Oleh: Ade Armando
Beberapa hari yang lalu saya membuat sebuah video yang memuat argumen saya mengapa saya tidak percaya bahwa umat Islam harus menjalankan apa yang disebut sebagai syariat Islam.
Sebagian orang bertanya mengapa saya merasa harus membuat video itu?
Jawaban saya adalah karena saya merasa harus bicara untuk mengcounter orang-orang yang saat ini sedang mengkampanyekan perlunya atau bahkan wajibnya Muslim Indonesia menerapkan syariat Islam.
Saya menganggap upaya untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia adalah upaya yang berbahaya.
Dan sekadar untuk menyegarkan ingatan anda, Indonesia sebenarnya pernah menjalani masa di mana kewajiban penegakan syariat Islam hampir berhasil dimasukkan dalam konstitusi kita.
Di masa awal kelahirannya, di dalam pendahuluan UUD 45 sempat termuat kalimat adanya kewajiban bagi umat Islam di Indonesia untuk menjalankan syariat .
Untunglah ketika itu, para founding fathers Indonesia, Bung Hatta dan kawan-kawannya berhasil menghapus kalimat kewajiban itu.
Jadi sejak awal kelahiran Indonesia, sudah ada penolakan terhadap penegakan syariat Islam di Indonesia.
Masalahnya, dalam beberapa dekade terakhir ini, upaya untuk mengembalikannya terus dilakukan. Di Aceh sudah berhasil diterapkan. Di banyak daerah lain, Perda-perda syariah terus dilahirkan.
Dalam pandangan saya, gelombang itu harus dihentikan. Dan salah satu kunci terpenting untuk menghentikannya adalah dengan membangun pemahaman yang memadai tentang syariah.
Seperti saya katakan, dalam video saya yang lalu, sikap saya tentang syariah ini tentu saja bisa sangat bisa dikritik, dipersoalkan dan disanggah.
Anda bisa saja tidak setuju dengan saya. Tapi saya juga bisa tidak setuju dengan anda, dan adalah kewajiban saya untuk menyampaikan pandangan bahwa kewajiban bagi umat Islam untuk menegakkan syariah Islam adalah sesuatu yang berbahaya bagi Indonesia.
Saya percaya Bung Hatta dulu menghapus kata-kata itu dari konstitusi karena dia tidak setuju dengan penegakan syariah di Indonesia.
Kini saya pun memiliki keyakinan yang sama. Tapi sebelum saya lebih jauh, saya rasa ada baiknya kita menyamakan dulu definisi kita tentang syariah.
Ketika saya menolak syariah, saya merujuk pada istilah syariah sebagaimana yang diyakini oleh kelompok-kelompok yang saat ini menjadikan penegakan syariah sebagai salah satu agenda utama perjuangan mereka.
Saya tidak sedang membahas definisi syariah sebagaimana yang mungkin diperdebatkan di dunia akademik. Saya menggunakan istilah syariah dalam definisi standard saat ini saja.
Apakah syariah?
Saya gunakan saja deh definisi yang termuat dalam Wikipedia. Wikipedia menjelaskan bahwa syariah berisi hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik muslim maupun non- muslim.
Selain berisi hukum dan aturan, syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini.
Para pendukung syariah percaya bahwa syariat Islam merupakan panduan integral/ menyeluruh dan sempurna terhadap seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini.
Mereka juga percaya bahwa, kalau Allah dan Rasul- Nya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Umat Islam hanya boleh menetapkan hukum sendiri, kalau Allah dan Nabi Muhammad belum menetapkan ketentuannya tentang hal tersebut
Pengertian syariah semacam inilah yang saya gunakan ketika saya bicara soal syariah yang saya tentang itu. Pertanyaannya: Dari manakah sumber hukum dan aturan yang mengatur kehidupan ini?
Jawaban mereka: Al-Quran, ucapan dan teladan Nabi Muhammad, serta kesepakatan para ulama otoritatif di generasi-generasi awal sejarah Islam.
Sebenarnya ada juga satu sumber lain, yaitu, yakni upaya sungguh-sungguh manusia untuk memutuskan suatu perkara dengan menggunakan akal pikiran dan pertimbangan yang matang.
Namun ijtihad itu hanya bisa digunakan terkait perkara yang belum diatur dalam Al Quran dan Hadits.
Jadi mereka yang sungguh-sungguh percaya akan supremasi syariah di dunia ini sangat percaya bahwa umat Islam wajib menjalankan perintah-perintah Tuhan dalam seluruh aspek kehidupan manusia itu.
Dan hukum dan aturan itu termuat dalam bahasa sangat eksplisit di dalam Al Quran dan hadits.
Cakupan wilayah yang diatur terentang sangat luas, dari soal kewajiban sholat, sampai ke hukuman terhadap pelaku criminal, dan juga aturan politik, ekonomi, kebudayaan, hubungan sosial dan seterusnya.
Buat saya, bila aturan-aturan dan hukum itu kini harus kita jalankan di Indonesia di abad ke-21, itu akan menimbulkan banyak masalah.
Saya akan tunjukkan bahwa aturan dan hukum yang ada dalam Al-Quran dan Hadits adalah sesuatu yang hanya bisa dipahami berdasarkan konteks sejarahnya.
Dengan kata lain, aturan dan hukum yang ada dalam Al-Quran dan Hadits banyak sekali yang tidak relevan dengan kondisi kita saat ini.
Jadi sangat tidak masuk akal bagi kita untuk memperjuangkan penegakannya di Indonesia saat ini.
Saya gunakan saja contoh yang agak ekstrim, yaitu soal budak. Al Quran menyatakan bahwa seorang pria tidak perlu menjaga kemaluannya pada budak perempuannya.
Dan ini kemudian diartikan sebagai izin bagi pria untuk meniduri budak perempuannya tanpa harus dalam ikatan pernikahan.
Jadi apakah ini berarti pria dapat berhubungan tanpa menikah dengan budak perempuannya?
Dan lebih lanjut lagi, apakah ini berarti Allah mengizinkan seorang pria memiliki budak perempuan?
Kalau kita cuma membaca ayat di dalam Al-Quran yang dijadikan rujukan, jawabannya adalah ya dan ya.
Tapi, jawaban kita mungkin akan langsung berubah bila kita memahami bahwa teks-teks tersebut hadir dalam sebuah episode sejarah di mana perbudakan memang sesuatu yang lazim dan dibenarkan secara moral.
Di abad ke tujuh Arab, perang adalah hal yang biasa terjadi, dan mereka yang memenangkan perang bisa mengambil tawanan dari mereka yang dikalahkan untuk menjadi budak.
Dan lazim sekali di masa itu, budak-budak perempuan hasil pampasan perang itu digauli oleh majikannya.
Jadi itu adalah tradisi Arab yang diterima di masanya.
Adapun Al-Quran, kalau dibaca keseluruhan pesannya, pada dasarnya menolak perbudakan. Ada banyak sekali ayat yang memerintahkan umat Islam untuk memerdekakan budak, atau memperlakukan budak dengan cara manusiawi.
Tapi harus diakui, tidak ada satupun ayat dalam Al-Quran atau bahkan ucapan Nabi yang melarang perbudakan.
Dengan menggunakan contoh itu saya ingin mengatakan memahami pesan Tuhan tidak bisa dengan sekadar menganggap apa yang terlarang dan diizinkan atau bahkan diperintahkan dalam Al Quran dan diperintahkan Nabi sebagai hukum yang harus dipatuhi sepanjang waktu dan di sepanjang zaman.
Aturan dan hukum itu bergantung pada konteks. Kalau konteksnya berubah, aturan dan hukumnya pun bisa berubah. Hanya karena umat Islam diizinkan memiliki budak, tidak berarti kita di abad 21 perlu membenarkan perbudakan.
Atau misal yang lain, hanya karena Nabi Muhammad beristri banyak – sebagian mengatakan jumlahnya tujuh, sembilan, dua belas atau yang lainnya – itu tidak berarti pria muslim saat ini diizinkan poligami.
Nah, hal semacam ini ditemukan di banyak bagian syariah. Sekarang saya gunakan contoh yang lebih sederhana.
Di dalam Al-Quran ada hukum waris. Di sana dikatakan bila orang tua yang wafat meninggalkan satu anak pria dan satu anak perempuan, maka anak laki-laki mendapatkan 2/3 bagian, sedangkan anak perempuan mendapatkan 1/3 bagian.
Jadi hak waris pria adalah dua kali lipat dari perempuan.
Kalau anda percaya bahwa kita harus menegakkan syariat, ya aturan itulah yang digunakan.
Kemudian di dalam Al-Quran ada juga aturan eksplisit yang menyatakan para pencuri harus dipotong tangannya sebagai hukuman.
Adapun terhadap penzina, hukumannya adalah seratus kali cambuk. Hukuman terhadap seseorang yang mengambil nyawa orang adalah hukuman mati.
Bahkan ada ayat yang mengatakan: “Janganlah kamu jadikan dari antara kaum kafir sebagai teman-temanmu sebelum mereka berpindah pada jalan Allah. Apabila mereka berpaling, tawanlah mereka dan bunuhlah mereka di manapun mereka kamu temukan.”
Jadi begitu, kalau setelah itu, anda tetap ingin menegakkan syariat Islam ya silahkan saja lakukan.
Saya sih jelas tidak.
Mudah-mudahan anda paham sekarang kenapa saya menyatakan saya tidak percaya pada sebuah syariah yang harus dipatuhi umat Islam di sepanjang waktu di seluruh bagian dunia.