkan uang negara untuk pembangunan.
Ekonomi sebuah negara itu ibarat aliran darah di dalam tubuh kita yang harus mengalir terus menerus. Kalau berhenti, pasti tubuh kita mati. Seandainya kapasitas darah kita berkurang, manusia butuh transfusi darah. Begitu juga ekonomi dalam sebuah negara. Ketika dihajar oleh pandemi, kita harus berutang. Dan utang ini harus disalurkan dalam bentuk pembangunan, supaya tercipta lapangan pekerjaan, supaya serapan tenaga kerja terjaga, dan saluran ekonomi ke masyarakat sekitar tetap bisa berjalan.
Lagian, untuk membangun Ibukota baru, kita juga gak bergantung sepenuhnya dari uang negara. Kalaupun ada uang negara yang dipakai, itu buat modal awal supaya mengundang investasi asing masuk. Dan investor asing pertama yang mau masuk adalah dari negara Uni Emirat Arab. Mereka mau memasukkan uang sebesar Rp145 triliun untuk pembangunan Ibukota baru. Dan masuknya UEA ini juga akan mengundang investor dari negara lain, karena karakter investor itu adalah kepercayaan. Ketika ada investor yang terpercaya masuk, maka mereka tentu akan percaya juga untuk memasukkan uangnya ke sana.
Jadi membayangkan sebuah Ibukota baru, jangan melihatnya sekarang, ketika proyek itu belum jadi, tapi lihatlah ke masa depan dalam waktu 20-30 tahun lagi. Ekonomi di sekitar Kalimantan Timur akan tumbuh pesat, infrastruktur akan dibangun besar-besaran untuk mempermudah mobilisasi. Samalah seperti dulu, sebelum tahun 2000-an, kita melihat Tangerang hanya sebagai sebuah daerah saja. Sejak dibangun kota baru di sana, Tangerang tumbuh menjadi kota metropolitan karena ekonomi sudah tersebar ke sana.
Seharusnya ada kesepakatan di DPR, bahwa setiap 100 tahun sekali misalnya, Ibukota negara harus pindah sebagai bagian dari pemerataan ekonomi di daerah. Tentu negara harus menyiapkan dana cadangan yang dipakai setiap 100 tahun untuk perpindahan Ibukota. Tapi, sekali lagi, ini sangat layak, karena uang yang dipakai itu dimasukkan sebagai modal investasi bukan biaya yang habis dibuang sia-sia.
Jadi, jangan dengarkan oposisi yang terus berusaha menghalangi pembangunan Ibukota baru dengan narasi pembodohan, seperti “buang uang sia-sia”, “belum waktunya pindah”, “daerah baru tidak layak jadi Ibukota.” Oposisi itu selalu begitu, mereka ketika memerintah saja ragu untuk membuat sebuah pilihan berani. Mereka ingin bermain aman, mengeruk-ngeruk uang negara untuk kepentingan partai, sehingga ketika mereka berkuasa, perputaran ekonomi di Indonesia menjadi sangat lambat. Perhatikan saja selama 10 tahun SBY berkuasa, di mana di sana ada juga PKS-nya. Wong mereka saja bilang, “internet cepat buat apa?”
Gak usah memimpin negara, memimpin sebuah perusahaan saja harus gila, harus berani mengambil keputusan yang revolusioner. Tidak ada perusahaan yang besar kalau mereka tidak berani mengambil keputusan revolusioner. Karena itu seorang pemimpin harus punya jiwa revolusioner. Dia memimpin bukan untuk disukai banyak orang, tetapi untuk kemajuan bangsa ini.
Untuk oposisi, yang takut mengambil keputusan besar demi kemajuan bangsa ini seperti memindahkan Ibukota negara, sini saya bisikkan, “Jangan mikirin negara. Itu berat. Kamu gak akan kuat. Biar Jokowi saja.”