JOKOWI MEMBELA KORBAN PINJOL

Oleh: Dara Nasution

Drama yang melibatkan pinjaman online (pinjol) rasanya sudah sering kita dengar. Rupanya, perkara pinjol ini sampai menarik perhatian Pak Presiden Jokowi. Dua hari yang lalu Pak Jokowi menyoroti soal banyaknya masyarakat menengah ke bawah yang terjerat bunga pinjol yang tinggi. Presiden juga menyoroti bagaimana banyak dari pinjol ini yang melakukan cara-cara yang tidak etis untuk menagih utang. Hal ini disampaikan Pak Jokowi dalam gelaran pembukaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Virtual Innovation Day 2021.

Kisah-kisah tragis soal korban pinjol memang bertebaran di media. Tahun lalu, seorang pria berinisial KS (25) nekad melakukan percobaan bunuh diri di kamar mandi sebuah minimarket di Jalan Buaran Raya, Duren Sawit, Jakarta Timur dengan cara menyayat tangannya karena terlilit utang pinjol sebesar Rp20 juta.

Lalu ada pula seorang warga Jebres, Kota Solo, Jawa Tengah berinisial YI (51) menjadi korban sebuah perusahaan fintech ilegal bernama Incash. YI kemudian dipermalukan oleh Incash dengan cara mengirimkan gambar fotonya dilengkapi dengan tulisan rela digilir untuk melunasi utang di Incash senilai Rp1.054.000 yang disebarkan ke semua kontak yang tersimpan di handphone milik YI.

Juga ada kasus dari Malang misalnya, seorang guru TK berinisial S (40) sempat ramai dibicarakan, sebab ia tercatat melakukan pinjaman di 24 pinjol. Dia sudah terjerat utang, juga terpaksa dipecat dari tempatnya mengajar sehingga akhirnya kehilangan pekerjaan sebagai guru taman kanak-kanak (TK).

Kisah-kisah tragis korban pinjaman online ini memunculkan desakan untuk membubarkan pinjol. Salah satu lembaga yang ngotot pinjol harus dibubarkan adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketua Bidang Fatwa MUI DKI Jakarta, KH Fuad Thohari berpendapat bahwa, pinjol ini tidak ada semangat untuk menolong pihak yang kesusahan. Justru pinjol memberikan pinjaman dengan bunga yang mencekik. Tentu saja ini membawa mudarat bagi pihak yang berutang.

Tapi bener gak sih, jika ada pinjol yang bermasalah, lantas seluruh industrinya harus dibubarkan?

Pertama, kita harus bedakan dulu ada dua jenis pinjaman online di Indonesia, yaitu yang legal dan yang ilegal. Pinjol yang legal berarti perusahaan ini tercatat dan diawasi oleh OJK. Untuk memperoleh izin, tentu mereka harus melewati serangkaian uji kelayakan untuk beroperasi. Sampai dengan 25 Agustus 2021, ada 116 perusahaan fintech yang terdaftar dan berizin di OJK. Daftar lengkap pinjol legal ini juga bisa dilihat di website OJK.

Pinjol yang legal ini wajib menjadi anggota asosiasi bernama AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia), yang mempunyai kode etik yang jelas dalam melaksanakan bisnisnya. Jika ada pelanggaran, AFPI bisa melaporkan pada OJK untuk meninjau ulang izin operasi pinjol tersebut.

Nah, sistem pengawasan yang ketat dan berlapis ini tidak ditemukan pada pinjol ilegal. Makanya mereka bisa beroperasi dengan semena-mena. Maka, yang harus dibubarkan itu adalah pinjol ilegal, bukan keseluruhan industri pinjol. Sampai tahun ini, sudah ada sebanyak 3.197 kegiatan fintech lending ilegal yang sudah dihentikan oleh pihak Satgas Waspada Investasi OJK. Pak Jokowi juga sudah memerintahkan Kapolri untuk bertindak tegas menertibkan pinjol-pinjol ilegal ini.

Selanjutnya, jika seluruh industri pinjol dibubarkan, maka ada 92 juta rakyat Indonesia yang tidak bisa mengakses pinjaman ke bank karena mereka tidak memiliki rekening bank. Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan membuat banyak bank tidak mampu menghadirkan kantor cabang hingga ke pelosok.

Bahkan, orang-orang yang sudah memiliki rekening bank pun tidak serta merta bisa langsung mengajukan pinjaman. Biasanya, bank akan meminta syarat jaminan (collateral) berupa tanah, rumah atau kendaraan sebelum nasabah boleh berutang. Ini menjadi tantangan bagi banyak orang yang tidak mempunyai aset untuk dijaminkan ke bank jika mereka butuh pinjaman.

Perusahaan pinjaman online mau mengambil risiko dengan memberi pinjaman tanpa jaminan sama sekali untuk menjangkau masyarakat kelas bawah ini. Konsekuensi, tentu saja bunga yang dipatok lebih tinggi dari bank karena jika nasabah kabur, mereka tidak punya jaminan apapun. Namun, OJK sendiri menegaskan bahwa bunga pinjol tidak boleh melebihi 0,8% per harinya. Jadi, jika ada pinjol yang datang dengan bunga yang lebih dari 0.8% per hari, maka kita harus curiga.

Sebelum memberi pinjaman, bank juga akan mengecek rekam pembayaran utang seseorang dan memberi skor tertentu untuk menentukan apakah ia layak diberi pinjaman atau tidak. Menurut riset CIPS, hanya 10% dari orang Indonesia yang tercatat di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) sehingga sulit bagi bank untuk menilai apakah seseorang layak diberi pinjaman atau tidak.

Dengan kemajuan teknologi, terutama dengan memanfaatkan big data, perusahaan pinjaman online memiliki solusi untuk menilai kelayakan seseorang melalui alternative credit scoring. Biasanya, mereka menggunakan data dari pola transaksi di e-commerce, tagihan rekening air dan listrik, pemakaian pulsa, dan lain sebagainya. Ini yang membuat proses assessment dan pencairan pinjaman online bisa jauh lebih cepat dibanding pinjaman di bank.

Mudahnya pengajuan pinjaman ini membuat pinjol sudah mengalirkan kredit mencapai Rp128,7 triliun per September 2020. Jumlahnya melonjak 113 persen dari September 2019. Dalam pidatonya beberapa hari yang lalu, Pak Jokowi juga mengapresiasi hal ini.

Nah, jika pinjaman online ini ternyata diatur ketat oleh OJK dan AFPI, dan dia juga memanfaatkan teknologi untuk menjangkau masyarakat yang tidak terlayani oleh bank, terus apa yang salah?

Ternyata, ada persoalan di level literasi digital dan finansial masyarakat Indonesia. Berdasarkan survei OJK di 2019, literasi finansial Indonesia hanya sebesar 38,03%. Artinya, mayoritas masyarakat Indonesia belum paham berbagai macam produk jasa keuangan serta risiko-risiko yang menyertainya.

Kondisi ini diperparah dengan literasi digital Indonesia yang belum mencapai kategori “baik”, tapi masih “sedang” yaitu di angka 3.47. Artinya, masyarakat Indonesia masih gampang terpengaruh oleh misinformasi di internet, termasuk soal pinjol. Peningkatan literasi ini tentu menjadi PR besar bagi kita. Jika literasi meningkat, maka masyarakat akan semakin cerdas memilih layanan keuangan yang ia butuhkan, dengan memperhitungkan setiap risikonya.

 

Komentar