SESAJEN BOLEH, YANG PENTING NGGA DISEMBAH

Oleh: Syafiq Hasyim

Berita tentang sesajen yang ditendang oleh seseorang ramai menjadi perbincangan publik. Ada yang mengatakan itu tindakan keterlaluan, karena kenapa harus ditendang sementara sesajen itu bisa dimakan. Ada yang berpikir seperti penendang sesajen, yakni, sesajen itu indikasi perbuatan musyrik, sudah sepantasnyalah itu ditendang, bukan dimakan.

Bagi kalangan yang tidak familiar dengan sistem teologi Islam, mungkin akan berkomentar, kenapa masalah seperti ini saja –masalah sesajen–menjadi perbincangan besar di kalangan umat Islam?

Catatan kali ini saya akan mengulas soal kemungkinan orang yang akan menganggap sesajen sebagai perbuatan sia-sia dan bahkan musyrik itu akan terus ada. Perbincangan ini tidak ada kaitannya dengan soal politik dan hal duniawi lainnya. Masalah sesajen ini adalah masalah pandangan teologis seseorang secara murni.

Jadi, kalau banyak orang mengritik bahkan menyayangkan sikap penendang sesajen itu sama sekali tidak terkait dengan afiliasi politik tertentu. Itu tidak sama sekali!

Dalam sejarah perkembangan teologi Islam, soal sesajen itu terkait dengan konsep keesaan Tuhan di dalam ajaran Islam. Ada kelompok di dalam masyarakat Islam yang memiliki pandangan bahwa meminta kepada Tuhan melalui perantara itu masuk dalam kategori pengingkaran atas keesaan Tuhan. Di dalam teologi Islam, doktrin ini memang sudah ada semenjak lama, namun mengalami puncaknya pada masa Muhammad bin Abdul Wahhab.

Muhammad bin Abdul Wahhab, yang oleh kalangan mainstream Islam di Indonesia, terutama Nahdlatul Ulama, adalah seorang tokoh yang lahir di Nejed dan memiliki hubungan yang dekat dengan lingkungan kerajaan yang sampai saat ini memimpin Saudi Arabia.

Apabila kita sering mendengar istilah Wahhabi di sekitar kita, maka nama aliran Islam ini dinisbahkan kepada Wahhab pada nama lengkap Muhammad bin Abdul Wahhab ini.

Muhammad bin Abdul Wahhab ini konon menjadi tokoh pendukung keluarga Saud dalam memenangkan kepemimpinan di Saudi Arabia dan sampai kini. Karenanya, bisa dipahami bahwa puluhan tahun kerajaan Saudi memiliki kecedendrungan yang dekat dengan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab. Dia menulis banyak kitab yang isinya mengkritik sistem teologis kaum ortodoks yang cenderung politeistik.

Cara berpikir Muhammab bin Abdul Wahhab memang sederhana dan literal sekali. Apa kata Quran maupun Sunnah diartikan sebagaimana makna tersuratnya. Dalam kitabnya yang sangat terkenal dan dijadikan sebagai rujukan kaum Wahhabi maupun Salafi, Kitab al-tawhid, dia membangun konsep ketauhidan ini. Bagi dia, al-ibadah hiya al-tawhid, ibadah itu ya tauhid. Musuh utama agama, menurut perspektif Wahhabiyah, adalah kesyirikan dan kesyirikan itu mereka definisikan secara mudah, pokoknya ada prioritas di dalam diri selain kepada Allah bisa dikategorikan sebagai syirik.

Cara berpikir sederhana dan literalis inilah yang nampaknya membuat aliran Wahhabi mendapat pengikut. Beberapa kalangan menyebutkan jika Wahhabi itu sama dengan Salafi. Ada memang banyak kesamaan, terutama dalam hal kecepatannya menuduh orang lain syirik, namun keduanya sesungguhnya ada perbedaan. Jika salafi pada umumnya tidak bagian dari Wahhabi, maka Wahhabi itu bagian dari salafi. Sederhananya seperti itu.

Karenanya, kedekatan kaum Wahhabi paling banyak di Saudi dan kaum Salafi bisa terjadi, namun kedua kelompok itu tidak sama. Ada perbedaan dari keduanya.

Karena yang dibangun di sini adalah sistem teologi, maka saya ingin mengatakan jika mereka yang punya pandangan seperti ini tidak akan lenyap. Pasti masih ada saja yang berpikir demikian adanya. Orang yang menolak dan bahkan menendang sesajen pun tetap akan ada. Bagi orang seperti ini, inilah keyakinan mereka.

Namun sekali lagi, cara yang digunakan oleh si lelaki ini dengan cara menendang sesajen adalah hal yang problematik. Si penendang sesajen ini tidak memperhitungkan keadaan Indonesia yang memiliki latar belakang yang berbeda satu sama lainnya.

Dia tidak tahu jika akomodasi Islam atas tradisi lokal, itu bagian yang memberikan kontribusi terbesar dalam penyebaran Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas orang Nusantara.

Tapi kaum Wahhabi atau Salafi atau mereka yang memiliki cara pandang seperti si penendang sesajen akan berkata, tidak ada urusan dengan soal itu. Mereka memandang meskipun sudah menjadi mayoritas (al-sawad al-a’dzam) jika itu ada unsur syirik ya syirik saja. Cara berpikir mereka sesederhana itu.

Ketika disuguhkan argumen bahwa orang melakukan proses wasilah atau perantara untuk mendekatkan diri pada Tuhannya itu dibolehkan oleh sebagian besar ulama Islam masa klasik, maka mereka sering membantahnya dengan mengatakan, “Ikutilah al-Quran dan Sunnah, jangan ikuti ulama.”

Berikut saya kutipkan pendapat di dalam sebuah kitab penting yang diacu oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia yang bermadzhab Syafii. Di katakan di dalam kitab ini:

مَنْ ذَبَحَ تَقَرُّبًا للهِ تَعَالَى لِدَفْعِ شَرِّ الْجِنِّ عَنْهُ لَمْ يَحْرُمْ، أَوْ بِقَصْدِهِمْ حَرُم وَصَارَتْ ذَبِيْحَتُهُ مَيْتَةً. بَلْ إِنْ قَصَدَ التَّقَرُّبَ وَالْعِبَادَةَ لِلْجِنِّ كَفَرَ
(إعانة الطالبين – ج 2 / ص 397)

Barang siapa yang menyembelih karena Allah Ta’ala untuk menolak keburukan jin maka itu tidak diharamkan, namun jika menyembelihnya karena jin maka itu haram dan jadilah hewan sembelihannya itu bangkai. Jika memiliki niat taqarrub dan mengabdi jin itu jelas-jelas kafir.

Dari sini, sekali lagi, sesajen itu dikembalikan pada niat seseorang yang membuatnya. Jika itu diniati untuk taqarrub atau mendekatkan diri pada Allah atau pada Tuhan jelas itu dibolehkan. Ada sebuah hadis yang sangat penting di dalam Islam, dan hadis ini adalah hadis tonggak, yang bunyinya: innama al-a‘malu bi al-niyat, wa likulli imri-in ma nawa, sesungguhnya perbuatan itu hanya karena niatnya dan setiap manusia itu tergantung pada apa yang diniatkannya.

Masih banyak pendapat lain yang membolehkan perbuatan pendekatan diri pada Allah melalui agency.

Namun jika pendapat seperti ini dikatakan kepada orang yang berpikirnya memakai logika “pokoknya” syirik, maka ijtihad ulama siapapun akan mereka anggap tidak berguna. Padahal kita tahu semua pemahaman keagamaan kita, entah itu Muhammad bin Abdul Wahhab yang sering dijadikan imam oleh mereka, juga bagian dari ulama yang melakukan ijtihad. Bahkan Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri juga banyak mengadopsi dan menghargai ulama-ulama sebelumnya.

Sebagai catatan, sampai kapan pun, kita di dalam umat Islam, akan selalu ada orang yang berpikir cepat mensyirikkan perbuatan Muslim lain, karena itu berkaitan dengan soal keyakinan mereka. Dalam konteks ini, kita harus memposisikan diri sebagai pihak yang bernalar sehat, tidak usah cepat terpancing. Mereka harus kita didik untuk berpikir kritis dan saling menghargai satu sama lain.

Komentar