Ketika Munas Alim Ulama NU tahun lalu mengeluarkan keputusan yang melarang sebutan “kafir” terhadap warga non-muslim di negeri ini, sejumlah kalangan langsung menyerang dan membully NU.
Mereka menuduh, ormas terbesar Islam tersebut mengabaikan ayat-ayat Quran dan Hadits yang jelas memakai sebutan “kafir” untuk non-muslim.
Tuduhan ini jelas didasarkan pada salah paham, atau gagal paham. Keputusan Munas Ulama NU agar non-muslim tidak disebut “kafir” bukanlah dalam konteks akidah atau teologi, melainkan dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dalam konteks bermasyarakat dan bernegara, non-muslim bukanlah “kafir” melainkan muwathin, warga negara yang sama kedudukannya dengan warga negara Muslim di mata konstitusi.
Kenapa term kafir bermasalah ketika dipakai dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia? Karena term kafir seringkali digunakan sebagai cara untuk menyudutkan penganut agama lain, lantaran tak sepaham dengan basis keyakinannya.
Stigmatisasi kafir membawa konotasi bahwa warga non-muslim adalah orang luar, liyan yang patut diwaspadai, wajar kalau didiskriminasi, atau bahkan dianggap “musuh” yang perlu dibenci.
Pengkafiran semacam inilah yang ditolak oleh NU melalui keputusan Munas Ulama tahun 2019. Jadi ini bukan soal akidah, tetapi soal bagaimana posisi non-muslim dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, non-muslim tak boleh disebut kafir, karena mereka adalah sesama warga negara Indonesia.
Dalam kerangka Negara Pancasila, tak ada itu yang disebut orang kafir. Pemeluk agama disebut berdasarkan agama masing-masing: orang Islam, orang Kristen, orang Katholik, orang Budha, orang Hindu, orang Konghucu. Jadi non-muslim tak disebut “kafir”, karena titik acuan NKRI adalah Pancasila, bukan Islam.
Sikap Ulama NU yang melarang penyebutan kafir terhadap sesama warga yang non-muslim ini sejatinya sejalan dengan spirit Pancasila yang dicita-citakan dan dirumuskan oleh founding fathers kita.
Simaklah misalnya pidato Sukarno yang bersejarah, tentang lahirnya Pancasila 1 Juni 1945. Bung Karno bilang begini: “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama. Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.”
Dari kutipan panjang Bung Karno tadi kita bisa menyimpulkan bahwa ketika Sukarno menyatakan, “bertuhan Tuhannya sendiri,” Sukarno tak hanya mengakui karakter keberagamaan bangsa Indonesia yang beragam. Sang proklamator juga menegaskan kesetaraan hak penganut agama. Seorang penganut agama, sembari meyakini kebenaran agamanya, dituntut juga untuk mengakui hak para penganut agama lain untuk meyakini kebenaran agama mereka.
Tak ada sudut pandang agama apapun yang boleh mendominasi sudut pandang agama lain. Tak ada satu kelompok agama manapun yang berhak menilai agama lain dari sudut pandang agama sendiri. Bung Karno lantas mewanti-wanti agar bangsa Indonesia “bertuhan secara kebudayaan” dengan saling menghormati antar-pemeluk agama, dan tidak terjebak dalam apa yang ia sebut sebagai “egoisme agama”.
“Egoisme agama” inilah yang mengemuka manakala sebutan “kafir” dipakai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini.
Egoisme agama semacam ini niscaya bertentangan dengan visi Bung Karno tentang Negara Indonesia sebagai “semua milik semua,” bukan hanya menjadi milik satu golongan tertentu. Kata Bung Karno: “Kita hendak mendirikan suatu negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, tapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua.” Demikian Bung Karno.
Pemirsa,
Tidak bolehnya non-muslim distigma dengan sebutan “kafir” karena itu bertentangan dengan prinsip kesetaraan, yang merupakan salah satu pilar dari konsep citizenship modern yang mendasari tatanan republik kita. Ini merupakan ide politik modern yang baru, yang tidak dikenal dalam tatanan politik Islam kuno yang berbasis khilafah.
Dalam sistem pemerintahan Islam pra modern, non-muslim yang tidak memerangi orang Islam dan tinggal di kawasan negara Islam disebut “kafir dzimmi” atau “ahludz dzimmah,” yakni kafir yang dilindungi dan mendapatkan proteksi politik, dengan kewajiban membayar jizyah (poll tax).
Nah, statusnya sebagai dzimmi ini membikin non-muslim tersebut tak bisa mendapatkan hak yang setara. Betul bahwa mereka hidup secara aman, namun mereka tidak dibolehkan menduduki jabatan politik strategis, seperti panglima perang atau kepala negara.
Mereka boleh menjalankan ajaran agamanya, tapi sangat dibatasi dalam hal pendirian rumah ibadah atau syiar agama mereka. Dan banyak lagi contoh yang lain. Singkat kata, status dzimmi pada dasarnya adalah diskriminatif, karena menempatkan non-muslim sebagai warga negara kelas dua.
Situasinya berbeda secara diametral dengan prinsip citizenship dalam sistem nation-state. Prinsip citizenship mengasumsikan, negara lahir karena adanya kontrak sosial antar-warga demi melindungi hak dan kebebasan mereka. Dan karena tiap warga ikut bersama-sama dalam perjanjian dan kesepakatan mendirikan negara, mereka punya hak yang setara, apapun agamanya.
Negara Pancasila menganut sistem modern ini. Dalam negara Pancasila, non-muslim bukanlah kafir, atau outsider, melainkan saudara sebangsa, dan saudara dalam kemanusiaan.
Pandangan semacam ini sesungguhnya bukan hal baru di kalangan umat Islam Indonesia. Dulu kita sering menyebut non-muslim sebagai “saudara kita non-muslim”. Selain itu, ulama besar NU KH. Achmad Siddiq pernah mencetuskan ide tentang trilogi persaudaraan (ukhuwah): persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah basyariyah).
Pandangan KH. Achmad Siddiq ini adalah seruan agar umat Islam tak membatasi komitmen persaudaraannya pada sesama muslim saja, tapi meluas, mencakup juga warga Indonesia yang non-muslim, karena mereka sama-sama satu bangsa dan juga sama-sama satu umat manusia. Dengan demikian, warga non-muslim adalah saudara bagi Muslim, dan juga sebaliknya.
Ide memposisikan non-muslim sebagai satu saudara dalam kemanusiaan, sebenarnya bisa kita temukan rujukannya dalam kutipan terkenal Sayidina Ali bin Abu Thalib: “Dia yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudara dalam kemanusiaan.”
Sedangkan upaya menempatkan non-muslim sebagai saudara sebangsa, sebenarnya bisa mengacu pada Piagam Madinah, yakni perjanjian yang dilakukan Nabi dan umat Islam Madinah saat itu, dengan kaum Nasrani, Yahudi, dan Majusi, untuk mempertahankan kota mereka dari agresi kaum kafir Quraisy. Dalam salah satu klausul Piagam Madinah disebutkan, “Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan kaum Muslim. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka.”
Menarik untuk dicatat bahwa Nabi di dalam perjanjian tersebut menyebut kabilah Yahudi yang turut dalam Piagam Madinah sebagai “satu umat dengan kaum muslim.” Jadi konsep umat di sini bukan hanya Muslim, tapi juga non-muslim yang ikut dalam perjanjian tersebut.
Dengan begitu, Piagam Madinah menjadi titik temu yang menyatukan kaum Muslim dan Yahudi Madinah dalam persaudaraan keumatan, sebagaimana Pancasila menjadi titik temu yang menyatukan warga Muslim dan non-muslim dalam persaudaraan kebangsaan.
Ini saya jadi ingat KH. Achmad Siddiq, dan bahkan juga Nurcholish Madjid menyebut Pancasila sebagai “kalimatun sawa”, yaitu titik temu, common ground antara warga Indonesia yang Muslim dengan non-muslim yang disatukan dalam persaudaraan kebangsaan.
Persaudaraan kebangsaan antara Muslim dan non-muslim dengan sendirinya tak memberi ruang bagi penyebutan “kafir” terhadap sesama anak bangsa yang tak seagama.
NKRI tidak dirancang untuk memperlakukan non-muslim sebagai kafir dzimmi, apalagi kafir harbi, melainkan warga negara yang setara. Baik yang Muslim maupun yang non-muslim sama-sama menjadi pemilik yang sah republik ini, republik yang dalam bahasa Sukarno disebut sebagai “negara semua untuk semua”. Dalam republik ini, egoisme agama yang memposisikan agamanya sebagai tolok ukur untuk menghakimi semua agama lain tak mendapat tempat. Tak ada tempat bagi egoisme agama.
Karena itulah, dalam kerangka NKRI, sebutan “kafir” kepada saudara kita non-muslim adalah sebuah pengingkaran terhadap nilai-nilai Pancasila dan itu berarti menciderai keindonesiaan.