Perayaan kemerdekaan tahun ini dibuat cacat oleh satu kejadian di Solo. Solo riuh. Mulanya ada keluarga besar Habib Umar Assegaf yang berencana menggelar acara pernikahan putrinya. Seperti biasanya tradisi Jawa, sebelum acara akad nikah, didahului dengan midodareni, atau semacam syukuran menjelang pernikahan.
Nah, di saat acara itu digelar, ada segerombolan orang di Solo melakukan persekusi terhadap keluarga yang sedang menggelar hajatan keluarga.
Mereka menentang midodareni karena dianggap bertentangan dengan syariat. Padahal midodareni itu hanya bungkus, isinya pada saat itu ya pengajian biasa. Kayak syukuran gitu deh. Wong, acaranya aja di rumah Habib.
Bukan hanya itu, ketika melakukan serangan mereka berteriak takbir sambil menghujat sesat. Mereka juga menuding-nuding Syiah sesat. Laknat. Hala darahnya. Dan sebagainya.
Ini sebagai informasi aja ya, padahal di Iran, yang penduduknya bermazhab muslim Syiah, gak pernah ada acara pengantin yang menggelar midodareni.
Acara itu khas tradisi Jawa. Dan apa salahnya ada keluarga menggelar midodareni menjelang akad nikah anaknya.
Gua cuma ingin ngingetin, tudingan Syiah itu memang selalu digunakan untuk melegalkan kebrutalan mereka. Ini sama persis seperti kejadian di Suriah, ketika segerombolan srigala ISIS menghancur-leburkan negara mereka.
Para pendukungnya di Indonesia maupun di sana juga menggunakan isu Syiah untuk mendukung kebrutalan ISIS.
Atau ketika Saudi membombardir Yaman dengan keji, isu Syiah juga digunakan untuk membenarkan kebiadaban yang terang-terangan itu.
Kini di Yaman, jutaan rakyat kelaparan. Pasokan makanan terhenti. Obat-obatan tidak bisa masuk. Seluruh negeri tinggal puing. Dan anak-anak menjelang mati kelaparan.
Dan mereka membenarkan tindakan Saudi, dengan alasan karena yang diserang Saudi adalah Syiah. Sama seperti gerombolan yang di Solo itu isunya.
Sedangkan yang menderita di Yaman atau di Suriah adalah semua orang. Gak peduli Sunni atau Syiah. Semuanya kelaparan. Semuanya menderita.
Kelakuan brutal gerombolan di Solo, nah itu juga sama. Mereka menuding Syiah, untuk mendukung aksi brutalnya. Bahkan sebuah acara keluarga yang gak ada hubungannya dengan dakwah, harus diserang.
Ratusan orang seperti srigala lapar memburu mangsanya. Kata-kata bunuh, kafir, halal darahnya terlontar seperti Indonesia ini negara barbar.
Lo bayangin, ketika acara keluarga mau diserang dan orangnya mau dibunuh. Gampang membunuh, gampang mempersekusi orang. Karena kejadian tersebut tiga orang menjadi korban. Korbannya tuh Habib Umar Assegaf yang tuan rumah, ada puteranya yang usia 15 tahun, dan ada seorang tamunya juga yang sudah tua juga, dikeroyok gerombolan radikal.
Motornya ditendang, mereka jatuh dikeroyok ramai-ramai. Dan ketiganya dilarikan ke rumah sakit, karena luka-luka.
Apa sih yang kita bayangkan dengan kejadian ini? Ini Indonesia lho? Solo yang dikenal dengan ramah. Sekelompok orang bisa seenaknya menganiaya orang lain, dengan alasan beda pandangan. Mengerikan kan?
Tapi kejadian seperti ini bukan cuma sekali saja terjadi di Solo. Pola penyerangan, pengrusakan dan persekusi dilakukan oleh gerombolan yang sama berkali-kali. Mereka menamakan diri Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS) atau sekarang belakangan dikenal dengan nama Laskar Solo.
Beberapa tahun lalu serangan juga dilakukan oleh kelompok yang sama. Mereka menyerang sebuah restoran Social Kitchen dan melakukan pengrusakan. Modelnya juga sama, ketika menyerang pakai tutup kepala. Mirip algojo ISIS.
Solo memang kayaknya udah menjadi epicentrum gerakan intoleran yang melahirkan kebrutalan di Indonesia.
Pusat gerakan Jemaah Islamiyah yang berafiliasi ke ISIS berada di sana. Di Ngruki, ada pesantren yang juga mengajarkan paham agama yang sangat radikal. Tokohnya adalah Abu Bakar Ba’asyir, orang yang dipenjara, udah tua, karena keterlibatannya dalam berbagai aksi teroris yang bengis.
Ba’asyir dikenal sebagai ideolog kaum teroris. Sebagian pelaku teror Bom Bali yang dahsyat itu, yang korbannya ratusan orang, adalah alumni pesantren Ngruki.
Bila kita telusuri, banyak pelaku terorisme pernah bersentuhan dengan jaringan Ba’asyir ini. Artinya Solo, adalah salah satu kota yang menjadi epicentrum kelahiran para teroris di Indonesia.
Dan kejadian kemarin, yang penyerangan di rumah Habib Umar itu menjelaskan, bahwa wujud calon-calon teroris itu nyata.
Keberadaan mereka jelas. Aksi mereka terang-terangan, seolah-olah mengangkangi hukum dan mempersekusi orang lain seenak jidatnya.
Tujuan mereka memang cuma satu: membuat kekacauan. Karena ya wajar sih, mereka memang didoktrin untuk itu. Mirip induknya ISIS, yang di mana pun berada selalu membawa penderitaan masyarakat.
Satu lagi, Solo juga punya ormas yang namanya Dewan Syariah Kota Surakarta, ketuanya namanya Muinuddin. Muin ini tercatat sebagai salah satu dosen di salah satu universitas swasta di Solo.
Ini sebagai informasi aja ya, background-nya Muin, dua orang adik Muin itu tewas di Suriah ketika bergabung dengan kelompok radikal.
Bahkan salah satu adiknya, namanya Abu Walid, nah kalau lo pernah nonton video-video mengerikan tentang aksi ISIS yang menggorok leher korbannya, Abu Walid inilah salah satu algojonya ISIS. Rekaman video aksi Abu Walid itu sudah tersebar di medsos.
Yang gua sayangin, nih udah tahu nih tokohnya kayak gini, backgroundnya seperti ini, banyak politisi sialan yang justru memanfaatkan ketokohan orang-orang kayak Muin.
Misalnya Muin, dia itu dulu salah satu pentolan tim pemenangan Prabowo-Sandi di Surakarta. Lo bayangin, orang yang tujuannya mendirikan negara agama diberi peran politik formal sebagai tim pemenangan dalam konstelasi presiden.
Meskipun Muin hanya duduk sebagai ketua tim kampanye. Tapi pemberian peran politik formal itu seperti legitimasi terhadap keberadaannya, seperti persetujuan terhadap ideologi yang dibawa Muin di Indonesia.
Bahkan saat kampanye Presiden kemarin, Muin terang-terangan bikin video bahwa Pilpres kali ini adalah pertempuran Pancasila dan Khilafah. Pancasila itu kubunya Jokowi dan Khilafah kubunya Prabowo, gila kan?
Tentu saja statement itu sudah jauh di luar batas. Tapi yang namanya politisi memang cuma mengincar kemenangan, gak peduli dampaknya. Makanya mereka merekrut orang-orang kayak Muin ini.
Dampak yang nyata apa? Muin dan gerombolannya makin semena-mena. Kayak diakui.
Gua gak tahu, apakah Muin terlibat aksi penyerangan di Solo kemarin. Gua gak punya informasi tentang itu. Tapi, kayaknya orang yang menyerang itu ya itu-itu lagi. Dia lagi, dia lagi. Circle-nya gak jauh-jauh banget.
Satu lagi, lu tahu apa cocotan orang kayak Muin belakangan ini. Ia memprotes logo HUT RI ke-75, yang kata Muin ada gambar salibnya.
Gue sampe seharian memandangin logo itu, sampe mata gua agak siwer, salibnya di mana coba? Gak ada. Kalau lo mata lo normal, lo lihatin logo ini, bingung lo sama statement itu.
Tapi emang bukan kebenaran yang mau diungkap Muin, dia cuma bertujuan membuat keriuhan, sambil memancing kebencian agama. Ada salib, ada ini, itu targetnya.
Jadi gua mau bilang gini, ketika orang-orang sejenis Muin dimanfaatkan oleh politisi, mereka akan makin kurang ajar. Mereka akan terus-menerus menciptakan suasana yang tidak nyaman, fitnah, hoax.
Akibatnya keberingasan demi keberingasan akan terus menjadi pandangan sehari-hari. Aparat keamanan menurut gua harus mulai menyisir radikalisme di Solo dari akarnya. Bukan cuma nunggu kebengisan mereka terjadi lagi. Penyerangan terhadap Midodareni ini lucu dan ini menurut gua berlebihan.
Gini deh, penegak hukum jangan main-main dengan gerombolan kayak gini. Jika main-main yang dipertaruhkan adalah masa depan Indonesia. Para politisi gak usah belagak pilon. Gak ngerti latar belakang orang yang direkrut. Kalau memang teroris, percaya mereka gak ada manfaatnya buat Indonesia.
Percaya deh, para politisi. Suara mereka itu sebetulnya kecil. Pengikutnya sedikit. Cuma bacotnya dan lagaknya yang sok gahar, jadi viral di media.
Jadi secara politik, gak punya pengaruh banyak selain cuma bikin keributan.
Gue sih ya, siapapun politisi yang berdekatan dengan gerombolan kayak gitu, bagi gua, gua akan berdiri di seberangnya, gua akan ngelawan habis-habisan.
Sebab orang-orang kayak gitu gak peduli dengan Indonesia. Mereka mungkin hanya mikirin kekuasaanya saja. Sementara orang-orang kayak Muin tujuannya memang mencari keriuhan, mau cari keributan.
Kemarin acara midodareni diserang. Dituding sesat, kafir. Besok, mungkin kalau orang jalan pakai lurik dan blangkon di kota Solo akan dikatakan halal darahnya.
Kasus Solo kemarin harus jadi momentum membersihkan kota itu dari gerakan radikal. Kita kan juga pengin, Solo dikenal sebagai masyarakat yang ramah, berbudaya. Bukan kota penghasil teroris.
Gue sih cuma mau ngajak lo berpikir, kesimpulannya ya terserah lo. Terima kasih.