Oleh: Syafiq Hasyim
Masa meredupnya Habib Rizieq Shihab nampaknya tinggal menunggu waktu saja seiring dengan kemunculan tokoh baru Bahar Smith. Para pengikut dan penggemar HRS atau yang memiliki paham seperti HRS nampaknya sedang menggadang-gadang Bahar Smith untuk menjadi tokoh baru mereka. Menjadi hero, menggantikan peran dan posisi yang sudah tidak bisa lagi ditumpukan pada HRS.
Tapi apakah hal seperti ini efektif? Catatan kali ini ingin menyorot masalah itu.
Pertama, saya memiliki pemikiran bahwa salah satu kegagalan perjuangan Islam politik atau kelompok yang mengidealkan penerapan Islam atau Islamisme adalah terlalu fokus pada tokoh. Karena fokus pada tokoh, maka begitu tokoh itu terpenjara atau sudah tidak bisa tampil di ruang publik, gerakan itu menjadi layu dan bahkan mati.
Berkali-kali mereka yang memperjuangkan supremasi politik formalisasi Islam di Indonesia dalam menjalankan gerakannya untuk berhasil selalu mengandalkan ketokohan seseorang. Dulu ada Daud Beureuh, Kartosoewirjo, dan sampai Habib Rizieq Shihab dan lain sebagainya. Ketika tokoh-tokoh itu masih bergerak di lapangan, maka gerakan hidup, namun ketika tokoh sudah tidak hadir, gerakan pupus layu.
Kini, mereka –kelompok Islamis—nampaknya ingin menempuh jalur dan strategi perjuangan yang sama. Ketika Rizieq Shihab sudah tidak mampu hadir di tengah-tengah publik, mereka ingin menobatkan tokoh lainnya sebagai pengganti, katakanlah di sini Bahar Smith tadi. Hal ini bukan berarti bahwa pelbagai upaya menghidupkan semangat Rizieq Shihab untuk mendorong gerakan massif tidak pernah dilakukan. Mereka berkali-kali melakukannya, namun ternyata tidak bisa dikatakan berhasil.
Reuni 212 pada Desember 2021 berupaya untuk menghadirkan Rizieq Shihab ke lapangan melalui rekaman pidatonya, namun itu tetap tidak mampu mendatangkan massa yang besar. Bahkan bisa dikatakan Reuni 212 kali ini gagal.
Menghadirkan tokoh memang penting dalam sebuah gerakan, namun yang lebih penting sebenarnya adalah ide apa yang mereka ingin perjuangkan. Tokoh bisa hilang dengan menghilangnya si tokoh, namun ide akan selalu hidup jika si pengusung idenya sudah tidak ada lagi. Ide memiliki seribu nyawa untuk hidup dan bertahan. Mereka tidak pernah belajar dari masalah ini.
Namun upaya kelompok politik Islam untuk menghadirkan Bahar Smith sebagai hero mereka pasca-memudarnya pengaruh Habib Rizieq itu tidak perlu dihalangi. Sudah barang tentu tidak. Itu hak mereka belaka. Namun mengherokan Bahar Smith tidak sama dengan jaminan keberhasilan sebuah gerakan. Kalau boleh jujur, penokohan Bahar Smith bukan berarti hal yang menjanjikan bagi masa depan perjuangan mereka. Tidak ada jaminan apapun untuk sukses, bahkan misalnya dibandingkan dengan kesuksesan HRS dalam memimpin gerbong gerakan mereka.
Pertama, Bahar Smith bisa dikatakan tokoh yang sebenarnya baru muncul. Kemunculan tokoh ini pun bukan karena kapasitas kepeloporannya dalam gerakan, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rizieq Shihab, namun karena sikap kontroversinya atau sikap keanehannya, terutama dalam ujaran-ujarannya yang penuh kebencian di dalam dakwahnya.
Jika kita ingin memakai ungkapan Arab untuk melukiskan apa yang dilakukan oleh Bahar Smith, satu istilah yang penting nyeleneh. Di dalam ungkapan Arab dikatakan, jika kamu ingin masyhur atau diketahui oleh banyak orang maka bertindaklah berbeda dengan kebanyakan, “khalif tu’raf”, berbedalah maka kamu akan diketahui. Jangan samakan popularitas yang terbangun dalam waktu sebentar dengan popularitas yang memang dibangun melalui gerakan. Atas dasar ini saya pesimis jika Bahar Smith bisa menggantikan ketokohan Rizieq Shihab.
Kedua, kapasitas keilmuan yang meragukan. Terlepas dari tindakan yang dilakukan selama ini, HRS, tokoh FPI ini, dalam menjalankan gerakannya itu didasarkan pada kapasitas keilmuan yang cukup memadai. Artinya, keilmuan-keilmuan dasar dalam Islam dia ketahui cukup luas.
Bahar Smith sepertinya belum memiliki kapasitas keilmuan yang demikian adanya. Hal itu bisa dilihat dari konten dakwah-dakwah yang dilakukannya. Jika modal dakwahnya itu-itu saja, maki-maki pemerintah atau pejabat, memang nampaknya menjadi pemberani, namun tetap saja pengaruhnya akan cepat berlalu karena apa yang diomongkan tidak didukung dengan dalil-dalil ilmu keagamaan yang kuat.
Saya lihat selama ini, para pengikut HRS, selain mereka itu memang tertarik dengan gerakan HRS, mereka juga “ngaji” pada keilmuan HRS. Dan dari ceramah HRS, di balik makian dan ujaran kebencian yang dikeluarkannya, topangan dalil keagamaan dia juga gunakan. Terlepas dari benar dan tidaknya tafsir HRS, namun orang awam mendapatkan ceramah keagamaan yang berdalil.
Ketiga, Bahar Smith ini tidak memiliki jaringan gerakan seluas yang dimiliki oleh Habib Rizieq Shihab. Mungkin orang-orang yang tidak suka dengan rezim Jokowi akan bergabung ke dalam barisan Smith, namun sebuah gerakan yang memiliki ambisi besar, tidak cukup dengan hanya memiliki seorang tokoh pemimpin yang jaringannya segitu-gitu saja. Dengan kata lain, jaringan sosial dan politik Bahar Smith masih bisa diukur.
Keempat, jaringan yang nampaknya tidak seluas jaringan yang dimiliki oleh tokoh sebelumnya, bisa jadi Bahar Smith akan didikte oleh kepentingan-kepentingan politik luar, bukan kepentingan politik kelompok sendiri. Tidak hanya itu, dia akan dimanfaatkan saja untuk mengusung kepentingan-kepentingan di luar kepentingan dirinya dan kepentingan gerakan yang mengikutinya. Dan hal seperti ini tidak mustahil terjadi.
Gerakan sebesar 212 saja sekarang bisa dikatakan tidak meninggalkan cukup bekas yang berarti, padahal gerakan itu dikomandoi mereka yang ketokohan di kalangan Islamis sudah cukup diakui, apalagi apabila gerakan itu hanya ditokohi seorang Bahar Smith saja. Problem yang dihadapi oleh gerakan Islamis di Indonesia kini cukup serius, selain kehilangan tokoh panutan, namun hal yang paling penting adalah ketidakjelasan ide utama dari gerakan ini pasca-keberhasilan mereka pada tahun 2016-2017.
Seharusnya gerakan mereka lebih maju dan matang di masa sekarang dan masa yang akan datang.
Saya melihat upaya menampilkan Bahar Smith sebagai hero baru tidak didasarkan pertimbangan praktis dan taktis, namun pragmatis saja. Artinya, selama ini hanya ada Bahar Smith yang kira-kira dianggap memiliki karakter dan gaya dakwah yang dekat dengan tokoh-tokoh yang mereka bayangkan pasca-absennya HRS.
Sebagai catatan, sebuah gerakan sosial yang semata-mata hanya mengandalkan pada kharisma ketokohan, bukan pada ide, akan cepat lenyap seiring dengan lenyapnya si tokoh tersebut. Banyak gerakan yang ketika tokohnya sudah mangkat, namun masih tetap hidup dan hidup itu karena tokoh tersebut berhasil menciptakan ide yang tidak dilupakan di kalangan pengikutnya.