Oleh: Eko Kuntadhi
Ada kabar menarik dari Sumatera Barat, tepatnya dari Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Kabarnya sebentar lagi akan ada aturan, para pegawai negeri atau ASN yang bekerja di bawah Pemprov Sumbar diwajibkan absen saban subuh ke atasannya masing-masing. Gubernur Mahyeldi akan mengeluarkan surat edarannya soal absen subuh ini.
Dan menurut informasi, yang diwajibkan absen subuh itu adalah para karyawan Pemda yang beragama Islam.
Jadi saya bisa mengasumsikan, absen ini untuk memastikan para pegawai sholat subuh. Perintah ini dikeluarkan, seperti diinfokan oleh Kepala Dinas Kominfo Sumbar.
Menurut keterangan, kebijakan itu sebagai salah satu upaya meningkatkan kedisiplinan dan produktivitas pegawai.
Kita tentu saja melihat kejanggalan di sini. Kalau alasannya untuk meningkatkan disiplin dan produktivitas, kenapa kewajiban absen subuh itu hanya untuk pegawai yang beragama Islam?
Ada dua pertanyaan, pertama apakah pegawai yang beragama lain dianggap sudah disiplin dan produktif? Yang kedua, apa hubungannya disiplin dan produktif di tempat kerja dengan absen setiap subuh bagi umat Islam?
Jadi subuh-subuh absen gak ada yang datang ke kantor. Mungkin lewat WA, mungkin lewat telpon, saya tidak tahu mekanismenya
Begini. Soal kewajiban sholat subuh, itu kan wilayah agama. Dia ada dalam keyakinan orang. Wilayah ini bukannya ranah yang bisa diatur-atur oleh sebuah institusi tempatnya bekerja. Apalagi sampai ada ancaman kalau absennya gak jelas bisa dikenakan hukuman.
Ini kan jelas mengada-ada. Jika hukuman dari institusi diberikan kepada orang yang datang telat ke kantor, itu wajar. Sebab jam kerja adalah wewenang yang menjadi aturan kantor.
Tapi kalau sebuah aturan institusi mau menjangkau aktivitas pegawainya di luar kantor, apalagi aktivitas di rumah dan di luar jam kerja normal itu gak bisa. Itu di luar wilayah dinas, itu di luar wilayah institusi. Dan itu kebablasan.
Atasan di kantor, ya cuma atasan di kantor. Hubungannya dengan karyawan atau dengan bawahan sebatas hubungan dinas. Bukan semua urusan kehidupan karyawannya mau diatur-atur. Apalagi mau ngatur orang sholat subuh apa enggak.
Institusi tetap punya batasan untuk tidak memasuki wilayah privat karyawannya. Sebab para karyawan Pemda itu diikat karena keterampilan, karena jasa kerjanya. Bukannya mengikat seluruh kehidupannya.
Seberapapun gaji yang diterima oleh seorang karyawan, bayaran itu tidak akan bisa membeli kehidupan seseorang. Jadi alangkah naifnya apabila ada aturan kantor yang masuk sampai wilayah privat kayak gini. Harus ada Batasan, di mana wilayah dinas, di mana wilayah privat.
Di mata saya kewajiban absen subuh ini benar-benar aneh banget.
Sebab ada kewajiban absen subuh, maka logikanya jam kerja harus sudah mulai diberlakukan saat karyawan absen. Saat karyawan sudah melakukan aktivitas sesuai dengan perintah kantornya. Sebab mulai jam itulah dia terikat dengan institusi tempatnya bekerja.
Jika benar demikian, secara otomatis Pemda Sumbar telah melanggar aturan maksimal jam kerja secara nasional. Rata-rata misalnya delapan jam. Meskipun absennya cuma sekadar pakai WA atau telepon misalnya.
Yang paling menarik nih ya, karyawan Pemprov Sumbar kan tidak semuanya laki-laki. Ada juga yang perempuan.
Dan perempuan muslim setiap bulannya ada halangan untuk tidak menjalankan sholat karena misalnya dia sedang menstruasi atau haid.
Jadi dengan absen ini, akhirnya semua karyawati harus melaporkan jadwal menstruasinya kepada atasan? Luar biasa. Sesuatu yang sangat privat itu kini diewer-ewer menjadi rahasia seluruh kantor. Semua itu dijalankan berdasarkan surat resmi dari gubernurnya.
Atau jika alasannya adalah untuk disiplin dan produktivitas, maka semua karyawan perempuan yang sedang datang bulan diasumsikan tidak disiplin dong?
Makin kacau kan mikirnya?
Saya ingin mengatakan gini, kenapa kok seorang gubernur harus memasuki wilayah-wilayah seperti ini di sebuah negara Indonesia. Bukan negara agama lho. Ini negara berdasarkan Pancasila. Apa dengan surat edarannya dia berharap masuk surga karena sudah memaksa semua pegawainya sholat subuh?
Atau dengan kedudukannya dia ingin memanfaatkan untuk sekaligus menjadi penjaga gawang syariah dengan menghukum orang yang gak sholat subuh?
Ini lebih mengerikan lagi cara berpikirnya.
Sebab Pemda Sumbar itu institusi negara. Bukan pesantren. Bukannya institusi agama.
Mestinya sebagai institusi negara output atau ukuran penilaian seorang karyawan Pemprov adalah bagaimana dia melayani masyarakat. Bukan jam berapa dia bangun tidur atau jam berapa dia ngulet dan bagaimana dia sembahyang subuh.
Percuma karyawan pemda Sumbar bangun subuh, kalau kantor kelurahan jam 8 pagi masih sepi. Kalau orang mau urus KTP gak bisa dilayani.
Percuma absen subuh dijalankan kalau pelayanan kepada masyarakat masih ogah-ogahan dan banyak pungli.
Percuma kalau karyawan Pemda/Pemprov bangun untuk absen subuh setelah itu mereka tidur lagi dan datang ke kantornya jam 11, lalu di kantor cuma duduk-duduk minum kopi sambil baca koran. Sementara antrean masyarakat yang minta dilayani gak dipedulikan, dicuekin.
Ini menandakan bahwa ukuran-ukurannya makin gak jelas. Tapi inilah kalau gubernurnya orang PKS. Dia melulu sibuk dengan urusan syariatisasi yang dilakukan dengan jabatannya. Urusan-urusan agama dicampuradukkan dengan urusan-urusan dinas. Meskipun itu dilakukan bukan pada tempatnya.
Seolah dengan surat edaran itu, sebagai kader PKS, gubernur sedang menjalankan perintah agamanya. Yang diurusin soal sholat subuh karyawannya. Bukan seberapa giat karyawan Pemda atau pegawai Pemda melayani masyarakat Sumbar. Yang dibutuhkan masyarakat Sumbar ini adalah pelayanan Pemda yang pas buat mereka. Pelayanan Pemda yang bisa membantu kehidupan mereka. Pelayanan Pemda yang tidak ada pungli.
Jadi ukurannya seberapa puas publik Sumbar dengan layanan publik yang disiapkan oleh kantor gubernur.
Saya bukan mengkritik soal sholat subuhnya. Tapi aturan Gubernur yang hendak memantau orang sholat apa enggak, itu kayak mengambil peran malaikat Rakib dan Atid.
Jadi, baru jadi Gubernur saja, dia sudah mengambil alih peran malaikat! Ajibbb banget kan…