Oleh: Dara Nasution
Hari ini kita akan bahas soal Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Kalian pernah gak sih ngerasa kenapa KPI kok selalu jadi bahan ketawaan? Kenapa sih lembaga yang dicita-citakan punya tujuan mulia mengawal dunia pertelevisian Indonesia ini, kok gak memenuhi harapan itu?
Saya dulu adalah orang yang percaya dengan KPI. Saya percaya dulu KPI masih diperlukan untuk mengawal stasiun televisi nasional yang menggunakan frekuensi publik. Namun, belakangan saya mulai percaya bahwa KPI mestinya sih dibubarkan saja.
Hari ini, kita akan ngebahas itu dari sisi legitimasi KPI sebagai lembaga publik.
Singkatnya, legitimasi itu berarti seberapa jauh masyarakat mau menerima dan mengakui kewenangan sebuah institusi atau kebijakan pemerintah. Kalau sebuah lembaga sudah diakui oleh masyarakat, maka ia akan lebih mudah menjalankan tugas-tugasnya.
Sumber legitimasi itu ada dua, yaitu input-oriented dan output-oriented legitimacy. Gampangnya nih, input-oriented ini mengecek apakah publik terlibat dalam pembentukan kebijakan atau lembaga. Dalam kasus KPI, input-oriented berarti menyoroti proses seleksi para komisioner KPI yang dipilih oleh anggota DPR sebagai wakil rakyat.
Mari kita melihat ke belakang, apa yang terjadi dalam proses seleksi komisioner KPI yang bertugas sekarang. Di tahun 2019, Ombudsman Republik Indonesia menemukan bahwa Panitia Seleksi Anggota KPI terbukti melampaui kewenangannya dalam proses seleksi anggota KPI Pusat periode 2019-2022. Pansel Anggota KPI Pusat dinilai terbukti melakukan tindakan maladministrasi. Kok bisa?
Kejanggalan ini bermula ketika pada Maret 2019 lalu beredar 27 nama calon anggota KPI yang lolos seleksi oleh Panitia Seleksi Anggota KPI untuk kemudian mengikuti uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) di DPR.
Salah seorang kandidat bernama Supadiyanto menemukan namanya dalam daftar tersebut. Namun Kementerian Kominfo membantah daftar itu. Pada 19 Juni 2019, keluar daftar berisi 34 nama calon anggota yang lolos mengikuti fit and proper test yang diumumkan oleh Komisi I DPR. Nama Supadiyanto dan sejumlah calon hilang dari daftar itu.
Atas kejanggalan tersebut, Ombudsman menemukan pelanggaran administrasi berupa tidak adanya petunjuk teknis mengenai mekanisme seleksi calon anggota KPI Pusat, serta tidak adanya standar penilaian baku yang dijadikan rujukan untuk menentukan nama peserta seleksi yang lolos.
Jadi, bisa dibilang bahwa 9 orang Komisioner KPI yang menjabat sekarang terpilih melalui proses yang cacat administrasi, menurut temuan Ombudsman.
Tadi kita sudah bahas input-legitimacy atau proses keterlibatan publik dalam pemilihan komisioner. Aspek kedua adalah output-oriented legitimacy, yang fokus terhadap hasil kerja dari sebuah lembaga, apakah ia berhasil memenuhi tugasnya atau tidak.
Mari kita lihat apa kewenangan KPI. Menurut Pasal 8 ayat (2) UU Penyiaran, KPI mempunyai wewenang: 1. Menetapkan standar program siaran ; 2. Menyusun peraturan dan pedoman perilaku penyiaran ; 3. Mengawasi pelaksanaan Peraturan dan Pedoman Perilaku Penyiaran serta Standar Program Siaran. 4. Memberikan sanksi terhadap pelanggaran P3SPS; 5. Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat.
Dengan sederet kewenangan itu, keberadaan KPI mestinya membuat tayangan di televisi nasional kita lebih berbobot. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. KPI membiarkan sinetron azab yang tidak masuk akal tetap tayang di media, asalkan ada ‘nilai-nilai’ dari tayangan itu.
(video: https://twitter.com/QnA_MetroTV/status/1177825940254023682)
Saya sih gak paham ya, nilai apa yang dimaksud oleh KPI.
Televisi kita juga penuh dengan sensor-sensor yang menghina akal sehat, seperti sensor terhadap tokoh Shizuka di Doraemon, Shandy di SpongeBob, dan sederet sensor aneh lainnya. KPI sih selalu buang badan dan berdalih yang menyensor itu stasiun TV, bukan KPI. Tapi, mestinya KPI introspeksi diri, bukannya sensor berlebihan ini adalah pertanda bahwa KPI gagal menyosialisasikan apa yang boleh dan tidak boleh tayang di TV? Dan bila masyarakat masih menganggap sensor ini adalah kerjaan KPI, bukankah itu berarti KPI gagal menyosialisasikan apa batas kewenangannya kepada masyarakat?
Di tahun 2018, KPI juga melayangkan peringatan keras kepada 11 stasiun televisi yang menayangkan iklan Shopee BlackPink. Siaran iklan tersebut dinilai tidak memperhatikan ketentuan tentang penghormatan terhadap norma kesopanan. Padahal, dalam P3SPS menyebutkan pelanggaran terjadi apabila terdapat tampilan yang, “mengeksploitasi dan/atau menampilkan bagian-bagian tubuh tertentu, seperti paha, bokong, payudara secara close up dan/atau medium shot. Hal itu, sayangnya, tidak ditemukan dalam iklan BlackPink. Saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya komisioner KPI paham gak sih dengan semua aturan yang ada di P3SPS?
Terakhir, hasil kerja KPI juga bisa dilihat dari kasus terbaru soal dugaan pelecehan seksual dan bullying yang terjadi di kantornya sendiri. Korban yang berinisial MS mengaku pelecehan seksual itu terjadi di tahun 2015 dan telah melaporkan kejadian yang menimpanya kepada pimpinan KPI di tahun 2017, namun KPI tidak mengambil tindakan tegas selain memindahkan ruangan pelaku.
Ketika korban berani bersuara di media sosial dan kasusnya membesar, ada berbagai dugaan kejanggalan dalam penanganan kasus ini. Ada dugaan bahwa korban MS dipaksa agar berdamai dengan pelaku. KPI juga mengatakan telah melakukan investigasi internal, tetapi belakangan, KPI menolak membuka hasil investigasi itu ke publik. Sebagai lembaga yang dibiayai oleh uang pajak rakyat, seharusnya KPI membuka hasil temuannya terhadap kasus ini.
Dari sini, kita bisa melihat bahwa selama bertahun-tahun, KPI gagal menunjukkan hasil kerja yang positif ke masyarakat. Bagaimana mungkin lembaga yang tidak mampu menyelesaikan kasus pelecehan seksual di kantornya sendiri, diharapkan dapat mengawal moral bangsa lewat tayangan televisi nasional?
Sepertinya memang satu-satunya jalan keluar adalah membubarkan KPI dan membentuk lembaga baru yang lebih kredibel. Kalau KPI yang sekarang tetap dipertahankan, lembaga yang tidak memiliki legitimasi ini akan terus-menerus menjadi bahan tertawaan oleh rakyat Indonesia.
Saya mau tanya deh sama penonton Cokro TV, apa kita rela, Rp60 miliar pajak yang kita bayar, dibuat untuk mendanai lembaga yang hobi mengkikis marwahnya sendiri pelan-pelan?
Dan menurut kalian, KPI itu masih pantas dipertahankan atau lebih baik dibubarkan saja?