SPEAKER MASJID HARUS DIATUR

Oleh: Dara Nasution

Kalau ditanya apa perbedaan paling mencolok yang saya rasakan saat tinggal di luar negeri dan di Indonesia, maka jawabannya, di Inggris gak ada suara speaker masjid. Perkara suara speaker masjid ini belakangan ramai lagi sejak sebuah media internasional bernama Agence France-Presse (AFP) yang berpusat di Paris, Prancis, mengeluarkan liputan berjudul ‘Piety or noise nuisance? Indonesia tackles call to prayer volume backlash’. Kalau diterjemahkan, kira-kira artikel itu berjudul, “Ketakwaan atau gangguan kebisingan? Indonesia mengatasi reaksi volume azan”

Dalam liputannya, AFP mewawancarai seorang perempuan muslim berusia 31 tahun dengan nama samaran Rina yang kerap terbangun pukul 3 pagi karena suara azan subuh yang terlalu keras dari masjid di dekat rumahnya di Jakarta. Setiap hari, Rina tidak bisa tidur dan kerap merasa mual. Enam bulan kemudian, Rina akhirnya didiagnosa mengidap gangguan kecemasan (anxiety disorder).

Saya yakin, Rina tidak sendirian. Saya pun punya cerita serupa.

Di bulan Februari 2021, sehabis liburan natal dan tahun baru, saya memutuskan kuliah online dari Jakarta karena Inggris sedang lockdown. Kasus Covid-19 pada waktu itu mencapai 50 ribuan per hari dan semua kegiatan kuliah tatap muka dihentikan. Saya kira, satu-satunya tantangan kuliah online hanyalah perbedaan waktu tujuh jam antara Jakarta dan Inggris. Waktu itu saya berpikir, ah, bisalah. Pelan-pelan akan menyesuaikan.

Ternyata saya lupa memperhitungkan tantangan lain, suara speaker masjid. Saya lupa memperhitungkan bahwa apartemen tempat tinggal saya, di kawasan Rasuna, itu dikelilingi oleh delapan masjid yang secara bersamaan mengeluarkan suara azan, pengajian, dan ceramah, lima kali sehari.

Karena perbedaan waktu, saya biasanya mulai kuliah pukul 6 sore sampai pukul 12 malam dan baru tidur pukul 3 pagi. Ketika baru mulai terlelap, jam setengah lima pagi saya sudah dibangunkan oleh suara speaker masjid yang memutar ayat-ayat Alquran. Lalu dilanjut dengan azan, dan kadang-kadang ada ceramah yang disiarkan dengan speaker besar. Saya baru bisa tidur lagi mungkin pukul tujuh pagi. Begitu terus setiap pagi.

Gak berhenti di situ. Suara speaker dari delapan masjid di sekeliling tempat tinggal saya juga kerap bocor saat saya sedang kuliah online. Biasanya kuliah saya bertepatan dengan azan magrib. Tiap kali saya berdiskusi di kelas melalui Zoom, ada backsound suara azan yang kadang-kadang menenggelamkan suara saya. Saya sampai sering merasa gak enak dengan teman-teman sekelas. Pembelajaran saya jadi kurang optimal.

Akhirnya, saya cuma tahan 3 minggu kuliah online dari Jakarta dan memutuskan kuliah online dari Oxford saja, meski di sana sedang lockdown dan lagi musim dingin.

Mungkin para penonton Cokro TV juga punya cerita-cerita lain tentang suara speaker masjid. Kalau ada, boleh tulis di kolom komentar, ya.

Tapi poin saya, banyak orang yang terganggu dengan suara speaker masjid. Apalagi di tengah pandemi seperti sekarang, semakin banyak orang yang harus bekerja atau belajar dari rumah sehingga butuh suasana yang kondusif. Rata-rata rumah di Indonesia tidak dilengkapi dengan tembok tebal kedap suara seperti di kantor-kantor.

Namun, tidak banyak orang yang berani bersuara karena takut mengalami nasib yang sama dengan Ibu Meliana di Tanjung Balai. Kita tentu masih ingat bagaimana Ibu Meliana dipersekusi dan dipenjarakan dengan tuduhan penistaan agama hanya karena ia berkomentar soal speaker masjid dekat rumahnya. Gak cuma Ibu Meliana, artis Zaskia Adya Mecca juga sempat protes soal toa masjid yang terlalu berisik saat membangunkan sahur di bulan Ramadan. Pada waktu itu, Zaskia baru saja melahirkan bayi laki-laki. “Apa iya dengan begini jadi tidak mengganggu yang lain yang tidak menjalankan sahur?” Komentar Zaskia. Hasilnya, tentu saja Zaskia dihujat oleh para netizen.

Dua kejadian ini adalah preseden buruk, seolah-olah orang yang mengkritik suara speaker masjid dicitrakan sebagai orang yang anti-Islam. Padahal tidak demikian. Kritik terhadap speaker masjid adalah soal kualitas hidup yang terganggu karena suara bising. Makanya, di banyak negara, penggunaan speaker masjid dibatasi dengan ketat.

Sebagai negeri tempat kiblat umat muslim sedunia, Arab Saudi misalnya, punya aturan ketat yang hanya mengizinkan pengeras suara dipakai untuk keperluan azan, salat jumat, salat Ied, dan salat minta hujan. Aturan ini diberlakukan karena suara yang timbul dari kegiatan masjid yang menggunakan pengeras suara menjadi tumpang tindih dengan masjid lainnya.

Di Mesir, Menteri Wakaf Mohamed Gomaa melarang penggunaan pengeras suara masjid untuk menyiarkan salat tarawih dan ceramah agama selama bulan suci Ramadan tahun 2017 lalu.
Meski tidak melarang azan lewat pengeras suara, Gomaa menjelaskan keputusannya itu bertujuan agar umat Islam dapat beribadah dengan khusyuk tanpa harus terganggu oleh pengeras suara yang saling tumpang tindih. Dikutip dari The Arab Weekly, lebih dari 100.000 masjid menggunakan pengeras suara yang dinyalakan pada saat yang bersamaan. Menurut Kementerian Wakaf, pengeras suara ini saling bersahutan, membingungkan, dan bahkan merusak kesucian bulan Ramadan.

Di Lagos, Nigeria bahkan lebih ekstrem lagi. Pihak berwenang di wilayah Lagos tak segan-segan menutup 70 gereja, 20 masjid ,dan 10 hotel, pub dan kelab malam terkait suara bising yang ditimbulkan mulai dari nyanyian di gereja hingga azan masjid yang menggunakan pengeras suara. Keputusan itu tak lepas dari upaya kota Lagos untuk bebas dari suara kebisingan pada 2020.

Lalu bagaimana regulasi pengeras suara di Indonesia? Pada tahun 1978 Dirjen Bimas Islam, Kementerian Agama, mengeluarkan Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushola.

Pengguna pengeras suara harus terampil dan bukan hanya coba-coba atau masih dalam tahap belajar sehingga tidak menimbulkan suara bising atau berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid.

Instruksi tersebut juga menyatakan jika saat salat subuh, ashar, magrib, dan isya boleh menggunakan pengeras suara. Sedangkan untuk salat dzuhur dan salat Jumat, semua doa, pengumuman, khotbah menggunakan pengeras suara ke dalam bukan ke luar.

Sayangnya, instruksi soal pengeras suara yang ada dalam situs Kemenag itu hanya menjadi pedoman dasar dalam menggunakan pengeras suara. Tidak ada sanksi yang tercantum dalam instrumen itu bagi masjid yang melanggar. Sehingga, jika merasa terganggu dengan pengeras suara, maka yang bisa dilakukan adalah membicarakannya secara kekeluargaan dengan pengelola masjid setempat dengan mengacu pada instruksi Kemenag tersebut.

Oleh karena itu, Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla mengatakan bakal berkoordinasi dengan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas untuk mengatur penggunaan sistem suara (sound system) masjid di Indonesia. Ini adalah langkah yang patut diapresiasi. Kebijakan ini juga tidak akan langsung sehari jadi karena ada ada 750 ribu masjid di seluruh wilayah Indonesia. Masjid ukuran sedang bisa mempunyai selusin speaker eksternal yang melantangkan azan lima kali sehari. Tapi, rencana koordinasi DMI dengan Kementerian Agama ini mesti kita kawal hingga betul-betul terlaksana supaya Indonesia menjadi rumah yang nyaman untuk seluruh pemeluk agama.

Komentar