Oleh: Eko Kuntadhi
Kalau ada partai politik yang paling gerah dengan aturan soal kekerasan seksual, kita bisa menoleh ke PKS. Entah kenapa, setiap ada aturan yang mau menghukum mereka yang melakukan kekerasan seksual, PKS selalu nolak. Cara menolaknya dengan memelintir isu pokoknya.
Kita ingat ketika DPR mengajukan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, PKS paling vokal mencegah jangan sampai RUU itu berubah menjadi UU. Bahkan mereka menolak dengan tegas jika kekerasan seksual dilakukan dalam rumah tangga.
Bagi PKS, mungkin ya, istri itu semacam perkakas yang bisa diperlakukan semaunya. Bahkan jika disakiti secara seksual oleh suaminya, istri tidak punya hak untuk menolak. Asumsinya bahwa istri harus tunduk patuh pada kemauan suami.
Alih-alih mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini, PKS malah membuat draft UU lain yang disebut RUU Ketahanan Rumah Tangga. Dalam draft rancangan karya PKS itu, kalau kita baca dengan jelas, memposisikan posisi istri itu begitu berat di rumah. Di sana terkandung kewajiban istri, kewajiban sebagai seorang ibu, kewajiban mendampingi suami. Tetapi tidak membahas kewajiban suami.
Jikapun dibahas ya cuma samar-samar saja.
Bagi pandangan PKS ini, perempuan di rumah tangga hanya punya kewajiban. Sementara haknya terabaikan. Bahkan hak istri untuk mendapatkan perlakuan manusiawi dalam hubungan seks, sama sekali ditolak.
Sialnya lagi, isu kekerasan seksual oleh PKS digeser dengan menuding bahwa konten rancangan UU tersebut akan melegalkan seks bebas dan LGBT.
Apa hubungannya? Kita juga gak tahu. Ini bisa-bisanya aja.
Kini PKS bikin ulah lagi. Mereka terang-terangan menolak Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), di sekolah, di kampus, di tempat-tempat lembaga pendidikan. Tujuan dari Permendikbud ini untuk menghapus kekerasan seksual yang sering terjadi, dan belakangan itu beritanya menyeruak di kampus dan di sekolah-sekolah.
Kita tahu, isu kekerasan seksual ini sering melanda institusi pendidikan tinggi. Ada mahasiswi yang dilecehkan dosennya. Ada dosen perempuan yang dilecehkan oleh mahasiswa. Ada mahasiswi yang lagi sidang skripsi atau ujian skripsi dipersekusi secara seks oleh dosennya.
Alasan PKS menolaknya sungguh lucu. Hanya karena dalam Permendikbud itu ada frasa yang mengartikan kekerasan seksual dengan kata tanpa persetujuan.
Maksudnya gini, kalau ada orang meraba, menyentuh, dan mengintervensi secara fisik tanpa persetujuan orang atau korbannya, itu dalam Permendikbud itu dikategorikan sebagai kekerasan seksual.
Nah, makna kata, “tanpa persetujuan” ini yang dipermasalahkan PKS. Mereka malah mikir, jadi kalau dengan persetujuan boleh dong. Kalau itu dibolehkan maka itu termasuk pelegalan zinah! Seperti diungkap oleh Mardani Ali Sera dalam twitnya.
Kan, ngaco. Yang disasar adalah tentang kekerasan seksual.
Jadi begini, Mar ya. Permendikbud ini mengatur jangan sampai terjadi kekerasan seksual. Maksudnya, kalau ada orang yang melakukan tindakan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan seksual, karena tindakan itu sama sekali tidak disetujui oleh korbannya.
Makna kata “tanpa persetujuan”, bukan berarti justru melegalkan jika suka sama suka. Itu lain. Sama aja apel sama buah kesemek, lain bentuknya.
Soal hubungan seks di luar nikah, atau seks bebas, ada banyak aturan yang mengaturnya. Ada KUHP, ada aturan-aturan lain. Jadi jangan dipelintir frasa “tanpa persetujuan” ini menjadi pelegalan seks bebas. Itu mah keterlaluan.
Ini sama saja cara mikirnya dengan orang yang gak setuju pemaksaan jilbab di sekolah-sekolah negeri. Lalu orang-orang PKS berargumen, jadi kalau sekolah pakai bikini boleh? Ya enggak.
Gak setuju pakai jilbab atau pemaksaan jilbab, bukan berarti setuju pakai bikini. Gitu mikirnya.
Tapi memang PKS selalu menghalangi ketika aturan soal kekerasan seksual ini mau diterapkan. Baik sebagai UU Penghapusan Kekerasan Seksual (maupun Permen), sampai sekarang nasibnya terkatung-katung. UU-nya gak perah disetujui oleh DPR.
Sekarang lagi-lagi PKS yang menolak Permendikbud PPKS itu.
Mereka lebih suka kaum perempuan jadi korban terus-menerus, justru dengan cara memelintir isu bahwa penghapusan kekerasan seksual adalah pelegalan seks bebas. Kita gak habis pikir.
Iya sih emang, untuk sebuah hubungan seks perlu ada yang keras, kalau loyo gak bisa. Tapi bukan itu maksudnya. Artinya orang-orang PKS ini lebih suka tidak ada payung hukum yang melindungi korban kekerasan seksual. Makanya setiap ada aturan tentang itu, mereka selalu menolaknya.
Saya sih jadi curiga, kalau semua isu soal kekerasan seksual atau aturan soal kekerasan seksual ditolak oleh PKS, jangan-jangan nih ya, jangan-jangan, para penolaknya hobi main keras. Ini yang kita khawatirkan.
Kita sih gak terlalu heran dengan sikap PKS seperti ini. Kalau sudah menyangkut soal selangkangan memang reaksinya paling cepat. Lebih cepat dari bayangannya sendiri. Perilaku kadernya juga sering menyulut isu atau sering nyangkut isu soal-soal selangkangan kayak gini.
Ingat dong, dalam sejarah sidang DPR yang terhormat itu, sejarah parlemen Indonesia, hanya anggota DPR dari PKS yang bisa ikut sidang paripurna sambil nonton bokep. Ini sejarah lho. Dan beritanya nyata.
Belum lagi kalau kita baca berita, kita akan dapatkan sebuah kisah tentang seorang Caleg PKS di Pasaman, Sumatera Barat, yang tega mencabuli anak kandungnya sendiri. Sejak anak itu usia 3 tahun sampai kelas 3 SD. Anak kandungnya sendiri.
Kita memang tidak bisa menggenelisir bahwa perilaku ini adalah perilaku semua anggota partai PKS. Tetapi dua kejadian fenomenal yang melibatkan kader PKS, sungguh menjadi gambaran, barangkali itulah cara mereka berpikir. Itulah cara mereka merefleksikan atau memposisikan isu-isu seks dalam kepala mereka.
Sekarang ketika PKS mengkritisi soal Permendikbud No.30 itu, lagi-lagi saya berpikir bahwa partai ini memang hanya memandang perempuan sebagai objek dalam perilaku seksual. Mereka selalu menghambat, menghambat sebisa-bisanya jika ada aturan yang ingin memposisikan perempuan sebagai subjek. Subyek yang punya perasaan, subyek yang punya harga diri, subyek yang punya keinginan sendiri dan setara dengan laki-laki.
Saya heran, dengan cara pandang yang seperti ini, yang memposisikan perempuan cuma sebagai obyek. Kok ada ya perempuan-perempuan yang rela ikut partai kayak gini. Padahal mereka cuma diposisikan sebagai obyek belaka dalam konteks seksual. Ini yang bikin kita heran.
Jadi Permendikbud No.30 itu intinya untuk mencegah, bahkan melindungi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang lain. Jangan dipelintir ini sebagai pelegalan seks bebas. Itu sama sekali gak ada hubungannya.
Jangan mencampuradukkan yang gak ada hubungannya, cuma untuk memberikan kenyamanan atau memberikan satu perasaan bahwa dengan begitu perempuan bisa mengadukan orang yang melakukan kekerasan seksual terhadapnya. Itu namanya tidak berempati pada korban. Dan kalau saya punya anak perempuan, keluarga saya yang perempuan, sungguh saya akan larang masuk partai dengan pandangan seperti ini.