Oleh: Rian Ernest
Kita bersyukur dan berterima kasih kepada Pak Jokowi dan DPR yang sudah menyetujui amnesti bagi seorang Dosen di Aceh. Apa yang terjadi? Apa saja catatan kita? Mari disimak di Kacamata Rian Ernest.
Saiful Mahdi, seorang dosen, seorang pemikir yang mencoba menuangkan pemikirannya terhadap institusi akademik tempat ia bekerja. Sejatinya institusi akademik adalah tempat tarungnya pemikiran, bukan kuat-kuatan otot atau adu kekuasaan.
Tapi Saiful kalah dalam hukum. Ia dikenakan UU ITE.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Saiful Mahdi, Dosen Jurusan Statistika FMIPA Universitas Syiah Kuala Aceh yang sudah 25 tahun mengajar dilaporkan ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik. Kasusnya berawal dari kritik Saiful terhadap penerimaan CPNS untuk posisi dosen di Fakultas Teknik, pada Maret 2019, melalui grup WhatsApp yang berisi 100 dosen Unsyiah.
Katanya, “Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup? Gong Xi Fat Cai! Kenapa ada fakultas yang pernah berjaya kemudian memble? Kenapa ada fakultas baru begitu membanggakan? Karena meritokrasi berlaku sejak rekrutmen hanya pada medioker atau yang terjerat “hutang” yang takut meritokrasi.”
Itu adalah pesan dosen Saiful yang menyebabkan ia berhadapan dengan hukum dan akhirnya dipenjara hari ini.
Saiful mengkritik berkas perkara yang diduga tak sesuai syarat, tetapi tetap diloloskan oleh pihak kampus. Akibatnya, ia diperkarakan oleh Dekan Fakultas Teknik Unsyiah menggunakan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE. Saiful diduga mencemarkan nama baik.
Berikutnya, 21 April 2020 Saiful kalah di Pengadilan Negeri Banda Aceh. Di Pengadilan Tinggi dia juga kalah. MA juga menolak kasasinya pada tanggal 29 Juni 2021.
Saiful berjuang sebaik-baiknya, bahkan sampai MA. Namun tetap dinyatakan kalah.
Berikut catatan saya. Pertama. Seharusnya aturan Surat Keputusan Bersama Menkominfo, Jaksa Agung dan Kapolri tentang Pedoman Implementasi atas pasal UU ITE bisa dikenakan terhadap Saiful. SKB ini terbit pada 23 Juni 2021, yakni enam hari sebelum putusan kasasi MA.
Hakim di tingkat kasasi seharusnya memperhatikan SKB UU ITE tersebut. Kenapa? Karena hakim pada tingkat kasasi sejatinya harus memeriksa penerapan hukum terhadap putusan di bawahnya. Apabila Saiful Mahdi mengungkap pendapatnya dalam WAG yang tertutup, artinya yang tidak bisa sembarang orang masuk, seharusnya perbuatan Saiful tidak merupakan penghinaan/pencemaran nama baik. Itu menurut SKB UU ITE.
Salah satu prinsip dalam hukum pidana Indonesia, yang ada di KUHP saat ini, dan juga ada dalam draft RKUHP adalah “Apabila ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.”
SKB ini terbit enam hari sebelum putusan kasasi MA. Seharusnya hakim MA memperhatikan dan menjadikan SKB ini sebagai dasar memberikan hukuman.
Entah mengapa, fakta yang sangat penting ini terlewatkan oleh Hakim Mahkamah Agung. Hakim juga harusnya memperhatikan sentimen di masyarakat, DPR dan Presiden tentang bahayanya penerapan UU ITE.
Hakim seharusnya tidak bergerak di ruang hampa. Harusnya hakim memahami perkembangan di masyarakat. SKB UU ITE seharusnya menjadi pagar dan rambu bagi penegak hukum dalam menerapkan pasal UU ITE yang merupakan pasal karet.
Nah, tindakan hakim MA yang mengabaikan SKB ini akan menjadikan SKB ini seperti tidak ada lagi harganya. Itu pertama.
Catatan Kedua. Saiful Mahdi tidak menunjuk hidung seseorang loh, saat mengirimkan pesan tersebut. Lalu pertanyaannya, mengapa dekan fakultas teknik ini jadi merasa terhina? Inilah bahayanya UU ITE, suatu aturan yang tidak ketat dan juga tidak jelas pengaturannya. Orang-orang bisa jadi bebas merasa terhina dan kemudian apa? Memenjarakan orang lain.
Untunglah Pak Presiden memberikan amnesti. Untunglah DPR di hari terakhir sebelum reses akhirnya memberikan persetujuan amnesti bagi seorang Saiful Mahdi. Ini adalah amanat UUD kita, Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR dalam memberikan amnesti.
Saya berharap, Kapolri, Jaksa Agung dan Ketua MA dapat memastikan isi SKB 3 menteri ini untuk dimengerti, dipahami dan diterapkan seluruh aparat penegak hukum.
Saya juga berharap agar UU ITE segera direvisi. Janganlah DPR dan Pemerintah ngebut kalau revisi UU Mineral Batubara, membuat Omnibus Law, merevisi UU Perpajakan, atau membuat UU Badan Usaha Milik Desa. Tapi jangan sampai kita melupakan UU yang bisa zalim seperti UU ITE. Ini harus direvisi segera.
Atau jangan juga kita melupakan RUU Perampasan Aset, yang bisa dengan sangat jitu menekan praktik korupsi tanpa harus sedikit-sedikit OTT, atau sedikit-sedikit memenjarakan aktor politik terus-menerus. Untuk RUU ini saya sudah pernah bahas di video saya sebelumnya.
Semoga! Kita terus berharap pemberantasan (penyalahgunaan) hukum di negeri kita semakin baik. Saya juga berharap negeri kita semakin jaya!