Oleh: Syafiq Hasyim
Keinginan sebagian besar umat Islam di Indonesia agar Indonesia menjadi juru runding untuk urusan damai adalah perkara yang luhur. Saya kira keinginan seperti itu harus kita dukung dan pantas bagi Indonesia sebagai negeri berpenduduk Muslim terbesar.
Namun keinginan itu mungkin tidak sederhana untuk diwujudkan. Untuk meyakinkan pihak lain bercermin pada kita, maka kita harus menjadi cermin yang bening dan bersih. Katakanlah ketika kita ingin menjadi juru runding dan pelopor damai di negeri-negeri Muslim lain yang konflik. Kita sadari dari awal juga harus menghitung apa yang kita jadikan sebagai bahan kita agar pihak lain, yang berkonflik atau berperang, percaya bahwa kita mampu menjadi teladan yang baik bagi mereka.
Selama ini kita, umat Islam di Indonesia, selalu merasa bahwa keberhasilan Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar bisa ditularkan kepada pihak lain, terutama pihak yang sedang berkonflik. Kita merasa bahwa toleransi, kerukunan umat beragama, kehidupan yang harmonis yang dicapai di negeri kita bisa kita ekspor ke negeri lain yang sedang dirundung konflik dan perang antar-saudara, antar-etnis dan antar-pemeluk agama. Kita juga merasa yakin bahwa kedamaian umat Islam dan umat-umat beragama yang selama ini kita klaim sudah mapan di Indonesia bisa dijadikan sebagai model kedamaian bagi negeri lain.
Kerelaan Indonesia sebagai negeri berpenduduk Muslim terbesar yang tidak menggunakan sistem politik Islam atau syariah juga sering kita dengung-dengungkan sebagai “kekecualian” Indonesia. Di sini sistem negara Pancasila menjadi sistem ideologi yang dibicarakan oleh negara-negara lain. Banyak negeri yang memberikan pujian pada ideologi Pancasila karena kemampuan ideologi ini, secara historis, menjadi perekat seluruh warga Indonesia untuk menjadi warga Indonesia. Masih banyak hal lain yang sering dijadikan alasan mengapa layak bagi kita untuk memimpikan negeri kita menjadi juru damai bagi negeri-negeri lain, terutama negeri Muslim yang bertikai.
Namun apakah modal itu cukup? Jika hal-hal yang ideal di atas berjalan dan bisa kita jalankan, maka pengalaman Indonesia dalam mengelola diversitas agama, keyakinan, dan suku memang layak menjadi model. Indonesia pernah diminta untuk memediasi konflik Mindanao, konflik yang terjadi antara kelompok Muslim dan pemerintah Philipina. Indonesia juga pernah diminta menjadi mediasi di negeri-negeri lainnya.
Untuk Afghanistan, sebagai misal, Indonesia ikut berperan aktif dalam menjembatani urusan damai sejak lama. Keterlibatan Indonesia tidak hanya diwakili oleh pihak penguasa atau pemerintah, namun juga oleh pihak masyarakat yang diwakili terutama oleh Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan juga MUI.
Dialog-dialog antar-ulama dilakukan oleh kedua negara. Bahkan Nahdlatul Ulama memiliki cabang istimewa di Afghanistan. Hal itu semua bisa terjadi karena visi keagamaan Indonesia dan Afghanistan bisa dipertemukan. Antara ulama-ulama Indonesia dan ulama-ulama Afghanistan juga bisa berdialog lewat bahasa keagamaan mereka karena adanya titik temu paham keagamaan di antara mereka. Di sini, Indonesia nampaknya memang menjadi model yang bisa ditawarkan untuk Afghanistan pada saat itu.
Kini Afghanistan berubah. Negeri ini sejak sebulan lalu atau beberapa saat lalu dianeksasi oleh Taliban.
Pertanyaannya, bagaimana dengan peran Indonesia sebagai juru damai untuk rezim Taliban? Apakah kita, Islam Indonesia, atau negeri Indonesia, bisa menjadi penengah atau bahkan mensupport rezim Taliban?
Sejauh ini memang belum ada kabar tentang permintaan resmi pemerintahan Taliban pada pemerintah Indonesia soal peran aktif dan konstruktif negeri kita pada mereka. Namun jika diminta untuk berkontribusi menjadi juru damai, jelas itu bukan perkara yang mudah.
PKS selama ini adalah pihak yang sangat gigih meminta agar pemerintah Indonesia langsung mendukung Taliban sebagaimana dinyatakan oleh Hidayat Nur Wahid. Baginya, mendukung Taliban adalah pilihan rasional Indonesia. Hidayat Nur Wahid juga mengatakan jika Taliban kini akan menjadi Taliban yang lebih moderat. Taliban bukan ISIS dan juga bukan Wahhabi.
Pernyataan ini dimunculkan pada masa awal-awal Taliban merangsek Afghanistan. Baru berjalan kira-kira sebulan-dua bulan ini, kini pemerintahan Taliban setelah mengumumkan kabinet resminya, sudah banyak melakukan perubahan kebijakan yang mencerminkan karakteristik asli dari mereka. Di awal-awal kekuasaannya, Taliban memang mengatakan akan menghormati instrumen internasional atau perjanjian-perjanjian internasional. Perempuan juga akan diberi hak selama mengikuti syariah.
Namun lambat-laun, Taliban menampakkan wataknya yang asli. Kelompok-kelompok yang melawan Taliban dan ajaran keagamaan yang dibawanya mulai terancam. Kaum perempuan yang dijanjikan memiliki hak mereka di ruang publik, janji itu mulai tidak dipenuhi. Kaum Taliban mulai memperkenalkan konsep mereka tentang pemerintahan syariah menurut mereka.
Menteri Pendidikan berlatarbelakang Taliban mengatakan, “jika perempuan boleh belajar, namun tidak bisa dilakukan bersama-sama dengan kaum laki-laki.” Bahkan ulama Taliban yang lebih konservatif mengatakan jika perempuan sama sekali tidak boleh ikut dalam pendidikan dan juga tidak boleh kerja.
Hal ini pernah dilaksanakan Taliban pada tahun 1996-2001, ketika mereka berkuasa di Afghanistan. Taliban kini mengusulkan kurikulum yang diajarkan untuk kaum perempuan harus diubah, harus disesuaikan dengan syariah, sekali lagi menurut versi mereka.
Hal yang ingin saya pikirkan adalah pertama, antara Islam Indonesia dan Islam model Taliban memiliki prinsip yang berbeda soal bentuk pemerintahan dan juga soal dasar pemerintahan. Di sini, Indonesia mau tidak mau akan mentolerir mereka, sebab urusan pemerintah menjadi hak mereka, meskipun sistem yang mereka terapkan mengorbankan banyak nasib kaum perempuan.
Kedua, karena perbedaan di atas, maka dikhawatirkan Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa, terutama untuk menekankan penghormatan pada hak-hak asasi manusia, terutama hak asasi kaum minoritas dan juga kaum perempuan.
Ketiga, Indonesia juga dikhawatirkan akan menjadi negeri yang “friendly” pada rezim Taliban. Kita tahu bahwa Taliban memang fenomena tahun 90-an, namun cara pandang Taliban tentang politik, memiliki kesamaan dengan cara pandang kaum jihadis alumni Afghanistan yang ada di Indonesia.
Keempat, keterlibatan Indonesia pada Taliban dikhawatirkan membuka inspirasi baru untuk berjihad bagi kelompok-kelompok jihadis di Indonesia.
Sebagai catatan, saya ingin mengatakan di sini, jika keterlibatan Indonesia tidak bisa mempengaruhi Taliban untuk penghormatan pada hak-hak asasi manusia, maka sebaiknya kita tidak usah terlibat atau lebih baik diam pada persoalan Taliban.
Lebih baik lagi apabila kita mensupport rakyat Afghanistan yang menjadi korban pemerintahan Taliban, terutama kaum perempuan, anak dan kelompok-kelompok marginal. Kita tidak bisa mengatasnamakan solidaritas keumatan global untuk masalah ini, karena solidaritas keumatan diyakini Indonesia diikatkan oleh tujuan-tujuan universal Islam yakni menjaga nyawa, menjaga keyakinan, menjaga nalar, menjaga kekayaan dan juga menjaga keturunan.