Untuk memutus mata rantai penularan Covid-19, banyak saintis dan perusahaan farmasi di dunia tengah berlomba-lomba untuk mengembangkan vaksinnya. Salah satunya adalah perusahaan swasta China Sinovac Biotech. Sinovac tengah mempersiapkan pembuatan vaksin sekitar 40 juta dosis untuk dipasok ke Indonesia hingga Maret 2021.
Sementara vaksin Covid-19 yang cespleng belum ditemukan, Wapres KH. Ma’ruf Amin baru-baru ini meminta agar vaksin Covid-19 yang akan digunakan di Indonesia mendapatkan sertifikat halal dulu sebelum disebarluaskan. Menurut Wapres, sertifikasi halal menjadi penting agar tidak terjadi penolakan vaksinasi dari masyarakat, karena ragu akan kehalalannya.
Di tengah pandemi yang masih mengancam, baik di Indonesia maupun di dunia, pernyataan Wapres soal sertifikasi halal vaksin Covid-19 ini menurut saya bermasalah dan offside, karena beberapa alasan:
Pertama, pandemi ini dampaknya mengena siapa saja. Yang menjadi korban dan terinfeksi Covid-19 bukan hanya orang Islam. Tapi yang diributin Wapres tentang vaksin kok malah soal sertifikat halalnya.
Padahal Wapres adalah representasi negara, yang menurut konstitusi kita bertugas “melindungi segenap bangsa Indonesia”. Harusnya Wapres peduli tentang nyawa warganya, apapun agamanya. Dan karena itu, seorang Wapres harusnya lebih memikirkan gimana agar Indonesia mendapatkan vaksin yang secara efektif dan efisien bisa menyelamatkan warga. Bukan sesempit urusan sertifikat halal.
Kenapa sertifikasi halal vaksin bermasalah? Begini, taruhlah dilakukan uji kelayakan sertifikasi halal terhadap calon vaksin dari China tersebut, dan ternyata ditemukan ada unsur babinya. Apakah lantas pemerintah akan menolak vaksin tersebut dan minta agar dilakukan pencarian vaksin baru yang layak sertifikat MUI? Butuh waktu berapa lama lagi? Keburu banyak nyawa melayang. Keburu ekonomi kita makin jatuh terpuruk.
Apalagi kalau kemudian banyak orang Islam menolak Vaksin Covid-19 karena tidak ada sertifikat halalnya, ini bikin pandemi akan makin parah, karena mata rantai penularan virus Corona tak bisa dihentikan. Dan upaya pemerintah untuk vaksinasi menjadi sia-sia.
Niat KH. Ma’ruf Amin yang ingin agar masyarakat muslim menerima dan mau divaksin sebenarnya baik. Tapi mestinya tidak dengan cara sertifikasi halal vaksin.
Lantas dengan cara apa?
Kita kan tahu, kerusakan akibat pandemi Covid-19 ini unprecedented, belum ada presedennya dalam sejarah, ini terburuk dalam 100 tahun terakhir. Kalau dalam perspektif hukum Islam, situasi ini masuk dalam kategori darurat, atau al-dlarurat. Yakni situasi yang membahayakan kehidupan kita sendiri dan mengancam hidup orang lain yang berinteraksi dengan kita. Ini soal hidup mati.
Kalaupun gak semuanya jadi korban yang meninggal, pandemi tetap berbahaya karena mengancam kesehatan publik dan kesehatan ekonomi. Banyak dokter jadi korban, kapasitas rumah sakit gak mencukupi, dan itu diperparah dengan naiknya pengangguran, PHK, banyak usaha tutup, dan ancaman resesi ekonomi.
Kalau dalam fikih ini namanya al-hajat. Singkatnya, al-dlarurat adalah kondisi keterpaksaan yang apabila orang tidak divaksin dapat mengancam jiwanya. Sedang al-hajat adalah kondisi keterdesakan yang apabila tidak divaksin, maka akan dapat menyebabkan kerusakan pada tata kehidupan.
Dalam situasi al-dlarurat dan al-hajat, dalam situasi keterpaksaan dan keterdesakan, apapun harus diakukan agar manusia bisa hidup, meskipun itu dengan cara mengkonsumsi hal-hal yang tadinya, dalam masa normal, diharamkan.
Ada kaidah fikih berbunyi: Al-dlaruratu tubihul mahzdurat, situasi darurat membikin boleh atau mubah apa-apa yang tadinya dilarang atau diharamkan.
Dan menurut kaidah fiqh lain, al hajah tanzilu manzilata al-dlarurati (situasi keterdesakan punya status hukum yang sama dengan hukum darurat).
Hukum Islam menyatakan, dalam situasi darurat dan hajat, manusia harus memilih hidup, bukan memilih mati. Dalam situasi seperti itu, yang terpenting adalah gimana agar angka kematian distop. Agar kerusakan ekonomi dan sosial dihentikan.
Untuk menghentikan laju penularan Covid-19, cara yang paling efektif adalah dengan adanya vaksin Covid-19 yang betul-betul teruji secara saintifik dan didistribusikan secara masif.
Kalau ada vaksin yang bahannya sepenuhnya halal ya bagus. Tapi kalau belum ada vaksin halal, dan yang ada ternyata vaksin yang pake enzim babi, ya tetap vaksin tesebut yang harus dipilih.
Harusnya, soal ini yang menjadi bahan pertimbangan kalau Wapres mau menyerukan agar umat Islam mau divaksin. Toh KH. Ma’ruf Amin saat ini masih sebagai Ketum MUI non-aktif. Beliau kan bisa minta ke MUI agar menyerukan ke umat Islam bahwa dalam situasi darurat seperti pandemi, yang terpenting adalah memilih hidup ketimbang mati. Meskipun untuk itu harus dengan mengkonsumsi obat yang ada unsur babinya. Dalam kondisi darurat, pilihlah babi, jangan pilih mati.
Pemirsa, sertifikat halal itu sendiri saat ini juga salah kaprah. Niat awalnya memang untuk melindungi konsumen muslim agar bisa terhindar dari yang haram. Tapi dalam perkembangannya, sertifikat halal ini jadi overdosis dan lebay.
Saat ini muncul kesan, makanan dan obat-obatan yang gak ada label halalnya dianggap ga halal.
Sejak kapan kehalalan ditentukan oleh sertifikat halal? Ini kan anggapan keliru yang justru terkesan dipertahankan MUI.
Bahkan makin lama, sertifikat halal bukan hanya menyangkut makanan dan obat-obatan, tapi juga lemari es, cat tembok dan lain-lain. Lemari es dan cat tembok kan gak dikonsumsi manusia. So what gitu loh kalo ada bahannya yang najis atau gak halal. Kalaupun ada bahannya yang najis atau haram, kan sudah mengalami apa yang dalam istilah fikih dinamakan istihalah, berubah bentuk dan zatnya. Jadi ya berubah hukumnya, gak lagi najis atau haram. Ini gak butuh sertifikat halal, tapi membutuhkan pengetahuan fikih.
Walhasil, di tengah situasi darurat pandemi yang makin mencemaskan seperti sekarang, KH. Ma’ruf Amin harusnya bertidak sebagai Wakil Kepala Negara yang memikirkan nyawa warga Indonesia, apapun agamanya. Sesuai dengan amanat konstitusi, melindungi segenap bangsa Indonesia. Bukan malah sibuk dengan sertifikasi halal vaksin.