DIORAMA PATUNG ITU GAK HARAM, JENDERAL!

Oleh: Akhmad Sahal

Prasangka Jenderal Purnawirawan Gatot Nurmantyo bahwa pembongkaran diorama patung penumpasan PKI di Markas Kostrad itu bukti kebangkitan PKI di tubuh TNI ternyata fitnah belaka.

Dalam kenyataannya, pembongkaran diorama patung tersebut itu justru dilakukan oleh Letjen Purnawiraan Azmyn Yusri Nasution (AY Nasution) yang juga sebenarnya turut membangun diorama patung tersebut.

Nah, di sini saya tidak akan membahas fitnahan dan tuduhan pak Gatot yang selalu muncul setiap September, soal tuduhan PKI dan seterusnya. Ini lagu lama yang diulang-ulang dan membosankan.

Saya justru tertarik dengan sikap Letjen (Purn) Azmyn Yusri Nasution terhadap patung karena sikapnya tersebut menurut beliau berdasarkan pandangan agamanya, yaitu Islam.

Jadi, menurut beliau Islam melarang orang membuat dan menyimpang patung. Betulkah demikian?

Sebenarnya soal sikap pribadi Letjen (Purn) Azmyn Yusri Nasution itu harus kita hormati, itu hak beliau.

Tetapi, bagi saya pandangan semacam ini tidak bisa menjadi dasar bagi keputusan Kostrad, atau keputusan TNI untuk memindahkan patung tersebut atau membongkar patung tersebut.

Kenapa? karena sebenarnya soal ini, soal hukum Islam; hukum patung menurut Islam itu bukan sesuatu yang fixed yang permanen.

Hukum patung menurut Islam, itu singkatnya, nanti akan saya uraikan ya!.

Singkatnya ya itu, dia merupakan sesuatu yang dosa kalau disembah. Jadi, kalau enggak disembah ya nggak dosa.

Jadi, membuat patung, menyimpan patung itu merupakan sesuatu yang haram kalau disembah. Artinya, kalau tidak disembah ya tidak haram.

Saya ingin mengambil rujukan dari beberapa kitab, dari beberapa ulama, misalnya yang dikatakan oleh Rasyid Ridha, Syaikh Rasyid Ridha; editor atau pemred majalah al-Manar yang terkenal asli Mesir ya awal abad 20.

Dalam kitabnya Fatawa, Rashid Ridha membahas hukum lukisan dan patung dengan memeriksa sejumlah hadits yang memang bernada keras terhadap pembuat patung dan pembuat gambar. Misalnya, ada hadits yang bunyinya begini: “Sesungguhnya orang yang paling besar siksanya di hari kiamat adalah para penggambar atau pematung. Di Hari Akhir, penggambar atau pematung akan ditantang oleh Allah untuk memberi roh kepada karya-karyanya karena mereka telah menyaingi Tuhan.

Nah, Rashid Ridha selain membahas soal hadits tersebut juga menelaah pandangan para ulama klasik tentang keharaman lukisan dan patung.

Dari telaahnya tersebut, Rashid Ridha lalu menyimpulkan bahwa patung itu diharamkan zaman itu, karena ia diperlakukan sebagai berhala yang disembah dan patung itu diharamkan agar orang-orang di kemudian hari tidak menjadikan patung sebagai sesembahan.

Nah, ini dasarnya dalam hukum Islam itu namanya ‘sadd al-dzari’ah’, yakni melarang sesuatu yang sebenarnya bukan hal terlarang, tetapi karena sesuatu tersebut dianggap bisa menjadi jalan dan perantara bagi perbuatan haram, maka ia menjadi haram.

Nah, masalahnya sebuah hukum berdasarkan ‘sad al-dzari’ah’ tadi ya, melarang sesuatu karena itu menjadi perantara bagi yang haram itu tidak permanen, itu sangat situasional.

Sesuatu bisa dianggap sebagai perantara keharaman pada zaman dan tempat tertentu, dan karena itu haram. Tapi manakala dia tidak menjadi perantara bagi yang haram, ya hukumnya ga haram.

Dengan kata lain, keharaman patung di masa lalu tak bisa serta merta diterapkan pada era sekarang. Ini kesimpulan Rashid Ridha.

Bagi Ridha, pada masa modern, lukisan dan patung justru bermanfaat untuk publik, misal ya dalam kedokteran ada gambar tubuh manusia, itu kan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, dalam dunia kemiliteran ada juga patung-patung yang dipakai untuk tujuan strategi militer, dalam kesenian dan juga dalam pelajaran sejarah.

Hal-hal semacam ini tak bisa serta merta dihukumi haram, melainkan justru ya mubah, atau bahkan justru penting perlu karena memang tidak ada unsur penyembahan di situ, nggak ada tujuannya untuk menyembah. Bahkan tak jarang, ini masih kata Rashid Ridha ya, patung dan lukisan itu diperlukan justru demi kemanfaatan publik, seperti pendidikan dan estetika atau kesenian.

Jadi, diorama patung PKI itu kan tujuannya untuk kepentingan pendidikan sejarah agar orang mengingat tentang kasus PKI dan kekejaman PKI dan seterusnya, justru jangan dibongkar pak, pak jenderal karena itu bernilai pendidikan sejarah, nggak ada haramnya sama sekali. Siapa sih yang mau menyembah diorama patung gitu loh?

Fatwa Ridha tersebut sejatinya sejalan dengan pandangan gurunya, Syaikh Muhammad Abduh, salah seorang pemikir dan tokoh pembaharuan Islam dari Mesir yang sangat terkenal. Abduh pernah menulis tentang lukisan dan patung sehabis beliau melawat, melakukan perjalanan ke Sisilia, Italia. Abduh takjub dengan orang-orang Sisilia (Al-Shiqliyyun dalam bahasa Arabnya) yang memiliki kepedulian kuat terhadap kesenian, khususnya patung dan lukisan. Kepedulian mereka untuk merawat patung dan lukisan, menurut Abduh, itu mirip dengan yang dilakukan oleh orang-orang muslim Arab pada awal sejarah Islam, orang-orang muslim pada awal sejarah Islamlah, nggak hanya Arab ya yang menghapalkan puisi-puisi pra-Islam.

Nah, patung dan lukisan itu, bagi Abduh, itu ya seperti puisi, hanya saja beda medium, beda bentuk, beda sosoknya saja. Kalau lukisan dan patung adalah “puisi yang terlihat, tapi tak terdengar,” sedangkan puisi, syi’ir dalam bahasa Arab adalah “lukisan yang terdengar, tapi tak terlihat”.

Jadi, saya ulang lagi ya, jadi lukisan dan patung itu adalah puisi yang terlihat, tapi tak terdengar, maka puisi itu sejatinya adalah “lukisan yang terdengar, tetapi tak terlihat. Jadi, sebenarnya nggak ada bedanya menurut Abduh ya.

Lalu apa fungsinya lukisan atau patung? Iya sama dengan puisi. Jadi, sebagaimana puisi, lukisan dan patung itu berfungsi sebagai media bagi keragaman ekspresi kehidupan manusia dan masyarakat, individu dan komunitasnya. Seperti halnya sastra, lukisan dan patung itu adalah dalam istilah Abduh “diwanul hai’at wal ahwal al-basyariyyah,” buku yang menampung ragam situasi dan hal ihwal manusia sekaligus menggambarkan manusia dalam berbagai situasi kejiwaan, emosi dan kepribadiannya.

Nah, menurut syaikh Muhammad Abduh, dulu patung dan lukisan itu diharamkan karena memang dianggap menyebabkan orang lupa kepada Allah, itu lahwun. Dan itu menjadi objek penyembahan. Itu dulu, katakan saja zaman pra modern lah, itu memang terkait erat dengan tradisi paganisme masyarakat Arab, masyarakat penyembah berhala pada masa itu. Jadi, patung dan lukisan saat itu memang menjadi sarana bagi perbuatan syirik, perbuatan menyekutukan Allah.

Nah, ketika alasan yang mengarah pada syirik tersebut tidak lagi ditemukan saat ini, iya otomatis status hukumnya berubah. Hukum patung dan lukisan nggak lagi haram, melainkan boleh-boleh saja gitu.

Mungkin ada yang bertanya ya? tapi bagaimana kalau patung dan lukisan yang ada sekarang nanti tiba-tiba menjadi obyek sesembahan nanti nggak tahu kapan.

Dari pada nanti ada kemungkinan syirik untuk menghindari kemungkinan syirik nanti, apa nggak lebih baik lukisan dan patung dilarang saja? jadi, masih memakai argumen tadi ‘sadd al-dzari’ah’, demi menghindarkan keharaman, jalan yang menuju haram ini haramkam juga.

Abduh tidak setuju dengan cara pandang seperti itu, Abduh menampik, menolak pandangan begitu dan memakai analogi yang sarkastis, kata Abduh, “lidah itu kan punya kemampuan untuk berbohong. Apakah karena itu lantas perlu diikat, biar nggak bisa bicara sama sekali?”, ini kan absurd.

Jadi, intinya baik Muhammad Abduh maupun Rashid Ridha, dua ulama awal abad 20 ini sama-sama mempertimbangkan perubahan ruang dan waktu dalam melihat hukum patung. Jadi, pengharaman patung di masa lalu itu terkait dengan tujuan pembuatannya, yaitu untuk disembah, sehingga apabila tak ada tujuan itu, misalnya untuk kepentingan diorama, untuk kepentingan sejarah, pendidikan sejarah bagi generasi masa kini otomatis gak haram lagi, keharamannya tidak berlaku.

Tentu saja, Rashid Ridha dan Abduh menyadari ada sejumlah hadits yang tadi disebutkan tentang lukisan dan patung. Tapi dua ulama ini sadar, bahwa putusan hukum syar’iat tidak hanya berpatokan pada satu dua hadits saja, melainkan harus juga mempertimbangkan alasan atau illat atau rasio logis yang mendasari hukum tersebut.

Jadi, ada satu kaidah atau prinsip dalam hukum Islam begini “Al hukmu yaduru ma’al ‘illati wujudan wa ‘adaman, berlaku tidaknya suatu hukum, itu bergantung pada ada atau tidaknya alasan atau illat yang mendasari hukum tersebut. Kalau ada alasannya berarti hukum itu berlaku, kalau alasan itu tidak ada, ya tidak berlaku lagi.

Jadi, ini semacam kontekstualisasi hukum Islam, dan ini sesuatu yang justru niscaya. Pemahaman kita tentang hukum Islam, setidaknya di luar domain ibadah ya, domain ritual, itu harus selalu diperbarui sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat, patokannya adalah kemaslahatan, kemaslahatan bagi masyarakat.

Iya seperti diorama itu kan berguna bagi masyarakat untuk pendidikan sejarah.

Nah, kalau kita memahami hukum Islam dengan cara begitu, justru kita bisa menunjukkan bahwa Islam itu sejatinya memang “Shalihun li kulli zamanin wa makan”, relevan untuk segala waktu dan tempat.

Kalau tidak dipahami dengan cara mempertimbangkan konteks ruang dan waktu yang berubah. Islam, pemahaman keislaman justru akan terpenjara oleh masa lalunya sendiri, menjadi agama yang terpuruk dalam kebekuan dan keterbelakangan seperti yang kita saksikan dan dipraktekkan oleh Taliban di Afghanistan.

Dan kita nggak mau, keislaman di Indonesia menjadi Islam Taliban.

 

Komentar