PROVOK4SI ALFIAN TANJUNG MEMFITNAH TENAGA KESEHATAN!

Oleh: Eko Kuntadhi

Hari-hari belakangan ini lonjakan kasus Covid-19 terus terjadi. Dua hari berturut-turut saja di Jakarta lonjakan sampai 5000 orang lebih positif Covid-19. Jakarta sendiri menyumbang hampir separuh dari kasus Covid-19 nasional. Selain Jakarta, yang juga mengkhawatirkan adalah Jawa Barat dan Jawa Tengah, juga Jawa Timur.

Di Jakarta, Wisma Atlet hampir full sekarang. Rumah Sakit di Jateng dan Jabar juga tidak kalah repotnya. Kapasitas tempat tidur sudah mendekati ambang batas.

Gubernur Jateng Ganjar Pranowo hampir setiap hari keliling daerahnya. Berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Kota di wilayahnya. Mendatangi nakes yang sedang berjuang. Juga berkeliling wilayah untuk mengingatkan masyarakat agar tidak lupa pakai masker.

Sementara gubernur Jakarta juga gak kalah sibuk. Minggu kemarin ia naik sepeda menyusuri Jalan Sudirman. Membanggakan jalur sepeda hasil kreasinya yang oleh Kapolri, mau kabarnya mau dibongkar karena melanggar aturan Lalu Lintas.

Iya sih, masing-masing kepala daerah memang punya cara tersendiri untuk bekerja.
Sayangnya di masyarakat kini banyak beredar provokasi yang membahayakan, berkenaan dengan Covid-19. Coba kita dengar celotehnya Alfian Tanjung yang bikin miris ini.

Dai yang baru saja keluar dari tahanan karena omongannya yang penuh hoax dan kebencian, kini memanfaatkan kepanikan publik karena pandemi.

Yang paling gila, Alfian menuduh RS-RS kita, bukannya menyembuhkan pasien Covid-19 malah justru membuat pasiennya meninggal.
Gila kan?

Omongan ini sangat menyakitkan bagi tenaga kesehatan kita. Para dokter dan perawat yang berjuang di garis depan melawan wabah dengan mengorbankan keselamatannya sendiri, oleh orang kayak Alfian ini dituding dengan fitnah yang paling keji.

Alfian membangun logika hoaxnya, kata dia, kenapa sih dulu Anies Baswedan saat terserang Covid-19 tidak mau ke RS? Karena katanya, semua yang dibawa ke rumah sakit meninggal.

Ia menyebut sederet nama rekannya yang terkena Covid-19, yang kebetulan wafat di RS. Katanya itu para ustad. Kita gak pernah berpikir, dengan logika paling absurd dan berbahaya ini, yang diseburkan oleh orang-orang seprti ini kepada para pendengarnya.

Alfian seperti menuduh RS dan tenaga kesehatan kita membunuhi pasiennya. Padahal kalau dia mau mikir sedikit saja, lebih banyak orang yang sembuh di RS ketika dia terserang Covid—19 ketimbang yang meninggal. Yang sembuh kan sudah lebih dari satu juta tujuh ratus saat ini. Yang meninggal baru sekian puluh ribu.

Kedua, mereka yang meninggal karena Covid-19 lebih disebabkan karena penyakit bawaan yang diderita sebelumnya. Mau dia ustad, mau tukang rujak, atau direktur RS Ummi, kalau punya penyakit bawaan dan tertular Covid-19, risikonya lebih parah dibanding misalnya, kita-kita yang sehat sebelumnya.

Mungkin saja pilihan Anies Baswedan tidak mau ke RS karena dia sebetulnya secara fisik gak punya sakit bawaan. Sehingga dia bisa isolasi mandiri di rumah.

Mestinya Alfian mikir, sampai saat ini malah sudah ratusan tenaga kesehatan kita yang gugur dalam medan perang melawan Covid-19. Kalau dia membangun narasi bahwa justru pihak RS yang membuat orang meninggal, apakah para dokter, para tenaga kesehatan dan manajemen rumah sakit sengaja membunuhi rekan-rekan sejawatnya?

Iya, kita tahu, Alfian itu penceramah yang mulutnya sering sebar hoax. Ia pernah menuduh Istana Presiden sebagai sarang PKI. Keterlaluan kan?

Tapi sebetulnya kayak gini, para pembenci Indonesia, orang-orang yang hobi dan ingin melihat negara hancur memang selalu berusaha membuat suasana kacau. Dan Covid-19 saat ini adalah salah momentum untuk membuat keresahan publik yang pada ujungnya menjadi kekacauan.

Jika suasana nanti makin menggila akibat provokasi mereka, orang-orang seperti ini punya kesempatan untuk membuat eskalasi yang lebih besar lagi. Kepanikan dan ekonomi yang tersendat kemudian berakibat pada perut yang lapar, ini bisa menjadi senjata dan bom waktu untuk menghancurkan Indonesia.

Jadi Covid-19 ini dijadikan oleh mereka semacam momen untuk melancarkan aksinya.
Di lapangan, jadi bukan cuma di forum-forum dakwah, di lapangan mereka juga mulai memanasi situasi. Coba denger, di Bandung kabarnya ada semacam gerakan memprotes pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Mereka mau menggelar aksi turun ke jalan Dan risikonya apa? Risikonya kebijakan-kebijakan pemerintah untuk menahan Covid-19 akhirnya jadi tebengkalai.

Di jembatan Suramadu kemarin ada kericuhan karena penyekatan dan pemeriksaan Swab oleh petugas. Sebab di Bangkalan, Madura saat ini adalah daerah yang kasus Covid-19nya sangat tinggi.

Jadi mereka agak dihambat masuk ke Surabaya atau masuk ke Pulau Jawa. Dilakukan Swab, justru pada saat itulah kemudian pos yang melakukan Swab itu dihancurkan oleh masyarakat.

Di Jakarta, ada kedegilan lain lagi. Tahu kan pengacara Rizieq Shihab, dia malah berusaha mengkait-kaitkan tingginya kasus Covid-19 gelombang kedua di Indonesia ini, dengan waktu menjelang putusan sidang buat Rizieq. Nah ini sudah sakit jiwa level sembilan ini.

Pengacara ini mau membangun opini bahwa hanya untuk menyeret Rizieq ke penjara karena pelanggaran protokol kesehatan, maka katanya pemerintah sengaja membuat kasus Covid-19 ini meledak saat ini.

Ini kita gak bisa ngomong lagi dengan kegilaan seperti ini.

Semua tuduhan ini, muaranya cuma satu sebetulnya, menciptakan keresahan masyarakat yang bisa memantik untuk menjadi kerusuhan yang lebih besar lagi. Dan Covid-19 sekali lagi dianggap sebagai momentum yang tepat. Provokasi adalah senjatanya. Dan masyarakat yang minim literasi dijadikan pelurunya.

Dalam kondisi saat ini, aparat keamanan harus bekerja ekstra keras. Pertama, mereka diharapkan membantu menangani sebaran Covid-19 d wilayah masing-masing, dan kedua yang juga penting adalah mengejar para provokator yang membahayakan ini. Kita sedang resah jangan malah ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan mereka. Jangan biarkan mereka memanfaatkan bencana untuk melancarkan agenda-agendanya sendiri.

Mending kalau agendanya bagus. Paling sampul depannya hanya bergambar Hello Kitty.

Komentar