Oleh: Akhmad Sahal
Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas baru-baru ini mengecam keras Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Gak tanggung-tanggung dia bilang Yaqut sebagai “hilang akal.” Gara-garanya, Pak Menag meminta agar doa semua agama dibacakan di acara-acara Kementerian Agama. Gak hanya doa Islam saja. Seperti yang tadi kita saksikan di video.
Saya heran, kenapa sih setiap kali MUI ditampilkan di media massa, yang muncul lagi-lagi Anwar Abbas. Kepengurusan MUI baru kan isinya banyak tokoh-tokoh ulama dan intelektual Islam yang moderat, tapi kok gak pada muncul gitu. Ada apa? Tadinya saya dan banyak orang menaruh harapan dengan kepengurusan MUI sekarang, setidaknya karena tidak ada lagi sosok provokatif seperti Tengku Zulkarnain. Eh ternyata muncul Anwar Abbas yang 11-12 dengan Tengku Zul.
Saya jadi teringat kritikan KH Mustofa Bisri atau Gus Mus terhadap MUI beberapa tahun lalu, dan kritikannya menurut saya masih relevan. MUI itu sebenarnya makhluk apa sih? tanya Gus Mus. Bagi Gus Mus, MUI ini organisasi gak jelas. Parpol bukan, lembaga pemerintah bukan, ya hanya ormas biasa, organisasi kemasyarakatan keagamaan biasa, tapi kok ya dapat dana dari APBN.
Ada juga ketidakjelasan lain dari MUI ini, yaitu pada orang-orangnya. MUI ini sebagai organisasi, kata Gus Mus, itu tidak semua orang yang ada di situ adalah ulama, tapi banyak dari mereka yang hanya karena menjadi pengurus MUI terus merasa dirinya ulama.
Jadi kata Gus Mus, Asal jadi pengurus MUI terus kok disebut Ulama. Misalnya juru tulislah atau juru ketiklah atau apalah gitu, pengurus MUI itu seakan-akan langsung mendadak Ulama. Lalu gampang sekali mengeluarkan pandangan, fatwa yang seakan-akan itu adalah mewakili sikap MUI, dan lucunya banyak umat Islam yang mengikuti.
Masalahnya, MUI yang tadinya adalah organisasi ciptaan Orde Baru untuk mengkooptasi dan mengontrol umat Islam saat itu ya, belakangan merasa dirinya sebagai perwakilan resmi suara umat Islam. Jadi MUI selalu memberi kesan, masyarakat Muslim dan juga Pemerintah harus mengikuti MUI agar mendapat restu umat Islam. Kalau bertentangan dengan mereka, dengan organisasi ini lantas dicap sebagai melawan suara Islam.
Ironisnya, Pemerintah juga sering lembek dan tunduk terhadap MUI. Fatwa MUI dianggap sebagai sesuatu yang harus diikuti, seakan-akan itu adalah sebuah keputusan mutlak, yang bahkan dijadikan dasar bagi penyusunan hukum di negeri ini.
Padahal dalam Islam, dalam hukum Islam, fatwa ulama, jadi gak hanya MUI ya, fatwa ulama itu sebenarnya sekadar legal opinion, opini hukum dari ulama tersebut yang sama sekali tidak mengikat. Bahkan terhadap orang yang meminta fatwa. Jadi itu hanyalah pandangan hukum, opini hukum gitu. Opini hukum Islam ya.
Tapi nyatanya fatwa MUI itu seakan-akan menjadi sesuatu yang mutlak. MUI itu kan sebenarnya mengklaim sebagai lembaga yang punya slogan Islam wasatiyah dan itu jargon resmi mereka lho, Islam moderat. Tapi dalam kenyataannya yang tampil tidak seperti itu. Dan keberadaan KH Ma’ruf Amin sebagai Wapresnya Jokowi juga tak mampu membendung imej, bahwa MUI itu justru menampilkan pandangan-pandangan yang ekstrem.
MUI tetap tampil dengan pandangan keislaman yang kaku, sempit, pokoknya sama sekali gak moderatlah, gak wasatiyah.
Keberadaan Anwar Abbas yang sering tampil mewakili MUI memperkuat gambaran MUI semacam ini.
Misalnya pernyataan-pernyataan Waketum MUI ini sering manampilkan pandangan keislaman yang garis keras, cenderung nyinyir ke Pemerintah, bahkan sebelum tahu duduk-soalnya. Jadi misalnya ketika ada pelarangan FPI oleh Pemerintah, dia buru-buru menyerang Pemerintah dan tampil sebagai pembela FPI.
Ketika ada serangan teror bom bunuh diri di Makassar kemarin, Anwar Abbas secara tergopoh-gopoh melakukan denial, dan mengingatkan bahwa agar terorisme itu tidak dikaitkan dengan agama tertentu, dengan Islam.
Padahal pelaku bom bunuh diri itu sendiri yang mengaitkan tindakannya dengan Islam. Teroris itu sendiri yang merasa paling islami, yang meyakini bahwa tindakan terornya itu adalah jihad. Ini kan salah satu bentuk doktrin radikal tentang Islam yang harusnya menjadi perhatian MUI, tapi justru diabaikan oleh MUI dan juga oleh Anwar Abbas.
Islam tentu menolak dan mengutuk terorisme, tapi tidak bisa dimungkiri bahwa ada sekelompok orang Islam yang mengatasnamakan Islam, memakai Islam, ajaran Islam, misalnya soal Jihad untuk membenarkan tindakannya. Dan ini sesuatu yang harusnya dibenahi oleh MUI, tapi justru diabaikan.
MUI juga gak bertindak apa-apa tuh, mingkem saja ketika ada ustad abal-abal macam Yahya Waloni yang menyampaikan pernyataan-pernyataan yang radikal, menebar kebencian SARA, menyebar kebodohan atas nama Islam dan seterusnya.
Kembali ke soal kecaman Anwar Abbas terhadap Gus Yaqut, dengan menyatakan Gus Yaqut hilang akal hanya karena Gus Yaqut menyatakan bahwa Kementerian Agama itu acara-acaranya harusnya memberi kesempatan pada doa semua agama, sebenarnya ini menunjukkan bahwa Waketum MUI ini, Pak Anwar Abbas ini memang sektarian. Lha wong Menteri Agama itu kan meminta doa semua agama dibacakan itu kan di acara-acara Kementerian Agama.
Di mata Anwar Abbas, upaya Gus Yaqut itu justru malah dituduh sebagai penyeragaman atau homogenisasi agama. Bagi Waketum MUI, apa yang dilakukan Gus Yaqut dengan memberi kesempatan doa semua agama justru menunjukkan bahwa Gus Yaqut gak paham soal toleransi.
Kata Anwar Abbas sebagaimana dikutip Detik:
“Jadi bingung sendiri yang dilakukan oleh Menteri Agama ini, kalau di daerah yang mayoritas Islam seperti di Aceh, itu cukup dengan (doa) ajaran Islam, tetapi kalau di Bali ya (doa) Hindu, kalau di NTT ya (doa) agama Katolik, kalau di Sulawesi Utara ya (doa) Protestan.”
Di sini kelihatan ya bahwa Waketum MUI itu ngegas dan nyolot kepada Menteri Agama, tapi sebenarnya gak paham masalahnya. Alias asbun.
Yang dibicarakan Gus Yaqut itu acara-acara Kemenag yang melibatkan semua pemeluk agama, jadi misalnya acara Rakernas Kementerian Agama.
Gus Yaqut sendiri kan pernah bilang, dia menteri semua agama. Kementerian Agama itu adalah kementerian semua agama. Gak hanya kementerian Islam. Gus Yaqut mengaku ingin semua agama yang diakui di Indonesia mendapatkan kesempatan yang sama di Kementerian Agama. Karena memang itu bukan hanya milik umat Islam, Kemenag itu bukan Ormas, bukan Ormas Islam. Karena itu acara-acara Kemenag harus juga memberi kesempatan doa semua agama.
Di sinilah Anwar Abbas justru yang ngawur. Kalau misalnya Gus Yaqut mengusulkan agar MUI, NU, Muhammadiyah, pesantren, atau madrasah bikin acara pakai doa semua agama, itu baru kehilangan akal.
Tapi menurut saya penolakan Anwar Abbas ini bukan hanya semata-mata karena ia tak paham masalah. Menurut saya, penolakan tersebut mencerminkan apa yang oleh Bung Karno pernah disebut sebagai “egoisme agama”, yakni sikap mentang-mentang dan merasa paling memiliki Indonesia.
Padahal Bung Karno pernah bilang begini, Negara Indonesia adalah negara “semua milik semua,” bukan hanya milik satu golongan tertentu, baik itu mayoritas atau minoritas.
Ide Menteri Agama Gus Yaqut agar Kemenag menjadi kementerian semua agama adalah manifetasi bagi terwujudnya spirit Negara Indonesia “semua milik semua” seperti yang dicita-citakan oleh founding fathers kita. Tak ada mayoritarianisme, yaitu sikap mentang-mentang sebagai mayoritas terus merasa paling memiliki Indonesia.
Karena Indonesia diperoleh atas perjuangan semua pemeluk agama. Oleh karena itu, semua pemeluk agama berhak memiliki negara Indonesia.
Doa semua agama adalah salah satu cara agar tidak ada satu kelompok pun, tidak ada satu kelompok agama pun yang mengklaim merasa paling memiliki negara ini.
Waketum MUI Anwar Abbas bukan hanya gagal paham soal ini, tapi juga ternyata menyelisihi atau melawan visi founding fathers tentang Indonesia sebagai negara “semua milik semua”. Dan ini ironis, karena MUI itu kan ada “I” di belakangnya, ada Indonesia di belakangnya, tapi nyatanya sangat tidak “I”, sangat tidak Indonesia.